Tak Semua Mitra Gojek Berpenghasilan Setara Upah Minimum
Riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) menyebut bahwa pada tahun 2018, rata-rata penghasilan mitra Gojek sudah melebihi upah minimum kabupaten/kota (UMK). Namun, beberapa mitra pengemudi mengaku nasib mereka tak sebaik itu.
Dalam riset tersebut, rata-rata penghasilan mitra pengemudi Gojek di Jabodetabek mencapai Rp 4,9 juta per bulan. Sementara, UMK di wilayah ini sekitar Rp 3,8 juta per bulan.
Hanya, menurut pengamatan tim Katadata Jumat (22/3), hanya satu dari empat mitra pengemudi Gojek yang mendapat penghasilan di atas rata-rata upah minimum regional.
Sartono, seorang mitra pengemudi Gojek di Jakarta Barat, mengaku sulit mendapat penghasilan di atas upah minimum. “Sekarang rata-rata Rp 3 juta per bulan, itu juga saya ambil orderan dari jam delapan pagi sampai dua belas malam,” ujarnya, Jumat (22/3).
(Baca:Riset UI: Mitra Gojek Sumbang Rp 44 Triliun ke Perekonomian)
Kondisi ini menurutnya berbeda dengan saat pertama kali bergabung dengan Gojek pada 2015 lalu saat tarif di kisaran Rp 2.200 per kilometer. Saat itu, pengguna jasanya juga lebih banyak karena ada berbagai promo dari aplikator.
Sementara, tarif ojek online yang bisa dikantongi pengemudi hanya sekitar Rp 1.200 per kilometer. Karena itu, ia mengaku lebih suka mengambil order pengiriman paket (Go-Send) atau belanja (Go-Shop) yang tarifnya lebih tinggi.
Hal senada diungkapkan oleh pengemudi Gojek lainnya, Yeyen. “Boro-borosampai upah minimum. Lima hari ini, dapat Rp 100 ribu per hari saja susah,” ujarnya.
Lebih lanjut Yeyen mengatakan, saat ini ia hanya bisa mengumpulkan rata-rata penghasilan sekitar Rp 3 juta per bulan. Padahal ia mengaku sudah stand by dengan ponselnya sejak pukul setengah enam pagi hingga larut malam.
Yeyen berharap, pemerintah bisa segera merealisasikan tarif yang lebih adil bagi mitra pengemudi ojek online. “Pemerintah harus lebih tegas,” katanya.
Sementara pengemudi Gojek lainnya, Toni yang biasa beroperasi di Tanjung Duren, Jakarta Barat, mengatakan bahwa ada kemungkinan pengemudi mendapat penghasilan lebih besar menggunakanfake GPS. “Yang murni (tidak pakai akun/GPS palsu) kalah, padahal kami sudah menunggu seharian,” ujarnya.
(Baca:Baru Dirilis, Aturan Ojek Online Juga Mencakup Ojek Pangkalan)
Ia pun mengeluhkan banyaknya ‘ojek tuyul’ yang membuatnya kesulitan mendapat orderan dari penumpang. ‘Ojek tuyul’ adalah sebutan bagi pengemudi yang menggunakan aplikasi pemalsu lokasi sehingga lebih mudah mencari penumpang.
Sementara itu, pengemudi Gojek lainnya, Ari, mengaku mampu mendapat penghasilan rata-rata Rp 5 juta per bulan. “Bahkan ada yang sampai lebih dari itu, kuncinya ya sehari harus memenuhi target yang kita buat sendiri,” ujarnya.
Pengemudi yang bergabung dengan Gojek sejak tiga tahun yang lalu itu mengatakan, dalam satu hari ia menargetkan harus mencapai minimal penghasilan Rp 250-300 ribu saat kondisi badan sehat, sementara saat kondisi kurang sehat Rp 150 ribu per hari.
Ari berharap, ke depannya, pemerintah bisa menetapkan tarif ojek online dengan adil. Begitu juga persaingan antara aplikator ojek online diharapkannya lebih sehat. Mudah-mudahan nanti (tarif) bisa sama, jadi tidak ada yang saling iri,” ujarnya.