Rumah Tuhan yang Ramah Bagi Kaum LGBT
Ke mana seorang lesbian, seorang gay, seorang biseksual, dan seorang transgender muslim beribadah? Ke masjid, tentunya. Dan Pesantren Al-Fatah di Yogyakarta, Indonesia; Masjid Ibn Rushd-Goethe di Berlin, Jerman; Masjid Rakyat di Cape Town, Afrika Selatan, dan Masjid Persatuan di Toronto, Kanada, menjadi jawabannya.
Tapi, tunggu dulu. Perlawanan bahkan permusuhan dihadapi barisan masjid inklusif tadi. “Kabar baik” bagi kelompok minoritas itu dihantam kenyataan: lebih banyak muslim yang melihat keduanya (syariah Islam dan LGBT) sebagai air dan minyak yang tak bisa menyatu--dua hal yang tak bisa merangkul satu sama lain.
Membicarakanlesbian, gay, bisexual, dan transgender(LGBT) dalam bingkai Islam dan kaidah-kaidahnya selalu menjadi perkara problematis. Dan memang begitu adanya: bagi mayoritas muslim, ada pertentangan antara syariah Islam dan menjadi bagian dari LGBT.
Mempropagandakan LGBT dilarang, apalagi menjadi bagian kaumnya. Haram!
Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Maruf Amin pada konferensi pers “Pernyataan Ormas-ormas Islam dan MUI tentang LGBT” di Kantor MUI, Jakarta, 17 Februari 2016. Ia menyatakan bahwa aktivitas LGBT telah diharamkan dalam agama Islam maupun agama-agama samawi lainnya. “Demikian juga mengampanyekannya.”
Maruf juga menyatakan, aktivitas LGBT telah melanggar sila pertama dan kedua Pancasila--kemanusiaan yang adil dan beradab.
Untuk melengkapinya, Maruf pun menyebut seutas Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi, dan pencabulan. “Di fatwa itu, disebutkan hukum homoseksual adalah haram,” ujarnya seperti dilansir Antara.
Fatwa tersebut menjelaskan panjang lebar tentang apa saja ayat Alquran maupun sunah-hadis yang melarang seseorang melakukan aktivitas seksual sesama jenis.
Fatwa itu juga menyatakan bahwa orientasi seksual kepada sesama jenis dianggap sebagai kelainan yang harus disembuhkan, dan penyimpangannya harus diluruskan.
Bahkan, fatwa yang sama juga mendorong pemerintah untuk menggolongkan aktivitas LGBT sebagai delik umum dan memberikannya label “kejahatan yang menodai martabat luhur manusia”.
Tak ketinggalan, DPR RI dan pemerintah juga didorong MUI untuk tidak melegalkan keberadaan komunitas LGBT, dan menghukum para pelaku LGBT.
Sampai saat ini, pemerintah menolak campur tangan berlebihan. Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, pemerintah menganggap perkara LGBT adalah urusan pribadi.
“Kan negeri ini dalam hal-hal itu tidak perlu mencampuri urusan internal orang, selama itu urusan pribadi,” ucap Jusuf Kalla, 15 Februari 2016.
Meski begitu, tetap saja kelompok LGBT di Indonesia mendapat diskriminasi serius dari waktu ke waktu. Komitmen pemerintah yang memandangnya sebagai perkara pribadi yang tak seharusnya dicampurtangani pun, sepertinya hanya di mulut.
Beberapa kali, justru kementerian-kementerian yang menerbitkan kebijakan diskriminatif terhadap kelompok LGBT. Misalnya, selebaran Kementerian Pemuda dan Olahraga soal pemilihan duta pemuda kreatif 2016, yang salah satu syaratnya mewajibkan calon peserta “... tidak terlibat pergaulan bebas dan penyimpangan perilaku seksual termasuk LGBT…” dan harus dijelaskan dengan surat keterangan dokter. Juga komentar Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi bahwa kelompok LGBT jangan masuk kampus.
Saat pemegang otoritas tertinggi di suatu negara justru bertindak kontradiktif dengan mencampuri ‘urusan pribadi’ tadi, maka bisa dibayangkan apa yang terjadi di level akar rumput.
Mayoritas penghuni Indonesia memang beragama Islam. Di sisi lain, Indonesia bukan negara dengan latar penduduk serupa. Dan Indonesia negara hukum, sehingga apa yang tak dilarang di undang-undang mestinya tak diributkan.
Setiap orang, seharusnya, sama di mata hukum: sama-sama bebas dari diskriminasi, bebas dari persekusi, juga sama haknya dalam memperoleh perlindungan dari negara. Ini yang tidak ditemui--salah satunya--oleh Pesantren Al-Fatah di Yogyakarta.
Pesantren ini memang memilih jalan solilokui di tengah stigmatisasi LGBT yang--karena dianggap melanggar aturan kodrati yang diatur agama, dinilai jadi--tak berhak beragama. Pesantren Al-Fatah, yang kerap dijuluki Pesantren Waria, berdiri bagi mereka yang wadam itu.
Pesantren Al-Fatah terbentuk pada 2008, hanya dua tahun setelah gempa besar melanda Yogyakarta. Shinta Ratri, pendiri pesantren tersebut yang juga seorang waria, melihat kebutuhan akan adanya kanopi rohani yang menjadi atap rindang bagi kaumnya.
“Ini adalah saat-saat penuh penderitaan, dan para waria pun perlu cara untuk berdoa,” ucap Shinta. “Kami perlu tempat untuk berdoa bersama dan belajar soal keislaman.”
Shinta mendirikan Pesantren Al-Fatah di bangunan yang sebetulnya rumahnya sendiri. Lewat pesantren tersebut, Shinta dan teman-temannya ingin melantangkan apa yang menjadi keyakinannya: bahwa kawan-kawan waria juga manusia yang ingin beribadah.
Shinta Ratri dan teman-temannya tahu persis bagaimana rasanya menjadi seorang waria yang ingin beribadah di negeri yang mayoritas penduduknya muslim konservatif.
Yuni Shara, salah satu mantan pegawai--yang juga waria--yang pernah tergabung dalam operasional Pesantren Al-Fatah sebagai sekretaris, mengatakan bahwa ia menemukan penerimaan yang tak pernah ia dapatkan di masjid-masjid lokal lainnya.
“Orang-orang biasanya melototi saya di masjid-masjid. Mereka bakal menunjuk-nunjuk, ‘Tuh, tuh, dia waria,’” kata Yuni.
Shinta mengemukakan hal serupa. ”Kayak misalnya salat di masjid ada yang bisik-bisik, lalu pada ninggal safnya, ketika tahu dia itu waria,” katanya kepadakumparandi kediamannya yang juga Pondok Pesantren Al-Fatah, Kotagedhe, Yogya, Rabu (28/6).
Perlakuan tersebut jelas membuatnya merasa dicibir, dan meski terlihat remeh, menimbulkan rasa jengah dan luka jika terjadi berkepanjangan. “Sehingga kawan-kawan ini salat sendiri di rumah.”
Delapan tahun setelah terbentuknya, Pesantren Al-Fatah diterpa penolakan dan protes. Pesantren yang lengkap dengan ruang-ruang madrasah untuk belajar dan musala untuk beribadah itu beberapa tahun terakhir dituntut ditutup.
Beberapa ormas di Yogya mendatangi pesantren tersebut, menyebutnya liabilitas dalam ajaran Islam yang tak menerima kaum yang berpindah kodrat.
Hasilnya, pesantren tersebut ditutup pemerintah setempat. Alasannya karena mereka tak punya izin dan dianggap meresahkan warga setempat.
Resah atau tidaknya masyarakat karena Ponpes itu patut diperdebatkan, namun yang jelas, penutupan baru terjadi 8 tahun setelah pesantren tersebut berdiri, dan hanya terjadi setelah muncul desakan dan ancaman ormas-ormas tertentu terhadap pesantren tersebut.
‘Kontroversi’ dan perkara ‘muslim dengan LGBT’ adalah dua sisi dalam satu mata koin. Anda tak bisa memilih satu di antaranya. Dan menyoal kebutuhan kelompok LGBT terhadap tempat ibadah dengan segala kontroversinya, hal tersebut bukan hanya terjadi di Al-Fatah, Yogyakarta.
Di beberapa negara lain, terutama di Eropa, pembentukan masjid dengan visi inklusif terhadap kelompok LGBT telah beberapa waktu dilakukan. Yang paling baru Masjid Ibn Rushd-Goethe di Berlin, Jerman.
Masjid itu didirikan oleh seorang aktivis keturunan Jerman-Turki, Seyran Ates. Ates, perempuan 54 tahun, mengatakan masjid tersebut terbuka untuk semua orang, termasuk muslim LGBT, dan akan membuatnya sebagai titik perlawanan bagi muslim-muslim esktrem yang mendapat dukungan dari kelompok teroris macam ISIS.
Cara yang diambil Ates cukup nyeleneh. Tata cara beribadah di masjid tersebut diubah, di mana laki-laki dan perempuan beribadah bersamaan tanpa adanya hijab (pembatas antara saf laki-laki dan perempuan). Burka yang menutup wajah juga dilarang bagi perempuan.
Kebijakan Ates dan masjidnya sontak mendapat tantangan keras dari mayoritas ahli agama dunia. Misalnya saja, institusi Islam Mesir, Dar Al Ifta Al Masriyyah, yang mengeluarkan pernyataan bahwa masjid tersebut melanggar syariah Islam dan menyebut liberalisasi nilai-nilai Islam bukanlah cara yang tepat untuk melawan ekstremisme.
Otoritas agama Islam tertinggi di Turki, Diyanet, juga mengatakan hal serupa. Menurut mereka, praktik masjid tersebut “...tidak selaras dengan sumber fundamental, prinsip-prinsip ibadah, dan praktik metodologi Islam yang telah terjaga selama lebih dari 14 abad.”
Kritik serupa dialami oleh masjid buatan Ludovic-Mohamed Zahed, yang sebetulnya hanya berupa ruangan di sebuah kuil Buddha di pinggir Kota Paris yang dialihfungsikan sebagai musala. Musala ini dibuka tahun 2012, yang diperuntukkan bagi kelompok gay, lesbian, dan muslim transgender.
Ludovic-Mohamed Zahed adalah seorang peneliti Islam, yang juga seorang gay. Ia menjadi pendiri dari ikatan Homosexual Muslim of France dan menikah dengan seorang laki-laki dari Afrika Selatan. Ia menyebut, langkahnya mendirikan musala di pinggiran Paris tersebut bertujuan untuk memberikan tempat ibadah yang inklusif bagi kelompok LGBT.
“Banyak laki-laki gay yang tidak ke masjid hanya karena mereka tak ingin dikenali,” ucap Zahed, dikutip dari BBC. “Mereka tidak ingin dikucilkan, hanya karena mereka mengenakan anting, hanya karena mereka banci, atau hanya karena mereka transgender. Mereka kerap ditolak ke masjid di Prancis gara-gara hal itu.”
Sementara itu, Imam Ajmal Masroor dari London mengatakan bahwa ruangan yang diciptakan Zahed untuk orang-orang salat tak bisa disebut sebagai sebuah masjid, karena tidak mengikuti tuntunan agama Islam.
Begitu pun Masjid Agung Paris mengeluarkan pernyataan resmi yang menentang. “Fakta bahwa dia (Zahed) membuka ruang ibadah adalah hal yang berada di luar syariah Islam. Alquran secara jelas mengutuk homoseksualitas. Hal tersebut dilarang.”
Masjid inklusif juga ada di Toronto, Kanada. Unity Mosque (Masjid Persatuan) menawarkan tempat bagi kaum queer dan LGBT. Pendirinya seorang pengacara bernama El Farouk Khaki, yang mendirikan Unity Mosque pada tahun 2009 bersama suaminya, Troy Jackson.
Khaki mengaku ingin membangun sebuah tempat yang aman bagi seorang muslim transgender, yang kebanyakan merasa perlu untuk menutupi identitas mereka ketika memasuki masjid, atau bahkan menghindarinya sama sekali.
Maka dibuatlah masjid itu, yang pada awalnya dirahasiakan keberadaannya untuk menghindari celaan-celaan dari orang luar kepada para jemaahnya.
Yang tak biasa, salah satunya, adalah ketika salat Jumat dilaksanakan. Pada salat Jumat umumnya, imam dan muazin selalu diisi laki-laki. Saf perempuan pun, apabila ada, pasti berada di bagian yang jauh terpisah, bisa di belakang maupun lantai atas.
Namun begitu, Masjid Persatuan berbeda. Siapapun berhak menjadi imam, muazin, maupun pengkhotbahnya, tak peduli jenis kelamin. Saf pun tak dipisah berdasarkan gender--yang kadang-kadang problematis bagi kelompok LGBT.
Contoh selanjutnya adalah People’s Mosque (Masjid Rakyat) di Cape Town, Afrika Selatan. Masjid itu didirikan oleh Muhsin Hendricks, seorang imam yang mengabdikan hidupnya untuk memberikan orang-orang LGBT sebuah tempat yang aman untuk beribadah, yang lepas dari cemoohan orang-orang muslim konservatif yang melihat homoseksualitas sebagai dosa.
Meski Afrika Selatan menjadi negara pertama yang melarang diskriminasi atas dasar orientasi seksual, dan menjadi negara yang telah melegalkan pernikahan sesama jenis sejak lebih dari 10 tahun lalu, sikap orang-orangnya tak mudah berubah.
Survei Other Foundation menunjukkan, 72 persen orang Afrika Selatan yang percaya bahwa aktivitas seksual sesama jenis secara moral adalah salah.
Hadirnya penerimaan lewat masjid tersebut lantas menjadi harapan bagi kaum LGBT muslim Afrika Selatan yang ingin beribadah dengan nyaman.
Sebab sebagai manusia, yang diperlukan bukan hanya jaminan hukum, namun juga wadah rohani yang ‘menerima’.