Resep Rahasia Kambing Bakar Cairo

pada 9 tahun lalu - by
Advertising
Advertising
| June 15, 2016 9:30 am

Bagi pencinta daging kambing dan masakan Timur Tengah, Restoran Kambing Bakar Cairo di Jalan Sungai Sambas III, kawasan Barito, Jakarta Selatan, ini menarik untuk dicoba.

Di bulan Ramadan, mendekati pukul 18.00 WIB, pelayan mulai menyediakan dua buah kurma dan minuman yang telah dipesan. Sambal kecap dan lalapan untuk dinikmati bersama daging kambing tidak lama kemudian pun datang. Dan tepat pukul 18.00, daging kambing datang. Daging bagian paha tanpa lemak seberat 250 gram seharga Rp 37 ribu.

Ada beberapa pilihan potongan dan berat. Kalau ingin daging empuk dengan sumsum, cobalah bagian punggung. Tapi kalau mau bebas lemak, cukup bagian paha. Soal berat daging, ada tiga pilihan. Untuk satu orang cukuplah yang 250 gram, bagi yang doyan makan boleh pesan yang 300 gram seharga Rp 52 ribu, dan kalau makan berdua, ambil yang 500 gram dengan harga Rp 74 ribu.

Daging disajikan di atas piring panas. Penampilannya sangat sederhana. Hanya terlihat seonggok daging panggang yang warnanya mengkilap karena minyak. Beberapa sudut hitam kecokelatan. Keistimewaannya baru terlihat saat kita menusukkan garpu ke atasnya. Daging langsung terbelah dengan mudah.

Rasanya asin dan gurih. Seorang pelayan menyarankan agar mencocolnya dengan lada, tumbukan cabai, dan kecap manis yang tersedia di piring berbeda. Paduan ketiga bumbu ini memang membuat rasa lemak daging hilang, berganti manis dan pedas. Nasi menjadi penyeimbang rasa antara asin dan manis tersebut. “Daging kambing di sini diolah ala Mesir,” kata Indra, penjaga kasir di restoran itu.

Pemiliknya adalah keturunan tanah para Firaun yang sudah lama bermukim di Indonesia. Untuk mendapat daging empuk dan tidak berbau amis, dibutuhkan waktu yang lama. Pertama, daging diolah selama tiga jam dengan rempah-rempah, seperti jahe dan merica. Kalau pesanan datang, proses pembakarannya membutuhkan waktu 20 menit.

Selain cara memasak yang khas, pemilihan dagingnya sangat spesifik. Hanya kambing berusia 3-4 bulan yang mereka masak. Pada usia tersebut, kambing muda belum memiliki banyak lemak. Tapi teknik pengolahan ini sebenarnya tidak seratus persen asli Mesir. Justru makanan di sana yang khas adalah sayur-sayuran dan kacang-kacangan. Air Sungai Nil menyuburkan hampir separuh tanah permukiman di negara itu.

Cara mereka memasak makanannya pun sangat sederhana. Bumbu utamanya ada dua, yakni minyak (biasanya minyak zaitun) dan garam. Daging kambing, sapi, dan unggas jarang terlihat di jalanan ibu kota Kairo. Lebih banyak warung khusus sarapan aliasfoule wa falafelyang menyediakan bubur kacang merah, perkedel kacang, dan terung goreng.

Kalau ingin yang sedikit berdaging, di Mesir lebih banyak disediakan makanan laut. Ada juga kebab yang lumayan terkenal di sana dengan pilihan daging sapi. Daging kambing bakar justru lebih banyak di sekitar Teluk.

Penampakan tongseng tidak berbeda dengan tongseng yang biasa dijual di Jakarta. Ada potongan daging kambing kecil-kecil, kol, dan tomat. Namun, ketika mencium aromanya, bau pala sangat kuat. Kuahnya juga sangat kental. Jadi tongseng itu lebih mirip kari ala India.

Ketika mencicipi kuahnya, memang rasa pala yang muncul pertama. Kemudian, berganti dengan pedas merica. Panas langsung terasa dari mulut sampai dada. Daging kambingnya yang juga empuk membuat semua campuran tongseng sangat nikmat.

KORAN TEMPO