Begitu Kroasia tumbang oleh Prancis dalam final Piala Dunia 2018, kamera menyorot wajah Luca Modric, kapten tim yang kalah namun meraih simpati penikmat bola sejagat.
Wajah itu tampak sangat letih. Ada raut kesedihan. Itulah ekspresi natural yang muncul di setiap wajah atlet cabang olahraga apa pun yang tengah menderita kekalahan.
Kesedihan serupa juga diperlihatkan para suporter pendukungnya. Setelah kamera menyorot wajah gelandang yang juga bermain di Real Madrid itu, giliran wajah-wajah sedih pendukung tim Kroasia tersorot kamera.
Seorang bocah menangis di dekat orang tua mereka yang juga tampak sedih. Itulah tangis yang mentrenyuhkan, itulah kesedihan yang menyentuh kalbu pemirsa televisi.
Kontras dengan pemandangan itu adalah perkelahian massal yang kerap berlangsung di Tanah Air, setelah salah satu pendukung tim mengumbar kekesalan mereka atas kekalahan tim yang mereka jagokan.
Jika bukan tawuran antarpendukung, kemarahan yang muncul setelah pertandingan sepak bola dilampiaskan dengan melakukan perusakan stadion tempat laga berlangsung.
Gelora Jakabaring Palembang, Juli lalu menjadi objek vandalisme penonton sepak bola setelah laga Sriwijaya FC versus Arema FC. Pemicu aksi destruktif suporter bisa bermacam-macam. Kali ini faktornya adalah kemarahan suporter terhadap Manajemen Sriwijaya FC, yang membiarkan para pemain bintang mereka hengkang ke klub lain.
Para suporter Sriwijaya FC itu kesal menyaksikan tim kesayangan mereka terpuruk saat ditumbangkan Arema. Ratusan kursi stadion yang baru dipasang untuk arena perhelatan Asian Games 2018, dicopot dilemparkan ke arah petugas keamanan. Rata-rata pelaku vandalisme adalah remaja usia sekolah.
Yang lebih tragis, peristiwa maut sering terjadi dalam tawuran antarsuporter tim sepak bola. Sampai kapankah pecinta bola di Tanah Air mengikuti jejak rekan mereka di negeri-negeri maju, yang melampiaskan kesedihan atas kekalahan tim kesayangan itu cukup dengan menitikkan air mata?
Tampaknya perlu waktu untuk mencapai tahap evolusi psikis dari ekspresi agresif ke melankolis. Teori psikologi sudah lama menjelaskan bahwa jiwa massa di ruang publik jauh berbeda dengan jiwa individual di ruang privat.
Seorang yang sedang marah di rumah akan berlaku berlainan ketika dia berada di ruang kerumunan massal yang sama-sama marah oleh faktor yang kurang lebih serupa.
Emosi individu pada dasarnya sama, demikian psikolog menjabarkan. Setiap orang mempunyai kecenderungan untuk murka kepada orang yang menyakitinya. Hasrat untuk membalas secara spontan terhadap lawan juga diperlihatkan pemain bola di mana pun.
Peneliti Universitas Harvard Ronald Kessler mengatakan, kemarahan yang eksplosif lebih banyak dilakukan remaja laki-laki. Intensitasnya lebih tinggi dibandingkan mereka yang usianya lebih tua atau mereka yang berjenis kelamin perempuan.
Dengan melihat teori itu, para petugas keamanan bisa memfokuskan perhatian mereka di setiap ajang kerumunan massal kepada kelompok remaja pria karena mereka inilah sumber potensial pelaku tawuran.
Tampaknya, hukuman tegas pantas diterapkan terhadap pelaku kerusuhan massal. Sayangnya, penegakan hukum terhadap pelaku kerusuhan massal kurang diterapkan.
Dalam kasus vandalisme di Gelora Jakabaring bulan lalu, berdasarkan fakta bahwa lebih dari 300 kursi stadion yang dirusak, polisi mestinya menangkap belasan pelaku perusakan, yang terindikasi. Namun yang sempat dihukum hanya dua orang. Itu pun hukuman sangat ringan dalam bentuk dikenai wajib lapor.
Kejahatan vandalisme yang merusak fasilitas umum memang tak sejahat kriminal individual. Lagi pula penjara di Tanah Air sudah sangat sesak oleh banyaknya kaum kriminal. Jika massa dalam tawuran harus dijebloskan ke penjara, makin kompleks situasinya.
Cara preventif dalam mencegah terjadinya tawuran massal adalah lewat edukasi psikis yang dilakukan di rumah, lingkup warga maupun di sekolah.
Fenomena kerumunan massa yang marah bukan gejala khas di ranah olahraga. Ranah sosial politik juga masih menjadi tempat pelampiasan kelompok orang yang marah. Yang dirusak massa bisa stadion olahraga, bisa pula tempat ibadah atau fasilitas umum lain.
Teori psikologi klasik mengajarkan, sebelum insting dasar yang berupa kemarahan, agresivitas itu dilampiaskan kepada korban, bukalah kanal-kanal yang bisa direkayasa untuk menyalurkan naluri hewani itu.
Demokrasi memberikan ruang-ruang untuk publik yang marah lewat protes, unjuk rasa, dan pemilu sebagai penyaluran keinginan manusiawi. Berbagai fasilitas olahraga yang memadai di berbagai tempat umum perlu disediakan untuk remaja yang masih bergelora menyalurkan energi mereka.
Mereka yang punya naluri berantem perlu disalurkan di klub-klub olahraga bela diri, tinju, gulat. Tampaknya di Tanah Air belum banyak sarana yang demikian ini sehingga banyak remaja yang belum mendapatkan tempat yang pas buat menyalurkan insting dasar mereka.
Semua langkah-langkah preventif ini perlu menjadi bagian refleksi tentang cara-cara pengendalian aksi destruktif yang dilakukan penonton.
Menyongsong perhelatan Asian Games 2018, seruan untuk menjadi penonton yang beradab dalam laga cabang olahraga apa pun merupakan keniscayaan.
Apalagi untuk cabang sepak bola, penggemar PSSI tak perlulah bereaksi berlebihan ketika nanti tim kesayangan mereka ditundukkan oleh tim lawan, yang sebagian sangat tangguh seperti diperlihatkan Korea Selatan dan Jepang dalam Piala Dunia 2018 di Rusia.
Sebagai tuan rumah, pecinta dan pendukung atlet Indonesia cukuplah menitikkan air mata saat lawan mengalahkannya dalam perlombaan olahraga terbesar setelah Olimpiade itu.(T.M02)