Saracen dan Bisnis Kebencian di Era Jokowi

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Kondisi politik di era pemerintahan Joko Widodo membuka peluang tumbuhnya bisnis penyebaran kebencian di dunia maya. Bisnis yang dikenal dengan istilahe-hateini bukanlah barang baru.

Pelaku bisnise-hatemengeruk keuntungan dengan cara memprovokasi lewat berita-berita bohong (hoax) yang secara terus menerus diproduksi sesuai pesanan. Mereka menyebarkan konten-konten yang menyudutkan suku, agama, ras, atau pandangan politik yang berlawanan dengan si pemesan.

Indonesia, menjadi sasaran empuk pelaku-pelaku bisnis kebencian yang memiliki daya rusak sangat besar untuk persatuan negara.

Di Indonesia, bisnis kebencian mulai nyata. Pelakunya, sindikat Saracen.

Polisi menangkap tiga orang pengelola Saracen. Lewat media sosial, seperti Facebook, dan twitter Saracen menyebarkan konten berisi ujaran kebencian. Bahkan, Saracen mengelola situs berita khusus untuk memuaskan pemesan.

Kepolisian membenarkan, konten bermuatan SARA yang disebarkan sindikat Saracen merupakan pesanan dari pihak tertentu. Mereka tarif puluhan juta untuk setiap konten yang mereka produksi dan sebarkan.

Tak tanggung-tanggung, Saracen memiliki ratusan ribu akun media sosial yang siap menggerakan konten-konten provokasi itu, sehingga berseliweran di jagat maya.

Menurut pengamat media sosial Nukman Luthfie menyebut maraknya bisnis kebencian itu, tidak bisa dilepaskan dari panasnya situasi politik di Indonesia.

Nukman berpendapat selalu ada pihak yang tidak suka kepada pihak lagi, bisa pemerintah, partai politik, tokoh politik, agama, hingga suku tertentu.

"Pasar itu ada, kemudian diisi oleh orang-orang yang beranisupplykonten-konten yang dipesan sama mereka," kata Nukman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (24/8).

Menurut Nukman para pembuat konten ujaran kebencian itu paham betul adanya peluang di pasar tersebut.

Nukman menuturkan, para pembuat konten ujaran kebencian tersebut tidak peduli terhadap latar belakang pemesan konten. Meski berbeda ideologi, agama, suku, asalkan si pemesan mampu membayar, mereka akan melayaninya.

"Tidak peduli ideologi, bisa sekarang melayani A, pada saat bersamaan bisa melayani lawan dari A," ucapnya.

Selain itu, kata Nukman pembuat konten juga tidak memiliki kepedulian terhadap efek yang akan ditimbulkan di masyarakat.

Menurutnya, kepedulian para pembuat konten tersebut hanya pada keuntungan yang akan mereka peroleh setelah membuat dan menyebarkan konten ujaran kebencian sesuai dengan pesanan.

"Enggak tahu moral," ujar Nukman.

Aksi menolak penyebaran konten hoax. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Dihubungi terpisah, pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Ade Armando mengatakan sindikat Saracen berhasil memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi untuk menyebarkan ujaran kebenciaan.

Menurut Ade, kemajuan teknologi tersebut seharusnya bisa digunakan sebagai alat demokratisasi di Indonesia, sehingga masyarakat bisa berkomunikasi dengan bebas, termasuk dalam mengontrol pemerintah.

"Tapi sekarang dimanipulasi, dan dimanfaatkan untuk kepentingan penyebaran fitnah danhoax," kata Ade.

Ade menuturkan, munculnya sindikat seperti Saracen tidak bisa dilepaskan dari fenomena politik yang terjadi sejak 2014 silam.

Menurutnya saat itu polarisasi politik menjadi sangat keras, sehingga mengakibatkan praktik menyebarkan ujaran kebencian dan berita bohong untuk menjatuhkan lawan politik menjadi praktik yang lazim.

"Mentransformasi bukan hanya peluang politik tapi bisnis secara cerdik, dalam politik, orang bisa melalukan segala cara," ujarnya.

Dilihat dari aspek peluang bisnis, Ade berpendapat pengelola Saracen telah berhasil membuat nilai ekonomi dari media sosial menjadi sebuah keuntungan.

Ade berpendapat, Saracen menawarkan diri untuk menjadi alat perang bagi kekuatan-kekuatan yang memiliki ideologi bertentang dengan pemerintah.

Sindikat Saracen, kata dia, tentunya tak sembarangan dalam melayani pesanan. Mereka akan melihat latar belakang pemesan.

Kata dia, jika dilihat dari orang-orang pengelola Saracen diduga merupakan kelompok anti-Jokowi.

"Seandainya ada kubu Jokowi meminta mereka menyebarkan fitnah untuk menjatuhkan lawan mereka saya yakin itu tidak akan dilakukan karena mereka punya ideologi," tutur Ade.

Lantas, siapa sebenarnya pemesan ujaran kebencian, kelompok anti-Jokowi, atau kelompok pro-Jokowi?

Berita Terkait