Penanjakan seakan tertidur, tak ada geliat wisatawan maupun para pedagang yang menjajakan makanan seperti biasanya. Semakin beranjak malam suhu semakin turun mendekati angka 10 derajat celcius.
Sinar rembulan bersinar terang mengurangi pekat malam. Lintasan berjuta bintang berumur ratusan tahun cahaya menampakkan wujudnya di sudut selatan. Atraksi alam yang sempurna dan Penanjakan malam itu seakan hanya milik kami yang berteman sepi.
Di tengah keheningan malam aku duduk termenung ditemani Fita, Cici, tak ketinggalan Nanda pun ikut menyusul yang nampaknya baru keluar dari tenda tempat kami menginap malam ini. Di bangku kayu kami berempat memandang kemegahan deretan pegunungan yang membentuk sebuah lukisan alami nan indah yang tak ternilai harganya.Asap tipis keluar dari kawah Bromo begitupun dengan saudaranya di belakang sana tak ketinggalan secara berkala kawah Jonggring Saloka pun mengeluarkan asapnya. Mereka seakan akan memberikan sapaan dan peringatan agar kami selalu waspada, jika mereka seyogyanya siap memuntahkan isi perutnya setiap waktu. Aku mengangguk pelan, seakan mendengar peringatan dari Bromo dan Semeru yang berada di seberang sana. Dalam hati pun aku meminta izin kepada Sang Ilahi dan seluruh isi alam semesta agar kali ini kami diberi kesempatan untuk melihat keindahan yang ditawarkan oleh deretan pegunungan yang dahulunya menjadi satu bernama Gunung Tengger.
***
Fajar menyingsing dari ufuk timur, perlahan menggantikan gelap malam. Penanjakan mulai menampakkan wajah aslinya. Derap langkah ratusan orang kian memadatinya. Rela berdesakan dan menahan hawa dingin menusuk tulang. Mereka tetap setia berdiri, menunggu matahari terbit di salah satu surga yang ada di Jawa Timur. Beberapa bisikan yang aku dengar mereka pun mengatakan jikasunrisedi Penanjakan ini adalah yang paling indah di Pulau Jawa. Alam pun seakan memberikan sambutan terindah untuk mereka yang tetap setia menunggu di Penanjakan. Cuaca nampak bagus tanpa ada kabut sedikitpun. Berderet mulai dari Kaldera Tengger yang mempesona, guratan khas dari Gunung Batok, Kawah Gunung Bromo yang dirayapi ratusan orang, dan gagahnya Gunung Semeru yang menjulang tinggi di belakang sana, semua berpadu indah dan memberikan senyum bagi siapa saja yang datang pagi itu. “Turun yukk, mumpung masih pagi. Kita daki Bromo kemudian foto foto di Bukit Teletubbies” Ajakku kepada Fita, Cici dan Nanda yang nampak masih asik mengabadikan momen di Penanjakan. “Yukkk, pasti seru dibawah sana” celetuk Cici menimpali. Motor menjadi pilihan karena di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru hanya motor dan jeep yang boleh masuk ke kawasan lautan pasir Bromo, disamping alasan lain yang tentunya harga lebih murah daripada harus menyewa jeep. Apalagi dengan motor kami bebas setiap sudut Bromo tanpa adanya batasan waktu.Bagiku perjalanan menuju Kawasan Bromo ini bagaikan menuju ke dunia lain. Karena memang alam yang ada disini bagaikan bak surga saja. Motor kami melaju pelan di sebuah lautan yang tak berair namun berpasir. Sejauh memandang hanya hamparan pasir dengan batas tebing tebing kaldera yang berdiri kokoh bak benteng. Perlu berhati hati ketika melewati lautan pasir dengan motor. Ketebalan pasir yang ada gampang sekali membuat putaran roda tak stabil, dan jika kita kurang konsentrasi dengan mudahnya pula goyangan motor akan menjatuhkan kita. Lambat laun Pura Luhur Poten yang berada persis dimuka Gunung Bromo mulai menampakkan wujudnya. Warga Tengger yang mayoritas beragama Hindu sangat menyakini bahwa bahwa Pura tersebut menjadi kediaman dari Isa Sang Hyang Widhi Wasa yang merupakan perwujudan dari Dewa Brahma. Pura tersebut juga erat kaitannya dengan Upacara Yadya Kasada yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya.Dari Pura Luhur Poten wajah asli Gunung Bromo nampak kian terlihat sangar dengan tubuhnya yang nyaris semuanya tertutup oleh pasir. Dari kejauhan pun nampak deretan anak tangga yang menjadi titik terberat mendaki Gunung Bromo. Sekilas memang tak begitu tinggi namun cukup melelahkan bagi mereka yang tak pernah mendaki sebelumnya. 250 anak tangga siap menanti siapa saja yang akan mendaki menuju Kawah Bromo. Tak usah khawatir karena diatas sana Bromo akan membalas semua perjuangan kalian dengan panorama yang sangat aduhai. Diatas kawah Bromo adalah sebuah pijakan tanpa naungan. Di atas kepala langsung menghadap langit biru. Bibir kaldera dengan jurang dalam menyiratkan jejak amarahnya yang telah lalu. Bulatan rongga tepat di tengah kawah masih menyimpan berjuta energi yang siap dilepaskan ke muka bumi. Tak berujung hanya di Kawah Bromo perjalanan pun kami lanjutkan menuju arah selatan. Penampakan medan masih sama seperti sebelumnya namun kali pasir yang terhampar lebih luas dari sebelumnya. Sekali lagi aku bagaikan masuk ke sebuah “Dunia Lain”, sebuah dunia yang perkataan puitis pun tak sanggup menggambarkan keindahannya. Matahari semakin naik diatas ubun ubun, ditambah angin yang semakin menemukan kekuatannya menerpa butiran pasir lembut dan menimpulkan bebunyian khas padang pasir. Yaa.. inilah pasir berbisik itu. Salah satu lagi tempat menarik yang ada di kawasan Bromo.
Roro Anteng dan Joko Seger
Ada cerita legenda menarik mengenai lautan pasir Bromo ini. Yaitu cerita tentang Roro Anteng dan Joko Seger. Di sebuah pertapaan, istri seorang pendeta baru saja melahirkan seorang putra dengan fisiknya sangat bugar dengan tangisan yang sangat keras ketika lahir, karenanya bayi tersebut diberi nama ” Joko Seger “. Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir dari titisan dewa. Wajahnya cantik juga elok. Ketika dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai “Roro Anteng”. Dari hari ke hari tubuh Roro Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyhurlah Roro Anteng sampai ke berbagai tempat, banyak putra raja melamarnya. Namun pinangan itu ditolaknya, karena Roro Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko Seger. Suatu hari Roro Anteng dipinang oleh seorang bajak yang terkenal sakti dan kuat. Bajak tersebut terkenal sangat jahat. Roro Anteng terkenal halus perasaannya tidak berani menolak begitu saja kepada pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu harus dibuat dalam waktu satu malam, yaitu diawali saat matahari terbenam hingga selesai ketika matahari terbit. Disanggupinya permintaan Roro Anteng tersebut. Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan lautan dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) sehingga pekerjaan itu hampir selesai. Melihat kenyataan demikian, hati Roro Anteng mulai gelisah. Bagaimana cara menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu? Roro Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang tidak ia cintai. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba timbul niat untuk menggagalkan pekerjaan Bajak itu. Roro Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba.Bajak mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih di sebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya. Rasa kesal dan marah dicampur emosi, pada akhirnya Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang sampai sekarang dinamakan Gunung Batok. Pada akhirnya Roro Anteng dan Joko Seger pun menikah. Kemudian membentuk sebuah kawasan yang bernama “Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger” maksudnya “Penguasa Tengger Yang Budiman”. Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Roro Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi. Sebuah cerita legenda yang seharusnya kita ketahui untuk menambah pengetahuan walaupun sebenarnya Kawasan Gunung Bromo ini terbentuk dari aktifitas geologi ratusan juta tahun yang lalu.
***
Berjalan kembali hamparan lautan pasir yang gersang dan panas mulai beralih penampakannya menjadi hamparan padang rumput berwarna hijau menyegarkan. Inilah keunikan lain di Kawasan Bromo, berbagai sudutnya menawarkan banyak wajah keindahan yang dapat membius siapa saja.Melihat padang rumput menghijau bak permadani, motor pun aku hentikan lajunya. Aku meloncat cepat dan segera berlarian ke setapak kecil yang ada tengah tengah padang savanna. Si Fita, Cici,dan Nanda pun mengikutiku dari belakang. Sambil berlarian, teriakan pun tak sadar keluar dari mulut. Kelakuan kami saat itu seperti anak kecil yang baru saja menemukan tempat bermain. Tempat bermain paling indah begitulah kami menjuluki pada savanna yang banyak disebut orang sebagai “Bukit Teletubbies” ini. Matahari bersinar terang namun udara yang berhembus masih begitu dingin. Menjadikan kami berempat betah untuk berlama lama. Duduk santai sambil bertukar cerita tentang apa saja. Penat dan semua beban seakan terasa hilang pada saat itu.Dalam hembusan angin dingin, diantara lambaian lembut rerumputan aku ingin menyampaikan sebuah pesan kepada Tuhan. Agar surga kecil ini tetap terjaga hingga kapanpun nanti. Keasriannya tetap terjaga serta terjaga dari tangan tangan jahil manusia. Serta alam yang selalu memberi berkah bagi semua manusia yang berada tak jauh darinya. Terima kasih Tuhan, Engkau telah menciptakan tempat ini.