Sindikat Saracen, Sebuah Cerita Suram

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Saracen. Jika kita menuliskan kata itu pada mesin pencari Google, akan muncul keterangan Wikipedia yang menjelaskan Saracen sebagai “istilah yang digunakan oleh orang Kristen Eropa Abad Pertengahan untuk merujuk kepada orang yang memeluk Islam.”

Kata “Saracen” sejak kemarin ramai beredar di jagat maya. Tapi, ini jenis Saracen yang berbeda. Sebab, Saracen yang satu ini merupakan sindikat penyebar hoaks atau berita bohong. Orang-orang di dalamnya bekerja profesional alias dibayar untuk menabur hoaks di sana sini melalui 800.000 akun mereka di media sosial.

Ya, anda tak salah dengar. Ada 800 ribu akun yang tergabung dalam jaringan grup Saracen--Facebook Saracen, Saracen Cyber Team, dan SaracenNews--di jagat maya.

Saracen, menurut Polri, menjalankan bisnis hitamnya sejak November 2015. Cukup lama, hampir dua tahun sebelum para pentolannya dibekuk polisi Juli dan Agustus 2017 ini.

Apa saja yang bisa dilakukan sindikat Saracen? Sebagian dari anda mungkin akan ternganga. Sebab mereka bisa melakukanbanyak sekali.

Menurut Kombes Awi Setiyono, Kabag Mitra Ropenmas Divhumas Polri, para anggota Saracen mahir membuat akun palsu, anonim, semianonim, hingga riil. Mereka pun bisa memulihkan akun-akun yang yang sudah diblokir.

Sistem kerja Saracen, menurut anggota Komisi I DPR Dave Laksono, sangat terorganisir. Masing-masing anggotanya punya tugas berbeda pada beragam level. Ada yang memasarkan jasa, membiayai aksi, merancang konsep, dan menyuplai materi.

Atas semua keahlian itu, mereka yang memerlukan jasa Saracen dapat membayar Rp 75 juta sampai Rp 100 juta. Wow, jumlah yang jelas tak sedikit.

Saracen serius menawarkan jasa mereka, misalnya dengan mengajukan semacam proposal “paket menyebarkan berita bohong dan provokatif” ke sejumlah organisasi kemasyarakatan.

Tapi, siapa yang merasa perlu membayar Saracen untuk beraksi menyebar hoaks?

Oh, banyak tentu saja. Mereka orang-orang yang tak bisa menggunakan “jalur lurus” untuk mendapatkan keinginan mereka, lantas mencoba memakai cara menikam dari belakang tanpa harus melumuri tangan mereka dengan darah.

Lewat Saracen, mereka dapat menebar fitnah keji terhadap individu atau kelompok tertentu, entah lawan politik atau rival bisnis. Bebas, sesuai kebutuhan. Saracen tinggal memenuhi keinginan itu layaknya biro jasa lainnya.

Ingin memprovokasi umat Islam? Saracen punya akun khusus. Mau memicu kemarahan umat Kristen? Saracen juga punya akun sendiri. Mau memanas-manasi pemerintah? Tersedia pula akun spesifik untuk beraksi.

“Misalnya, sekitar 2.000 akun untuk membuat meme yang menjelek-jelekkan Islam, 2.000 akun lainnya yang menjelek-jelekkan Kristen. Itu tergantung pesanan,” kata Kepala Subdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Irwan Anwar.

Jangan khawatir, Saracen punya segalanya dalam ratusan ribu akun mereka yang memang khusus dipersiapkan untuk menebar ujaran kebencian berbau suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Ia tak pilih-pilih soal latar belakang golongan pemesannya.

Tinggal: anda mau bayar berapa? Sebab asal ada uang, semua bisa dibeli.

Berdasarkan penelusuran Kepolisian, konten hoaks yang disebar Saracen terentang pada beragam isu, mulai sosial hingga politik. 

“Kami mempelajari kapan mereka memposting konten tersebut, dan terlihat mereka cukup cerdas untuk melihat tren media, tren pemberitaan, isu nasional, lokal, dan sebagainya. Mereka menggabungkannya dengan ‘fakta-fakta’ tak benar untuk kemudian diolah, sehingga menggiring opini publik untuk berpikiran negatif terhadap seseorang maupun kelompok tertentu,” kata Irwan.

Mereka yang berjatuhan menjadi korban terentang luas, dari tokoh masyarakat sampai pejabat pemerintahan. Presiden Jokowi ada di antaranya.

Siapa yang menjadi target Saracen? Masyarakat, tentu saja. Massa yang, sialnya, mudah terbakar amarah atas berbagai hal sensitif yang belum lagi jelas kebenarannya.

Sasaran utama Saracen, menurut Dave Laksono, adalah masyarakat pinggiran yang mudah terpicu emosinya. “Mereka di kampung-kampung, yang tidak mengerti (tapi percaya isu), cepat terbakar kebenciannya.”

Lantas siapa Saracen--orang-orang di balik layar itu?

Salah satunya Sri Rahayu Ningsih--yang dalam akun Facebook-nya dibubuhi keterangan “(Ny Sasmita)”. Ia dibekuk 5 Agustus lalu dengan tudingan mengunggah fitnah terhadap Jokowi via media sosial.

Perempuan 32 tahun itu diringkus di Cianjur, Jawa Barat. Ia Koordinator Saracen Wilayah Jawa Barat. Dalam menjalankan aksinya, Sri menyebar ujaran kebencian dengan mengunggahnya di medsos, dan membagikan ulang postingan anggota grup Saracen lain.

Konten berbau SARA yang ditabur Sri adalah yang hendak diproses Kepolisian, bukan yang berisi penghinaan. Lewat medsos, Sri menyudutkan etnis Tionghoa, dan menghina Presiden, partai politik, hingga ormas.

Selain Sri, ada pula Jasriadi yang ditangkap di Pekanbaru, Riau, pada 7 Agustus atau dua hari setelah Sri diringkus di Cianjur. Peran lelaki 32 tahun itu dalam Saracen teramat vital. Dialah sang ketua kelompok yang memiliki kemampuan teknologi informasi canggih.

Jasriadi memiliki 11 akun email dan 6 akun Facebook untuk membuat sejumlah grup di Facebook. Untuk membuat seluruh akun email itu, ia kerap berganti nomor ponsel.

Anggota lain Saracen yang diciduk polisi ialah Muhammad Faisal Tanong, pria 43 tahun warga Koja, Jakarta Utara. Ia ditangkap lebih dulu sebelum Sri Rahayu Ningsih dan Jasriadi, yakni pada 21 Juli. Dalam Saracen, Faisal menjabat Ketua Bidang Media dan Informasi.

Faisal biasa mengedit foto dari internet, kemudian mengunggah hasil editannya ke medsos dengan dibubuhi konten bernuansa SARA. Ia juga menyebut Jokowi PKI, menghina partai politik, ormas, juga Kapolri.

Selain mereka bertiga, para pelaku lain masih diburu oleh Kepolisian. Mereka diduga terus menyebar berita palsu dan fitnah meski ketiga rekannya ditangkap.

Jika bisnis hitam semacam ini berkembang pesat di Indonesia, akan seperti apa negeri ini di masa depan?