Tanah Abang, Ramadan dan Cahaya Cuan yang Sirna

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Suryanto duduk bersiladi sudut lobi pusat perdagangan grosirPasarTanah Abang.Matanya terpejam. Sesekali kepalanya bersandar ke tembok gedung.

Di sebelahnya, seorang lelaki yang tampak sebaya dengannya, berbaring meringkuk di lantai gedung. Keduanya tampak lelap dan tak terusik bising pengunjung.

Tak lama berselang, dering ponsel berbunyi dari saku celana lelaki yang terbaring. Usai menjawab panggilan masuk, lelaki itu bergegas pergi meninggalkan Suryanto.

"Ya begini memang kalau sudah dekat Lebaran, sudah tidak banyak yang butuh jasa angkut. Paling-paling ada hanya dari langganan," baginya ketika mengawali perbincangan denganCNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.

Suryanto mengatakan biasanya permintaan jasa angkut memang tak begitu banyak ketika sudah mendekati Lebaran. Sebab, jumlah pedagang eceran yang membeli pakaian sampai berkarung-karung terus berkurang begitu Ramadan akan berakhir.


Padahal, kata Suryanto, awal Ramadan dan beberapa bulan sebelumnya rezeki lebih moncer. Ketika itu, para porter pun sibuk memenuhi permintaan jasa angkut dari pedagang eceran yang kebanyakan berasal dari daerah.

Pedagang itu, biasanya membeli pakaian di Tanah Abang untuk kemudian dijual kembali ke daerah masing-masing.

Meski bisa bersantai saat ini, namun Suryanto rupanya tidak lega. Sebab, penghasilan yang dikantonginya sepanjang Ramadan ini belum seperti bulan puasa pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, menurutnya yang sudah tujuh tahun menjadi porter di Tanah Abang, tahun ini menjadi yang paling seret dari sebelumnya.

"Tahun-tahun yang lalu, biasanya ada saja yang beli karungan, minta dipanggul ke mobil," katanya.

Suryanto menduga ini terjadi karena permintaan jasa angkut yang berkurang sejalan dengan minimnya kedatangan pedagang eceran dari daerah. Beberapa langganannya, kata Suryanto, lebih memilih untuk memesan ke pemilik toko, lalu minta langsung dikirim dengan jasa pengiriman ke daerah.

Ia mencontohkan saat ini pendapatan sekali angkut mungkin hanya sekitar Rp70 ribu-Rp100 ribu. Ramadan sebelumnya, bisa mencapai Rp100 ribu-Rp200 ribu per sekali angkut.

"Pernah ada yang beli banyak sekali, sampai dapat Rp300 ribu," katanya.


Bila dibandingkan lagi, sambungnya, pendapatan Ramadan tahun ini paling tinggi hanya Rp200-Rp350 ribu sehari. Padahal ia bisa mengantongi Rp500-Rp600 ribu sehari pada Ramadan sebelumnya.

"Biasanya bisa dapat segitu saat Sabtu dan Senin, ketika barang datang dari gudang, pedagang eceran pun berdatangan lihat model baru," katanya.

Tak hanya soal pedagang eceran dari daerah, Suryanto juga sempat mengeluhkan dampak kerusuhan yang terjadi di kawasan Tanah Abang pada 22 Mei lalu terkait dengan hasil Pilpres 2019. 

Diketahui, sebagian pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melakukan aksi di depan Bawaslu pada 22 Mei lalu. Polisi pun menangkap ratusan pelaku yang diduga menjadi provokator kerusuhan tersebut.

(Foto: CNN Indonesia/Yuliyanna Fauzi)



Penjual Pun Lesu

"Belanja, Mbak. Belanja, Bu. Ada model baru, modelsyar'i, warna pastel," tawar Monica, seorang pramuniaga toko pakaian kepada pengunjung Pasar Blok A Tanah Abang.

Tak lama berselang, datang seorang ibu muda menghampiri toko bernama Naila Fashion itu. Namun, baru melihat satu, dua pakaian, pengunjung itu langsung berpaling dari tokonya menuju toko lain.

Setelahnya, datang lagi dua remaja perempuan. Keduanya sempat bertanya-tanya dan melihat warna lain dari salah satu model gamis yang ditawarkan. Sayang, keduanya pun hanya menutup kunjungan ke toko itu dengan terima kasih tanpa membeli.

"Susah sekarang, pendapatan toko turun, semua pedagang merasakan. Sepertinya ekonomi benar-benar lesu, padahal Ramadan, mau Lebaran," Yulis Manevia, pemilik toko tersebut.


Para langganannya yang merupakan pedagang pengecer di daerah, kata Yulis, berangsur-angsur mengurangi jumlah pembelian pakaian di tokonya. "Beberapa di antaranya memang masih harus benar-benar cek kualitas bahan, cek kerapian jahitan, jadi masih datang, tapi belanja berkurang," katanya.

Sementara beberapa langganan lainnya, sudah tidak datang lagi ke toko Yulis. Mereka, kata dia, hanya mengandalkan 'penglihatan' dari foto-foto model gamis yang dibagikan Yulis melalui aplikasi WhatsApp.

Setelah itu, para pedagang eceran akan memilih pakaian yang ingin dipesan dan Yulis pun mengirimkan ke daerah melalui agen jasa pengiriman. Yulis menduga isu ekonomi lesu mungkin ada benarnya.

"Belum lagi sekarang harga tiket pesawat naik, mereka jadi susah ke sini. Padahal, harga pakaian yang saya jual mau tidak mau juga sedikit naik karena bahan impor dari China," tuturnya.


Sayangnya, walau ada peralihan cara pembelian namun cuan belum jua bersinar.

Sebelumnya, dia bisa mengantongi Rp30 juta-Rp50 juta per hari dari hasil pembelian pedagang eceran yang berasal dari daerah pada Ramadan beberapa tahun lalu. Namun kini, pembelian tertinggi mencapai Rp20 juta per hari.

Selain itu, para pedagang eceran tak setiap hari datang ke tokonya pada Ramadan tahun ini. Padahal, sebelumnya, minimal ada satu sampai tiga pedagang selalu datang ke toko Yulis saat Ramadan.

Bila dikalkulasi, masalah tersebut pun mengikis keseluruhan pendapatannya. Perhitungan Yulis, pendapatan kotor alias omzet hanya bisa mencapai kisaran Rp500 juta pada Ramadan tahun ini. Sementara sampai akhir tahun, mungkin hanya menyentuh rentang Rp600 juta-Rp700 juta dari sebelumnya yang mencapai Rp1-2 miliar.

Di sisi lain, Yulis juga menilai ada persaingan dari toko-toko dalam jaringan (online) yang menjual produknya di media sosial.

Dia mengakui penjualan melaluionline miliknya belum cukup berdaya saing dengan pedagangonlinelain. "Mungkin memang cara promosi saya belum efektif, belum ada hasil dionline. Kalau ada yang beli, hanya satu, dua, tiga potong."

Berita Terkait