Richarlison, Bintang Brasil yang Nyaris Dibunuh Pengedar Narkoba

pada 5 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Sebuah keluarga besar di daerah Nova Venecia, sekitar 770 kilometer perjalanan darat dari area metropolitan Brasil Rio De Janeiro, serius menyimak televisi di ruang tamu. Dalam siaran Jumat (17/5/2019) kemarin itu, pelatih Timnas Brasil, Tite, sedang mengumumkan daftar pemain untuk Copa América 2019. 

Satu per satu nama disebut. Hening menyelimuti penghuni rumah hingga Tite menyebut nama pemain ke-19. Reaksi seisi rumah pecah.

Rupanya nama yang disebut adalah Richarlison de Andrade, salah satu anggota keluarga tersebut.

Richarlison, yang  mengenakan seragam basket Lakers dengan nama punggung Kobe Bryant, langsung berjingkrak dan diberi selamat seluruh anggota keluarga.


Masuknya Richarlison sebenarnya bukan kejutan. Survei media lokal selalu menempatkannya di posisi 10 besar pemain favorit warga Brasil.

Ini dimungkinkan karena performa dia bersama Everton musim ini relatif menjanjikan. Bekas penggawa Fluminense itu mengemas 13 gol di EPL 2018/2019, mengungguli pemain-pemain Brasil lain yang juga merumput di Inggris macam Willian (tiga gol) dan Lucas Moura (10 gol).

Meski demikian, lolosnya Richarlison jelas patut dirayakan, khususnya oleh masyarakat Brasil yang masih percaya bahwa level tertinggi sepakbola tidak melulu hanya bisa diakses kalangan menengah ke atas.

Potret Kehidupan Sulit


Lahir 10 Mei 1997, putra pertama dari lima bersaudara ini tidak berasal dari lingkungan mapan. Vila Rubia, kampung halamannya yang terletak di Nova Venecia, lebih dikenal sebagai penghasil minyak dan baja ketimbang pesepakbola.

Selain jadi kuli tambang, sebagian pemuda di sana punya kehidupan lebih kelam: menjadi pengedar narkoba.

"Banyak teman sekampung saya terjerumus narkoba, sebagian besar dari mereka masuk penjara. Saya kadang masih berbicara dengan mereka, tapi saya beruntung karena tidak terjerumus hal serupa," kata Richarlison kepada FourFourTwo, 2018 lalu.

Namun bukan berarti keluarga Richarlison baik-baik saja. Orangtuanya cerai ketika dia baru berumur tujuh. 

Richarlison sempat hidup dengan ayahnya, lalu bersama ibunya pada usia 10. Tempat tinggal ibunya di Aguia Branca, yang masih bagian dari Nova Venecia, demografinya relatif sama dengan Vila Rubia. Namun kehidupan Richarlison relatif lebih sulit karena dia harus membantu menafkahi empat orang adik.

"Saya bekerja di tempat pencucian mobil, menjual es krim, membuat cokelat, dan membantu kakek berkebun," tutur Richarlison.


Satu-satunya hiburan Richarlison kecil adalah sepakbola. Di sela-sela kesibukannya itu, dia rutin bermain bola hingga akhirnya bergabung dengan akademi lokal, Real Noroeste.

Untuk menekuni sepakbola pun, segalanya tidak mudah bagi Richarlison. Dia harus berpindah-pindah tempat dan menyesuaikan dengan kondisi keuangan.

"Tidak jarang saya harus menetap di rumah paman karena dari situ tempat latihan lebih dekat. Itu penting karena saya tak punya uang untuk membayar tiket bus dari rumah ke tempat latihan," kenangnya kepada media asal Spanyol,AS.

Keajaiban lantas terjadi saat usianya 16 tahun. Renato Velasco, seorang pebisnis, pemandu bakat, dan agen sepakbola melihat potensi Richarlison dalam beberapa latih tanding. Maka saat itu juga, Velasco menawari Richarlison kesempatan untuk bergabung dengan akademi America Mineiro.

"Saya akan membantumu karena kamu punya potensi,"ujarVelasco, yang hingga kini menjadi agen Richarlison.

Belum sampai setahun berada di akademi America Mineiro, Richarlison langsung dipromosikan naik ke skuat senior. Setahun berikutnya, tepatnya pada 2015, klub tangguh Brasil Fluminense meminangnya.

Karier Richarlison di Fluminense terus melesat hingga dua musim berselang, klub EPL, Watford, merekrutnya. Hanya setahun Richarlison singgah di Vicarage Road lantaran pada awal musim 2018/2019 Everton menebusnya dengan biaya 45 juta euro, angka yang sempat bikin Richarlison memecahkan rekor transfer klub.

 

Nyaris Mati di Tangan Gembong Narkoba


Karier Richarlison memang melesat cepat. Kini, hanya sekitar lima tahun sejak bekerja sama dengan Velasco, dia sudah jadi bintang di klub sekelas Everton. Namun, pemain yang juga sempat memperkuat Timnas Brasil U-20 itu rupanya tak suka dilabeli 'pemain instan'.

"Jika yang dibicarakan karier profesional, barangkali ya (instan). Di akademi saya bahkan hanya main 11 pertandingan sebelum masuk ke skuat inti. Tapi ada proses panjang yang tak bisa saya jelaskan. Saya rasa itu adalah kerja keras, konsistensi, keyakinan, dan kekuatan mental untuk melewati cobaan berat," tuturnya.

Selain kondisi ekonomi, hal sulit lain yang sempat menguji komitmen Richarlison adalah penolakan. Sebelum bakatnya terendus oleh Renato Velasco, dia berulang kali melakoni trialdengan klub-klub Brasil dan seluruhnya gagal.

"Saya tidak punya jari yang cukup untuk menghitung siapa saja yang menolak saya. Di titik itu saya nyaris menyerah dan berhenti dari sepakbola,"jelasnya.

Lantas apa yang membuatnya terus bertahan?

Dalam wawancara dengan jurnalisTelegraph, Caio Carrieri, pada 19 Oktober 2017, Richarlison bercerita soal pengalaman hidup yang bikin dia jadi pemain tahan banting.

"Kami tinggal di rumah kecil, di belakang rumah kami ada lahan kosong yang biasa dipakai para pengedar narkoba menyembunyikan dagangannya. Sebagian dari orang-orang itu teman saya sendiri, jadi saya tak bisa protes kepada mereka," tuturnya.


Suatu saat, salah satu pengedar narkoba itu terlibat masalah lantaran mencuri 'barang' dari gembong narkoba kelas kakap. Bos dari komplotan pengedar itu mendapati barang curiannya berada di halaman rumah Richarlison dan sempat mengira Richarlison adalah orang yang mencuri barangnya.

"Saya ingat, laki-laki itu menodongkan pistol ke arah saya. Dia mengira saya adalah orang yang mencuri barang miliknya," kata Richarlison. "Jika orang itu menembakkan pistolnya, saat ini saya pasti sudah mati."

Momen menakutkan itu terlewatkan begitu si pemegang pistol menyadari kalau dia cuma salah paham.

Pengalaman nyaris mati itu, menurut Richarlison, adalah momen penting yang membuatnya tidak pernah takut lagi mematok target lebih tinggi dalam karier.

"Hidup saya bisa saja sudah berakhir karena selalu berada di tempat yang salah dan pada waktu yang salah," kenangnya.

Kini, setelah dipastikan masuk ke skuat Brasil untuk Copa América 2019, pria bertinggi 179 sentimeter itu punya satu komitmen baru: mengantarkan negaranya menjadi juara di CONMEBOL untuk kali ke-20.
Baca juga artikel terkaitRICHARLISONatau tulisan menarik lainnyaHerdanang Ahmad Fauzan