Serangan Fajar, Rezeki Jelang Pencoblosan di Pilkada
Pilkada serentak 2018 memasuki tahapan yang paling penting, yakni pemungutan suara pada hari ini, Rabu (27/6). Pemungutan suara sendiri dilakukan secara serentak di 171 daerah, tediri dari 17 provinsi, 39 kota, serta 115 kabupaten. Jumlah pemilih Pilkada serentak 2018 mencapai 152 juta orang.
Fenomena yang lazim mewarnai pemilihan umum sejak lampau adalah praktik politik uang, atau diistilahkan serangan fajar. Masyarakat yang memiliki hak pilih digoda dengan sejumlah uang oleh pendukung pasangan calon tertentu yang menjadi peserta dalam pemilu.
Nominal yang diberikan cenderung beragam. Waktu pemberian uang juga tidak selalu sama. Ada yang memberikan jauh hari sebelum pemungutan suara. Ada pula yang memberikan suap detik-detik sebelum pemilih datang ke dalam tempat pemungutan suara (TPS).
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadhli Ramadhanil mengatakan praktik politik uang masih menjamur di berbagai wilayah hingga saat ini. Praktik tersebut, lanjutnya, sangat berpotensi atau bahkan telah terjadi dalam Pilkada Serentak 2018.
Fadhli merujuk dari sejumlah survei. Menurutnya, masyarakat masih cenderung permisif dengan praktik politik uang.
"Masyarakat menganggap hal itu wajar. Politik uang dianggap rezeki yang tidak bisa ditolak," Fadhil saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa malam (26/6).
Fadhli menyatakan sikap masyarakat tersebut tidak bisa disamakan di semua wilayah. Ada yang memang sudah kebal dan mengabaikan praktik politik uang. Hal itu dikarenakan telah muncul suatu kesadaran akan pemilu yang bersih. Namun, tetap saja mereka yang menyambut baik praktik politik kotor jauh lebih besar jumlahnya.
"Bahkan ada juga yang menganggap paslon yang memberikan itu dermawan. Dalam konteks demokrasi ini memprihatinkan," ucap Fadhli.
Mengenai waktu pemberian suap untuk mempengaruhi pemilh, Fadhli mengatakan belum ada perbedaan dibandingkan yang sejak lama terjadi. Menurutnya, pemberian uang untuk mempengaruhi pemilih masih kerap terjadi di hari H pemungutan suara. Dengan kata lain, uang diberikan dalam rentang waktu yang tak lama dengan waktu pencoblosan di TPS.
Fadhli menjelaskan bahwa masyarakat akan lebih ingat dengan pihak yang paling terkahir berinteraksi dengannya. Apabila tim kandidat A yang memberikan uang pada pukul 07.00 WIB, maka masyarakat akan lebih ingat paslon A saat datang ke TPS. Pihak yang berupaya mempengaruhi pemilih, kata Fadhli, memanfaatkan cara berpikir tersebut.
"Itulah makanya ada disebut serangan fajar. Jadi pagi-pagi di hari H sebelum datang ke TPS," kata Fadhli.
Enggan Rugi
Fadhli mengatakan bahwa memang tidak ada yang menjamin praktik politik uang selalu berjalan sesuai dengan ekspektasi. Belum tentu paslon A menang di suatu TPS, meski telah menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk mempengaruhi pemilih.
Hal itu dikarenakan para pemilih tidak bisa dideteksi. Bagaimana tidak, pemilih hanya boleh sendiri berada di bilik suara. Tidak ada yang mengetahui secara pasti paslon yang dipilih oleh masyarakat.
Mengenai hal itu, lanjut Fadhli, para pihak yang berkepentingan melakukan cara lain. Pemberian suap tidak lagi dilakukan sebelum masyarakat datang ke TPS, tetapi justru sebaliknya. Masyarakat akan diberikan uang setelah penghitungan suara di TPS dilakukan.
Jika paslon A mendapat suara terbanyak di suatu TPS, maka masyarakat di wilayah sekitar akan diberikan uang.
"Memang betul tidak ada yang menjamin suara meski sudah diberi uang," ujar Fadhli.
"Makanya modus operandi politik uang pasca bayar menjadi berkembang. Misalnya setelah penghitungan suara selesai baru uang diberikan," lanjutnya.
Fadhli menyebut fenomena itu sudah terjadi di sejumlah wilayah. Pola tersebut, lanjutnya, dilakukan lantaran sebelumnya gagal mendapat banyak suara meski telah merogoh kocek yang dalam untuk mempengaruhi pemilih.
Meski begitu, Fadhli mengatakan kasus praktik politik uang sebelum datang ke TPS masih jauh mendominasi. Sekali lagi dia menegaskan, masyarakat yang sadar akan akibat buruk politik uang memang semakin banyak. Namun, kalangan yang mau menerima uang cenderung masih lebih besar jumlahnya.
"Kalau perorangan langsung masih lebih banyak juga dan modelnya pemberian uang door to door," katanya.
Tergoda Karena Tak Paham
Fadhli mengatakan bahwa salah satu halangan utama demi mencapai pemilu yang benar-benar berkualitas adalah praktik politik uang. Fenomena tersebut menjamur dan sulit untuk hilang. Bahkan, dia menyebut masyarkat lebih mempan terhadap praktik politik ujaran kebencian dan kampanye hitam, ketimbang praktik politik uang.
"Intimidasi dan ancaman sudah tidak termakan lagi. Karena ya bagaimana mengancam orang di bilik suara," ucap Fadhli.
Fadhli menjelaskan bahwa sebetulnya kualitas pemilu berangkat dari cara pandang para pemilih. Faktor masyarakat masih mau dipengaruhi pandangan politiknya dengan uang, kata Fadhli, yakni karena masyarakat itu sendiri yang tidak memahami permasalahan di wilayahnya.
Jika tidak memahami permasalahan yang ada, maka para pemilih tidak akan menggubris program-program kerja yang ditawarkan calon kepala daerah. Ujung-ujungnya menerima uang. Fadhli mengatakan sebagian besar di seluruh lapisan masyarakat masih terjangkit hal tersebut.
Di sisi yang lain, calon kepala daerah memanfaatkan realita tersebut. Para calon tidak lagi serius membuat program kerja. Banyak visi-misi yang sebetulnya tidak sesuai dengan permasalahan di wilayah yang akan dipimpinnya. Itu semua terjadi lantaran calon kepala dearah lebih suka menempuh jalan pintas untuk mendapat banyak suara, yakni praktik politik uang.
"Upaya yang perlu dilakukan adalah terus menerus melakukan edukasi kepada pemilih. Bahwa transaksi pemilih dengan calon adalah transaksi visi-misi. Jadi pemilih harus tahu apa problemnya dulu apa lalu memilih visi yang tepat," ujar Fadhli.