Review: ‘Pacific Rim: Uprising’ BikinNgidamNasi Ayam Pecel
Uzone.id-Spoiler alert!
Film anyar ‘Pacific Rim: Uprising’ yang merupakan sekuel dari film pertamanya sudah dirilis di bioskop. Peminatnya banyakbanget,lho. Wajar, karena cerita tentang robot dan dunia canggih penuh teknologi biasanya mengundang perhatian.
‘Uprising’ tentu berbeda dari pendahulunya, ‘Pacific Rim’. Perbedaan mendasarnya terletak di kursi sutradara. Versi pertama digarap oleh Guillermo del Toro. Sementara versi baru ini diarahkan oleh Steven S. DeKnight.
‘Uprising’ mengambil latar 10 tahun setelah kejadian pasukan Jaeger melawan monster Kaiju di area Samudera Pasifik. Di awal film, kita langsung disuguhkan oleh karakter utama bernama Jake Pentecost (John Boyega) sebagai anak pilot legendaris Stacker Pentecost yang hidup sebagaidealeryang menjualsparepartdari bangkai robot Jaeger. Di sela aktivitasnya, Jake juga digambarkan sebagaiparty boy gitu,deh… Padahal dia sempat masuk militer seperti bapaknya.
Suatu hari, iagaksengaja bertemu Amara (Cailee Spaeny), remaja yatim piatu yang sangat antusiasbangetsama dunia robot.
Kebetulan Amara jagobangetmenavigasikan robot buatannya sendiri, Scrapper, yang ia buat dari bagian-bagian tersisa Jaeger. Jadi, bisa dibilang Amara ini pilot amatir yang jago karena otodidak.
Lalu, karena mereka melanggar peraturan saat mengendarai Scrapper, keduanya ditangkap oleh pihak militer. Dari situ, sang kakak, Mako Mori (Rinko Kikuchi) yang masih bergabung sebagai anggota militer membujuk Jack agar mendaftarkan diri lagi ke militer. Tentu saja Amara ikut bergabung menjadi salah satu kadet pilot Jaeger.
Meski belum pernah ada makhluk asing yang menyerang Bumi sejak Kaiju, inti cerita dari ‘Uprising’ adalah perjuangan generasi baru para pilot Jaeger melawan Kaiju berikutnya. Belum lagi konflik singkat dengan perusahaan teknologi China yangkeukeuhmau pakai Jaeger dengan bantuan drone, bukan manusia.
Aksi pertempuran, drama kecil-kecilan, serta gaya bercandaan yang ala kadarnya dari ‘Uprising’ membuat gue jadingidamnasi pecel ayam,gaes. Kenapa bisa?!?Kok gak nyambung?!? Berikut alasannya…
Sinematografi, teknik pengambilan gambar ala Michael Bay -- murahan!
Di tengah cuaca mencekam karena angin super kencang dan upaya mengirit uang makan karena sudah memasuki wilayah Indonesia akhir bulan, gue memutuskan nekad nonton ‘Uprising’.
Jujur, gue agak sangsi awalnya untuk menonton film ini. Selain karena duit semakin menipis yang membuat gue harus sering makan di tenda-tenda, bisa dibilang gue adalah penganut “judge a book by its cover” setiap kali menonton trailer film. Lalu, gue pun cukup kecewa bukan del Toro yang jadi sutradara.
Nah,saat pertama kali lihat trailernya, sontak gue berucap, “walach, kenapa berubah jadi film Michael Bay!?”
Pastigakasingdong, sama nama Michael Bay. Itulho, sutradara ambisius yang membuat film-film terkenal macam ‘Armageddon’, ‘Pearl Harbor’, ‘Project Almanac’, ‘Teenage Mutant Ninja Turtles’, dan sudah pasti waralaba ‘Transformers’.
Supayaapple to apple, ambilaja‘Transformers’ yang sama-sama robot. Iya tahu, Jaeger beda dari robot-robot Transformers. Tapi bukan itu poin gue.
Bagi kalian yang sukamerhatiingaya khas tiap sutradara, pasti pahamstyleBay seperti apa.Shotgambar ala Bay adalah serba cepat, biasanya dari jarak jauh lalu bergerak cepat mendekat, dan membuat penonton terasa seperti terombang-ambing. Sebagai tambahan, Bay ini doyanbangethal-haldamaging, alias adegan kehancuran sana-sini danactionberlebihan.
Hal itulah yang benar-benar gue rasakan dariexperiencenonton ‘Uprising’ karya DeKnight. Efek visualnya memanggakjelek-jelekamat kayakfilm laga zaman dulu, tapi tetap memunculkan kesan bahwa ini film ‘murahan’ yang dibikin karena “lagi pengen aja”. Kalian bakal menemukan banyak efek ala 'The Matrix' di film ini,gaes..
Hal ini membuat gue otomatis langsung bernostalgia dengan ‘Pacific Rim’ garapan del Toro untuk membandingkannya.Beuh…jauhbanget,sodara-sodara. Pengambilan gambar del Toro terasa dekat dengan penonton, memperlihatkan emosi dari tiap karakter, serta memperhatikan detail saat pertempuran melawan Kaiju -- bagaimana tiap robot beraksi tanpa efek transisi kamera yang serba cepat dan bikin pusing.
Di dalam bioskop, gue berusaha sekuat tenaga agar tetap berpikir positif, paling enggak harapan gue terletak di alur cerita yang sekiranya bisalahdibikin bombastis dan epik. Gue belum merasa sayangngeluarinuang Rp25 ribu perak buat beli tiket meski perut rasanyaudahkeroncongan karena belum makan.
Karaktergak memorable, nihil emosi, alur ketebak, jokes receh
Tanpa berpanjang lebar, hampir semua karakter di ‘Uprising’ sangat mudah terlupakan,gaes. Adalho, film-film yang berisi berbagai karakter tapi kita hafal tiap nama mereka dan seperti apa karakternya.Lah ini…
Boyega yang memerankan Jake, sebetulnya diagakjelek aktingnya. Lumayan cocok jadi seorang Jake yang cuek, agakselengeangitu. Tapi, kuranggreget aja. Begitu pun dengan karakter lain yang menurut gue,gakadaemotion-nya sama sekali. Pendalaman karakternyagakada.
Karakter Amara cukup menarik perhatian karena jago sebagai pilot amatir dan semacam punya dendam terpendam terhadap Kaiju. Selain Amara, karakter Hermann Gottlieb dibawakan dengan cukup apik oleh Burn Gorman (aktor senior,gakheran).But, that’s it.Gakdidukung oleh alur yang kuat.
Sangvillain, Newton Geiszler (Charlie Day) gak membuat gue tergugah dan merasa kesal dengan kejahatannya. Merasa terancam pun enggak. Padahal,villainyang keren itu ‘kan mereka yang sukses bikin penonton terbawa emosi karena kesalngeliattingkahnya.
DeKnight turut memasukkanjokesatau bercandaan ke dalamscreenplay, yang sebenarnya recehbangettapi cukup menghibur lah mengingat hampir semua elemen di film ini kacau.
Soal alur… jangan tanya. Kamu masih ingat ‘kan, betapa epiknya ‘Pacific Rim’ yang mengerahkan tiga Jaeger, yaitu Crimson Typhoon yang bertarung di China, Cherno Alpha yang fokus di Rusia, serta Striker Eureka dan Gypsy Danger khusus Australia.
Storylinetersebut bisa dibilangbelievabledan membuat kita terbawa di dalam keseruan tiap pertarungan melawan Kaiju.
Sementara ‘Uprising’, DeKnight seakan ingin membuat plot yang lebih kompleks dan lebih canggih, tapi jatuhnya malah seperti menyaksikanvideo game.
Kaiju3-in-1yangngebet bangetmau mendaki Gunung Fuji melawan sejumlah Jaeger di tengah kota Tokyo dengan gedung-gedung yang telah hancur berantakan... Sungguh, sebuah pertempuran yang gak cuma merusak Tokyo, tapi juga merusaklegacydel Toro.
Semua alasan di atas, fix membuat gue langsung menyesal membuang Rp25 ribu perak di akhir bulan yang sungguh menyiksa ini. Tahu gitu, Rp25 ribu tadi gue pake buat makan nasi ayam pecel, malih!!