Putar Akal Menangkal Hoax

pada 8 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Isu menapis atau menangkal berita palsu alias hoax di dunia maya masih menjadi pembahasan hangat memasuki minggu kedua Januari 2017.

Sejumlah langkah kongkrit atau wacana mulai digulirkan pemerintah untuk menangkal maraknya hoax yang bersiliweran di dunia maya.

Setelah melakukan aksi  blokir ke sejumlah portal yang dianggap memuat konten negatif, pemerintah mulai memberdayakan masyarakat dengan mendukung gerakan Turn Back Hoax yang dinisiasi oleh Masyarakat Anti  Fitnah Indonesia (Mafindo).

Aksi blusukan ke para netizen yang dianggap influencer di dunia maya pun dilakukan oleh berbagai elemen pemerintah dalam rangka menyosialisasikan sejumlah langkah taktis yang akan dilakukan menangkal hoax nantinya.

Kabarnya pemerintah tengah mengkebut pembentukan Badan Siber Nasional (Basinas)  pada bulan ini. Fungsi badan tersebut adalah memayungi badan siber yang telah ada seperti cyber security di polisi, cyber intelligent di BIN, cyber defence di Kemhan, dan  cyber war di TNI.

Tugas Basinas adalah memproteksi serta melindungi kegiatan siber secara nasional. Rencananya, Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) akan dijadikan embrio pembentukan Basinas. Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pun kabarnya telah menyiapkan 50 orang ahli IT untuk Basinas yang berada di bawah tanggung jawab Kemenko Polhukam.

Draf peraturan presiden untuk lembaga ini sudah diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Meski perpres sudah diserahkan, masih ada dua pilihan yang dipertimbangkan. Pilihan itu antara nama Badan Siber Nasional atau badan siber di mana Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) sebagai embrionya.

Kepolisian pun telah memastikan pembentukan Direktorat Cyber Crime Polri akan terus berlanjut. Jika sebelumnya lembaga ini dinaungi oleh Badan Reserse Kriminal, maka ke depan lembaga ini akan berdiri sendiri. Direktur cyber crime rencananya akan dipimpin jenderal bintang satu, Direktur propaganda.

Sementara untuk biro penguat Divisi Humas Polri yang nantinya akan dibentuk biro khusus yakni Biro Multimedia, yang akan menjadi lembaga awal pengklarifikasi berita hoax di dunia maya, akan melibatkan Detasemen Khusus 88 Antiteror.

Terbaru, akan dibentuk pula satgas Anti-hoax untuk membersihkan media sosial dari berita Hoax. Satgas Anti-hoax berfungsi untuk meminimalisasi perilaku negatif di media sosial.  

Efektif?
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum lama ini menyatakan akan memanggil pemain platform media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk ikut mengawasi konten yang diunggah penggunanya. Selain itu, Kominfo juga akan meminta pemain ad sense seperti Google untuk menertibkan portal-portal yang diduga menyebar Hoax.

Hal yang menjadi pertanyaan sekarang, akankah sejumlah aksi ini nantinya berhasil menangkal maraknya hoax di media sosial?

Jika dilihat selama ini  berita yang menyebar di media sosial sangat terpolarisasi dan faktor yang mengganggu bukan hanya berita palsu atau hoax tetapi juga opini.

Jika bicara opini, tentunya akan melibatkan kebebasan berpendapat dari society. Apakah kehadiran sejumlah badan nantinya tak seperti mengembalikan era “sensor” di tengah euforia demokrasi?

Pertanyaan lain paling menggelitik adalah kemampuan secara infrastuktur dan teknis dari badan atau lembaga yang “mengawasi” konten, serta daya tawar pemerintah menekan pemain internet global mengawasi kontennya di Indonesia.

Bayangkan, di Indonesia sekarang ada 132 juta pengguna internet yang aktif atau sekitar 52% dari jumlah penduduk yang ada. Dari jumlah pengguna internet tersebut, ada sekitar 129 juta yang memiliki  akun media sosial yang aktif dan rata-rata menghabiskan waktu 3,5 jam per hari untuk konsumsi internet melalui handphone.

Berapa juta twit, posting atau konten yang diunggah ke media sosial atau portal seharinya, dan harus diawasi satu persatu? Belum lagi bicara bernegosiasi dengan pemilik platform global dimana pemerintah seperti banyak "mengalah" walau dibekali sejumlah regulasi.

Rasanya langkah yang tepat untuk kondisi di Indonesia sekarang adalah menggencarkan literasi sosial media, agar terbangun trust terhadap pelaksanaan Undang-undang (UU), ketimbang mengedepankan aksi “kekuasaan” menggunakan UU yang hanya menghabiskan energi, dana besar, dan menimbulkan pergolakan di dunia maya yang membuat masyarakat makin terpecah-belah.

@IndoTelko