Sering Jadi ‘Kambing Hitam’, YouTube Bisa Bikin Anak Telat Bicara?
Uzone.id– Generasi milenial yang sudah, atau baru menjadi orang tua tak sedikit yang mendadak galau kapan kira-kira boleh memperkenalkan anak ke teknologi seperti ponsel, platform YouTube, dan lain-lain. Di luar sana, sering muncul anggapan kalau anak kecil diberi tontonan online, bisa menghambat berbicara. Apa benar?
Hidup dan membesarkan anak di era digital seperti sekarang rasanya gampang-gampang susah. Dari objektif orang tua, pasti kita menyadari betul kalau kehadiran teknologi nggak bisa dielakkan.
Sehari-hari kita menggunakan teknologi, bahkan penggunaan video seperti di YouTube diyakini bisa membantu anak eksplorasi soal warna, visualisasi bergerak, suara (audio), hingga lagu.
Selain soal aspek positif,there’s always two sides of a coin.
Tentu ada hal-hal negatif lain yang orang-orang di luar sana yakini dari anak yang mengonsumsi tontonan di YouTube. Apakah benar platform teknologi ini jadi biang kerok dari fenomena speech delay?
“Tumbuh kembang tiap anak memang berbeda, namun kita bisa mengukur milestone dari tiap fase. Misal, usia 2 tahun itu setidaknya bisa menguasai beberapa kata yang sudah memiliki arti. Ada tolak ukur tertentu yang dapat menentukan apakah anak speech delay [keterlambatan berbicara], dan faktornya bisa dari tak hanya dari eksternal, tapi juga internal lho,” ungkap psikolog anak Kurnia Mega dari PEACE & Play Therapist saat berbincang diUzone Talks.
Akrab disapa Nia, ia menjelaskan kalau faktor eksternal itu bisa terdiri dari lingkungan sepi, minimnya stimulus berbicara atau aktivitas komunikasi kepada anak.
“Bisa juga terpapar tontonan di TV dan YouTube. Tapi, lagi-lagi kalau menonton di YouTube misalnya, selama anak itu masih di bawah 12 tahun, harusnya kendali ada di tangan di orang tua. Jangan sampai terlalu lama dan ketika anak menonton, kita harus tetap memberinya interaksi, jangan dibiarkan nonton saja,” katanya.
Ia menyambung, “mau bagaimanapun, tontonan di YouTube itu satu arah sifatnya. Peran orang tua di sini memberikan interaksi kepada anak biar dua arah. Misalnya, ajak berbicara jika sedang menonton binatang. Diberitahu, itu hewan apa, warna apa yang sedang dia lihat, dan sebagainya.”
Dengan kata lain, YouTube bukan semerta-merta jadi ‘penjahat’ di sini, karena pengawasan dari orang tua pun tetap penting jika orang tua memutuskan memberi tontonan tersebut ke anak.
Di sisi lain, ada pula faktor internal yang juga perlu diketahui orang tua, seperti faktor genetik, gangguan perkembangan (autism, ADHD), hingga retardasi mental.
“Kalau berasal dari faktor eksternal dan anaknya mendapatkan terapi, mereka bisa bicara kok dan melewati masa keterlambatan itu. Tapi kalau dari internal, tentu ada perbedaan. Ketika anak distimulasi dan terapi berbicara, keterlambatan bicaranya akan berbeda,” jelas Nia.
Kembali ke faktor eksternal yang selalu menjadi topik menarik, Nia menekankan jangan selalu menjadikan platform seperti YouTube sebagai kambing hitam, karena semua tumbuh kembang anak pada dasarnya harus diperhatikan orang tua.
Jika ingin memanfaatkan visualisasi dari YouTube dalam perkembangan berbicara anak, Nia menyarankan bisa dimulai dari fondasi bahasa yang kuat lebih dulu.
“Kunci dari belajar berbicara seorang anak bisa dibangun dulu fondasi kuatnya dari bahasa ibu. Kalau berbicara pakai Bahasa Indonesia, coba ajarkan anak pakai Bahasa Indonesia dulu, pun begitu dengan tontonan di YouTube. Kalau baru mulai langsung bilingual dan setengah-setengah, anak bisa bingung. Kuatkan dulu fondasinya, baru setelah itu bisa ajarkan Bahasa Inggris pelan-pelan,” tutup Nia.