‘Salah Kaprah’ soal Smart City yang Masih Sering Terjadi, Apa Saja?
Uzone.id– Pemerintah saat ini sedang gencar ‘mencerdaskan’ perkotaan lewat beberapa program, termasuk program Menuju 100Smart Citydi Indonesia.
Gagasansmart citysendiri sudah ‘booming’ semenjak tahun 2006 awal di seluruh dunia, dan mulai masuk ke Indonesia semenjak akhir 2010. Indonesia sudah punya PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 59 Tahun 2022 yang mengatur tentang perkotaan dalam mendukung implementasi Kota Cerdas.
Definisi kota cerdas atausmart citysendiri masih simpang siur hingga saat ini, masih banyak yang keliru mengenai konsep yang dihadirkan dari ‘kota cerdas’ ini.
Namun yang pasti, kota cerdas ini tidak hanya bergantung kepada teknologi dan alat serba canggih ala-ala filmscience fictionnamun juga melibatkan unsur-unsur di dalamnya.
Menurut Harya Damar Widiputra selaku Pakar Teknologi Informasi dan Tenaga Ahli Kominfo, sebuah wilayah perkotaan yang cerdas ialah wilayah perkotaan yang mampu meningkatkan kualitas layanan pada masyarakatnya dan menjaga keberlangsungan di dalamnya.
“Sebuah Smart city itu harusnya memiliki kemampuan agar tetapsustain, dimana orang-orang tetap akan ‘hidup’ di wilayah perkotaan itu,” ujarnya dalam acara Uzone Talks, Kamis, (31/08).
Menurut Harya,smart cityini tidak hanya bergantung kepada teknologi dan inovasi yang diterapkan saja namun juga bergantung pada pengaruh yang diberikan dari dua hal ini. Peranan masyarakat dan pemerintah yang‘smart’juga menjadi pendorong keberhasilan sebuah kota disebut sebagaismart city.
Misalnya di Jakarta, banyak teknologi dan inovasi yang terus diterapkan untuk memudahkan keberlangsungan hidup masyarakatnya sehari-hari. Dari mulai di bidang kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain sebagainya. Namun, hal ini lantas tidak membuat Jakarta langsung dicap sukses disebut sebagaismart city.
Harya menjelaskan kalau smart city ini berarti pemerintah dan juga masyarakat di dalamnya telah ikut‘smart’.
“Pembuktian sebetulnya adalah, apakah masyarakat yang tinggal di kota ini dari waktu ke waktu menjadi semakin sehat, pendidikan menjadi semakin baik, pendapatannya juga meningkat, kesejahteraannya meningkat. Intinya kita hidup aman nyaman di Jakarta, tidak sakit dan tidak stress, berarti itu bukti nyata bahwa kota ini adalah adalahsmart city,” ujarnya.
Salah kaprah soal konsep smart city inilah yang ingin diluruskan oleh Kementerian Kominfo lewat pendampingan dan bimbingan ketika menyusun masterplansmart citydi setiap daerah.
Ia menjelaskan kalausmart cityini tidak hanya belanja atau beli aplikasi saja, atau hanya sebatas teknologi seperti kehadirandata center,fiber optik,command centerdan sebagainya, namun juga dibarengi dengan dampaknya dalam penyelesaian masalah di masyarakatnya.
“Orang berpikir bahwa smart city itu hanya terbatas IT jadi bisa langsung disebutsmart city.Padahal di luar sana, masyarakatnya makin banyak yang sakit, putus sekolah, tidak dapat sekolah. Ya berarti itu tidaksmart,” ungkapnya.
Sehingga menjadi percuma kalau sebuah kota memiliki jumlah aplikasi yang banyak, punya data dan command center tapi pada akhirnya tidak impactful dan memberikan kemajuan pada masyarakatnya.
Oleh karena itu, Harya menjelaskan kalau pemerintah terus berusaha untuk mengikis pemahaman bahwasmart cityitu bukan yang penting belanja atau beli aplikasi, gelar fiber optik, pasang wifi gratis, command center atau data center dan sebagainya.
Namun juga memikirkan mengenai dampak ‘cerdas’ untuk keberlangsungan hidup masyarakat di dalamnya.