Sejarah Kampung Arab Manado, Tempat Lahir Bahar bin Smith

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Bahar bin Smith lahir di Kampung Arab di Manado, Sulawesi Utara. Sejarah mencatat, di kota yang sebagian besar warganya memeluk Kristen ini orang-orang pendatang bisa diterima dengan baik.

Berdasarkan surveiSetara Institute pada akhir 2018, Manado menempati urutan ke-4 dalam kategori kota paling toleran di Indonesia. Urutan ini jauh melampaui Jakarta. Orang-orang non-Kristen di Manado bisa hidup nyaman dengan agamanya masing-masing, termasuk kaum Muslim.

Orang-orang Islam di sana bisa berbaur dengan masyarakat sekitar yang Kristen. Tidak jarang, seorang Islam punya sepupu atau kerabat beragama Kristen.

Agama Islam masuk ke Sulawesi Utara bersamaan dengan masuknya pedagang-pedagang Arab. Mereka kemudian beranak-pinak di sana. Sudah ratusan tahun orang Arab hidup di Sulawesi Utara, termasuk di kota pelabuhan Manado. “Tahun 1590-an sudah ada Syarif, pedagang Arab di Manado,” tulis Jessy Wenas dalamSejarah dan Kebudayaan Minahasa (2007: 23).

Selain itu, ada juga seorang Arab bernama Wahid Rais yang tinggal di daerah pesisir Belang—kini masuk wilayah Minahasa Tenggara. Wahid Rais beristrikan wanita Bola'ang-Mangondouw. Jessy Wenas menyimpulkan, “terlihat bahwa saudagar Arab memang telah lama datang ke kota pelabuhan di Minahasa.”

 

Orang Arab Datang untuk Berdagang

Di banyak wilayah di Indonesia, orang-orang Arab tinggal di kampung Arab, seperti orang-orang Cina tinggal di pecinan. Tak terkecuali di kota Manado. Masyarakat di kampung Arab maupun pecinan biasanya tunduk kepada kepala yang satu etnis dengan mereka, yang biasa disebutwijkmeester(kepala kampung).

Mereka juga punya kepala masyarakat yang diberi pangkat tituler ala militer berdasar banyaknya komunitas yang disebutvreemde oosterlingen(timur asing) tersebut. Kadang letnan, kadang kapiten (kapten). Para kepala masyarakat dan kepala kampung itu tunduk kepada hukum kolonial.

Dalamblognya, jurnalis sekaligus budayawan Minahasa, Adrianus Kojongian, menyebut di tahun 1866 hanya ada 11 orang orang Arab; 1868 menjadi 16 orang; 1872 jadi 18 orang; dan di tahun 1930 telah berlipat menjadi 315 laki-laki dan 270 wanita.

Kota Manado adalah kota terbuka. Ada bermacam-macam etnis di sana. Bukan cuma orang-orang asli Sulawesi Utara—yang disebut sebagai orang Minahasa atau Manado oleh orang luar. Berdasarkan dataBadan Pusat Statistik(2010), penganut Kristen di Sulawesi Utara lebih dari 60 persen dan pengikut Islam hanya sekitar 30 persen. Sisanya agama lain. Agama Islam banyak dianut etnis-etnis yang dianggap pendatang, seperti Bugis, Gorontalo, Ternate. Orang-orang Minahasa atau Manado juga ada yang beragama Islam.

Kampung Arab, juga Kampung Islam, adalah kampung-kampung yang sering dikunjungi kaum Muslim di sekitar Manado. Setiap bulan puasa, seperti dicatat antropolog Nono Sumampouw dalamMenjadi Manado: Torang Samua Basudara, Sabla Aer, dan Pembentukan Identitas Sosial (2018: 17), Kampung Arab menjadi pusat keramaian orang-orang Islam dan lainnya. Meski begitu, cap eksklusif orang-orang Arab di daerah ini tidak jauh beda dengan daerah lain.

Orang-orang Arab yang datang ke Nusantara untuk berdagang itu lebih banyak berada di kota-kota pelabuhan. “Mereka tidak masuk ke pedalaman Minahasa,” tulis Jessy Wenas.

Mereka menetap di kota-kota pelabuhan saja karena mereka hendak berdagang. Dakwah Islam kepada masyarakat kebanyakan hanya sambil lalu.

Agama Islam dan Orang Jaton

Sebelum 1830 agama yang dominan di pedalaman adalah agama asli Sulawesi Utara, Alifuru. Ketika Kiai Mojo dan pengikutnya dibuang ke Tondano setelah Perang Jawa usai (1830), agama itu masih dominan. Para pengikut Kiai Mojo hidup tidak jauh dari suku-suku asli di tanah Minahasa, yang sempat melawan Belanda dalam Perang Tondano dan diikutkan dalam Perang Jawa untuk melawan Diponegoro.


Remy Sylado dalamPerempuan Bernama Arjuna 5: Minasanologi dalam Fiksi (2017) menyebut, “memang harus diakui, bahwa karena komunitas Arab yang beragama Islam terpisahkan dengan mayoritas orang Minahasa yang beragama Kristen.”

Orang-orang Arab tidak seperti orang-orang Islam non-Arab yang lebih bisa berbaur dalam masyarakat umum. Menurut Remy, hal itu menyebabkan pengaruh bahasa Arab, atau setidaknya bahasa yang dipakai di Kampung Arab, tidak berpengaruh ke dalam bahasa Manado sehari-hari. Pengaruh orang Islam Kampung Arab masih kalah hebat dibandingkan dengan orang-orang Islam di tepi Danau Tondano.

Para pengikut Kiai Mojo dan Diponegoro di tepi Danau Tondano itu berbaur dengan penduduk setempat sembari tetap mempertahankan agama yang mereka anut. Setelah adanya perkawinan antara orang buangan dengan perempuan setempat pada 1831, maka pengikut Kiai Mojo dan perempuan yang mereka nikahi itu membentuk sebuah kampung Islam. Bahkan terbentuk pula semacam etnis baru di pesisir Danau Tondano. Mereka bukan Jawa, juga bukan Tondano, tapi Jawa-Tondano alias Jaton.



Orang Jaton lebih terbuka dalam menyerap bahasa lokal. Mereka bahkan tidak kalah dalam penguasaan Bahasa Tondano ketimbang orang Tondano asli.

Saat ini, menurut sejarawan Roger Allan Kembuan, yang pernah meneliti Jawa Tondano, orang-orang di Minahasa lebih banyak memakai bahasa Manado atau Melayu Manado. Ada beberapa kata bahasa Jawa yang memengaruhi orang-orang di sekitar Danau Tondano. Kusir-kusir kereta kuda di sana, misalnya, mengucap “wes” pada kudanya agar berhenti.

Itu belum apa-apa. Roger Allan Kembuan dalam tesisnya,Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908(2016: 177), menyebut, “Pengaruh signifikan orang buangan dalam pertanian di Tondano dapat dilihat pada pengenalan membajak sawah.”

Pertanian kian maju setelah pengikut Kyai Mojo datang. Mereka dianggap lebih bisa berbaur dengan masyarakat lokal dibanding orang-orang Arab di Kampung Arab Manado.
Baca juga artikel terkaitMANADOatau tulisan menarik lainnyaPetrik Matanasi