Puluhan Ribu Orang Minta Siapa Saja Bebas Live di Medsos, Sebut RCTI Ga Oke
Uzone.id- Berita terkait gugatan RCTI yang mengancam warga tidak bisa lagi Live di media sosial dengan bebas, mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak. Bahkan dalam sebuah petisi yang disebar di Change.org, sudah lebih dari 10 ribu orang yang mendukung dengan memberikan tanda tangan mereka.
Dalam petisi yang dibuat oleh Dara Nasution yang dikenal sebagai salah satu pollitikus muda di Partai Solidaritas Indonesia (PSI), berjudul 'Tolak Gugatan RCTI! Siapa Aja Bebas Tampil Live di Medsos', mengajak semua orang untuk memberikan dukungannya dalam tanda tangan virtual. Sampai berita ini diturunkan, sudah 12.500 orang yang menandatangani petisi ini.
"Teman-teman, kita terancam gak bisa lagi pakai fitur Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live dan konten. RCTI dan Inews menggugat dan ajukan uji materi UU penyiaran ke Mahkamah Konstitusi agar yang bisa siaran live di medsos hanya lembaga atau perorangan yang punya badan usaha dan badan hukum. Artinya orang-orang biasa kayak kita nih nggak bisa live lagi di medsos!" tulis Dara Nasution dalam pembukaan petisi tersebut, dikutipUzone.id, Selasa, 1 September 2020.
Dikatakan Dara dalam email dari Change.org yang berjudulRCTI Ga Oke, menurut RCTI dan INews, definisi penyiaran itu juga termasuk fitur media sosial seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live. Padahal, kata dia, frekuensi publik yang dipakai media penyiaran dengan media sosial jelas-jelas beda.
Beberapa waktu lalu, dalam wawancara dengan Uzone.id, pengamat media sosial Enda Nasution mengatakan jika peran media sosial justru menjadi wadah untuk konten-konten yang sekiranya tidak punya ruang di ranah penyiaran broadcast seperti televisi.
“Sekarang ini saya melihatnya, hal-hal yang disiarkan itu gak hanya tentang informasi dan berita, ada juga soal budaya. Konten di TV tentu beragam, dan apapun yang tidak hadir di TV besar kemungkinan memang tidak ada ruangnya, tapi bukan berarti tidak ada yang suka,” ungkap Enda saat dihubungiUzone.id, Jumat, 28 Agustus 2020.
Dia melanjutkan, konten-konten yang tidak ada di TV itu maka larinya ke ruang digital, layanan yang disediakan media sosial oleh para netizen dan kreator konten itu sendiri.
Menurut Enda, jika konten di ranah digital dipaksa harus masuk juga di ranah UU Penyiaran yang notabene sudah jelas berbeda, hal ini dapat mengganggu kebebasan berekspresi.
“Kalau pertimbangannya harus sama semua, harus punya izin segala macam, hal ini tampaknya bisa melanggar hak kebebasan berekspresi yang berada di ranah digital. Bagaimana bisa, masa apa-apa harus lapor dulu jika ingin memposting atau mengadakan obrolan live?” lanjut Enda.
Enda kembali menegaskan, ada perbedaan kentara antara siaran broadcast dengan digital. Siaran broadcast selama ini masuk di Undang-Undang karena memakai frekuensi yang dimiliki publik dan disediakan pemerintah, maka sudah hukumnya mendapatkan izin serta membayar ke pemerintah.
“Frekuensi publik ini luas dan dapat diakses secara gratis, dari Sabang sampai Merauke. Itulah kenapa siaran broadcast harus diregulasi. Di luar itu, kita bicara soal konten dan tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pribadi atau perusahaan. Selama ini kalau ada pelanggaran di ranah medsos juga pasti akan dikenakan sanksi. Jadi, penggunaan layanan digital selama ini sebenarnya juga memiliki tanggung jawab kok dari tiap penggunanya. Jangan sampai ada aturan yang malah merugikan,” tutup Enda.