RUU Penyiaran dianggap anti digitalisasi

pada 8 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran yang bertujuan merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dianggap anti digitalisasi dan memunculkan persaingan tidak sehat.

“Kalau membaca dokumen dari RUU itu, saya merasakan sudah melenceng dari cita-cita mulia lahirnya ide revisi,” ungkap Ketua Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) Kamilov Sagala di Jakarta, Rabu (31/5).

Menurutnya, tujuan sebenarnya dari revisi UU adalah mengakomodir pengalihan dari frekuensi analog ke digital atau dikenal dengan sistem multipleksing. Tujuan multipleksing adalah untuk menghemat jumlah saluran fisik, misalnya kabel, pemancar & penerima (transceiver) atau kabel optik.

Dikatakannya, dalam Pasal 20 RUU Penyiaran ayat (1) ini jelas menyebutkan bahwa “Model migrasi dari penyiaran analog ke digital adalah multiplekser tunggal”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan pula bahwa “Frekuensi dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah”.

Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Televisi Republik Indonesia atau RTRI ditetapkan sebagai multiplekser tunggal, yang alternatifnya untuk siaran televisi diberikan kepada lembaga penyiaran televisi publik yaitu TVRI.

“Penetapan atau konsep single mux ini sebenarnya mengarah pada tindakan monopoli. Hal ini jelas melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” tukasnya.

Diingatkannya, penguasaan yang mengarah pada pembatasan ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, sehingga sangat nyata bahwa konsep single mux bukannya mengarahkan pada tujuan meningkatkan daya saing atau pun menciptakan iklim usaha sehat.

Selain mengarah pada ancaman monopoli, proses digitalisasi yang diharapkan akan cepat menjadi lambat karena mux operator harus mengakomodasi banyak media yang tentunya akan membutuhkan kapasitas infrastruktur digitaliasi (menara, antena, dan lain-lain) dalam jumlah yang sangat besar. Sementara infrastruktur televisi analog yang dimiliki oleh LPS menjadi tidak bermanfaat. “Lha ini mau digitalisasi kok menjadi malah anti digitalisasi,” keluhnya.

Tidak akomodatif
Masih menurutnya, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara  seharusnya dapat melihat polemik ini, sehingga tidak serta merta memberikan usulan kepada Panja Penyiaran Komisi I DPR RI hanya dengan melihat satu aspek tanpa mempertimbangkan masukan dari stakeholder penyiaran.

Tidak akomodatifnya Menkominfo dalam menciptakan kebijakan ini dilihat dengan dasar utama mendorong peningkatan kontribusi Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) pada negara dengan membandingkan dua hal yang sama sekali tidak relevan.

“Kontribusi LPS (industri penyiaran) dibandingkan dengan operator telekomunikasi seluler (industri telekomunikasi) adalah dua industri yang sangat berbeda, baik dalam hal karakter layanannya, sumber pendapatan sampai pada persoalan jumlah pelaku yang berkecimpung dalam masing-masing industri. Perbandingan itu jelas tidak relevan,” katanya.

Perlu diketahui bahwa karakter layanan dari LPS yaitu memberikan tayangan kepada seluruh pemirsa secara cuma-cuma Free To Air (FTA), sedangkan operator telekomunikasi membebankan pembayaran terhadap setiap layanan yang digunakan pelanggan (subscripction payment system).

Sumber pendapatan LPS hanya berasal dari penayangan iklan, itu pun saat ini telah ada pembatasan jumlah durasi, sedangkan sumber pendapatan oleh operator telekomunikasi berasal dari berbagai sumber, mulai dari proses aktivasi, penggunaan airtime yang berlaku per detik, pendapatan roaming internasional, pengaktifan atau pemakaian layanan data termasuk juga iklan.

Biaya pengadaan konten hanya dapat dikembalikan apabila mendapatkan rating dan share yang tinggi sehingga pengiklan tertarik untuk membeli spot iklannya.

Sebaliknya, pada industri telekomunikasi yang menyediakan layanan voice dan data serta konten-konten yang disiarkan dan konten lainnya akan dibebankan dan dibayar oleh pelanggan.

Besarnya belanja iklan bersih (net advertising expenditure) industri FTA adalah Rp 15 triliun sedangkan pendapatan para operator telekomunikasi mencapai Rp 203 triliun pada 2016.

“Jadi, Pak Menteri ini banyak salah pahamnya. Lebih baik blusukan ke komunitas penyiaran sebelum meneruskan membahas revisi UU Penyiaran ini. Saya lihat tiap hari aktif muncul di media kegiatan ini-itu, masa denger masukan saja gak mau,” sindirnya.(id)