Teknologi Face Recognition di Antara Kebaikan dan Keburukan
Para legislator San Francisco mengambil keputusan penting dengan melarang penggunaan deteksi wajah (facial recognition). Sebagaimana diwartakanBBC,keputusan melarangfacial recognitiondiambil setelah prosesvotingdi tingkat parlemen dengan keunggulan suara 8-1.
“Dengan pemungutan suara ini, San Francisco telah menyatakan sikap bahwa teknologi pengenalan wajah tidak sesuai dengan asas demokrasi yang sehat,” terang Matt Cagle dari kelompok LSM American Civil Liberties Union (ACLU).
Keputusan ini seketika menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang menolak beranggapan bahwafacial recognitionberpotensi melanggar privasi masyarakat. Sedangkan mereka yang mendukung berpendapatfacial recognitionbisa dipakai untuk memerangi aksi kriminalitas.
Kendati sudah disepakati, aturan baru tersebut tidak akan berlaku di bandara maupun pelabuhan laut sebab dua tempat itu dijalankan oleh otoritas federal. Di AS sendiri, mengutip pemberitaanThe New York Times, teknologifacial recognitiontelah diterapkandi sejumlah wilayah, seperti Las Vegas, Orlando, San Jose, San Diego, New York, Boston, Detroit, Colorado, Florida, hingga Virginia.
Populer di Era Kiwari
Teknologifacial recognitionbukan sesuatu yang asing lagi di era sekarang. Teknologi ini telah diterapkan hampir di mana saja: jalanan, tempat belanja, bandara, hingga gawai. Dengan deteksi wajah, setiap orang dapat diverifikasi identitasnya untuk tujuan keamanan: apakah kita termasuk kriminal atau tidak.
Pasarfacial recognitionpunya nilai sekitar 3 miliar dolar dan diperkirakan bakal terus tumbuh hingga 6 miliar dolar pada 2021. Pertumbuhan didorong oleh meningkatnya pengawasan terhadap masyarakat sipil di seluruh dunia. Entitas pemerintah menjadi konsumen utama dari teknologifacial recognition.
Pada dasarnya, pendeteksian wajah sama seperti halnya teknologi pencocokan sidik jari, pemindaian retina, sampai pengenalan suara yang dilakukan untuk membedakan antara kondisi fisik seseorang yang satu dengan lainnya. Semua sistem tersebut mengambil data dari orang yang tidak dikenal, menganalisis data dalam input, serta baru dicocokan dengan entri yang ada didatabase.
Mengutip artikel diThe Conversation, proses deteksi wajah dapat ditempuh dalam tiga tahap: deteksi, pembuatanfaceprint, serta verifikasi atau identifikasi.
Ketika sebuah gambar berhasil ditangkap, perangkat lunak dalam komputer akan menganalisisnya untuk diidentifikasi di mana wajah-wajah tersebut berada. Setelah wajah berhasil diidentifikasi, sistemfacial recognitionakan memproses lebih dekat gambar yang lantas dituangkan dalam bentukfaceprint. Sama halnya sidik jari,faceprintmerupakan karakteristik yang digunakan untuk mengidentifikasi secara khusus wajah seseorang.
Faktor kunci yang memengaruhi seberapa baik teknologifacial recognitionbekerja yaitu pencahayaan. Wajah dengan pencahayaan yang merata, tanpa bayangan, dan tidak menghalangi pandangan dari kamera adalah yang terbaik. Akan tetapi, peluang untuk memperoleh gambar terbaik tidak senantiasa tersedia. Penyebabnya bisa karena masalah teknis dan non-teknis.
Terhalang Privasi
Isu utama yang sering diperdebatkan oleh masyarakat mengenaifacial recognition adalah privasi. Teknologi ini, dengan dalih identifikasi dan pengawasan, memungkinkan mengambil gambar seseorang tanpa izin dari pihak bersangkutan. Potensi penyelewengannya begitu terbuka lebar.
“Masalah yang muncul [darifacial recognition] adalah transparansi,” terang Alvaro Bedoya, Direktur Eksekutif Pusat Privasi & Teknologi, LSM yang berfokus pada isu-isu teknologi. “Sangat mudah untuk menulis laporan tentang betapa cemerlangnyafacial recognitionbila satu-satunya sumber yang ada hanyalah dari kepolisian.”
Tanpa kehadiran undang-undang, pedoman, maupun kebijakan yang komprehensif, teknologi pengenalan wajah hanya memiliki implikasi yang mengerikan bagi kebebasan sipil. Setiap wajah yang berhasil ditangkap, akan dipindai dan disimpan dalamdatabasekepolisian. Publik tak pernah tahu data tersebut nantinya bakal dipakai untuk kepentingan apa.
Pengawasan, yang jadi inti teknologi deteksi wajah, dapat mengarah pada aksi sensor. Secara diam-diam, teknologi itu dapat mengekang hak berbicara, protes, dan mengemukakan pendapat. Lebih parahnya lagi, teknologi deteksi wajah ini dapat membungkam eksistensi kelompok-kelompok minoritas di seluruh belahan dunia, seperti yang terjadi pada komunitas Muslim Uighur di Cina.
Kendala lain ialah fakta bahwa teknologi ini tidak selamanya akurat dalam memproses visual yang ada. Contoh terkini hadir saat pertandingan final Liga Champions di Cardiff 2017, manakala teknologiface recognitionyang dipakai kepolisian telah salah mengidentifikasisekitar 92% orang yang dianggap mencurigakan.
Ketidakakuratan ini lalu seringkali menuntun pada aksi salah tangkap. Di Denver, AS, ambil contoh, seorang laki-laki dua kali diringkus akibat dituduh merampok bank. Teknologifacial recognitiongagal mengidentifikasi pelaku yang sebetulnya dalam rekaman CCTV sehingga menangkap orang yang sama sekali tak terlibat perampokan.
Berdasarkan penelitian, seperti dilansirWired, teknologi deteksi wajah juga rentan terhadapbias sosial sampai prasangka rasyang tercermin dalam data maupun algoritma yang digunakan untuk mengembangkan model bersangkutan.
Sebelum San Francisco mengeluarkan keputusan untuk melarangfacial recognition, beberapa waktu sebelumnya, sekelompok aliansi LSM hak-hak sipil yang dikomandoi ACLUmeminta tiga perusahaan teknologi yakni Google, Amazon, serta Microsoft menarik produk deteksi wajah dan diminta untuk tidak lagi menjual produk tersebut kepada pemerintah.
Alasannya jelas: produk deteksi wajah dianggap lebih banyak mendatangkan potensi malapetaka dibanding manfaat yang baik bagi penggunanya. Privasi yang terganggu, ancaman represi, hingga minimnya perlindungan terhadap hak-hak sipil merupakan contoh keburukan teknologi ini.
Otoritas terkait yang menggunakan jasa deteksi wajah selalu berdalih bahwa teknologi yang mereka pakai mampu memudahkan tugas mereka. Namun, pada kenyataannya, alih-alih mendatangkan manfaat, deteksi wajah ini tak jarang membikin masyarakat di sekitar terancam.
Teknologi deteksi wajah sudah kadung diterapkan di seluruh dunia. Ia memenuhi ruang-ruang di bandara, jalanan, supermarket, hingga perkakas yang kita genggam setiap hari: gawai. Tidak seperti sidik jari, atau pemindaian retina, misalnya, teknologifacial recognitionmudah dilakukan tanpa sepengetahuan subjek. Imbasnya yakni bisa jadi teknologi ini bakal memengaruhi cara masyarakat melakukan aktivitasnya dalam sehari-hari.
Semestinya teknologi memudahkan, bukan malah bikin repot tak karuan.
Baca juga artikel terkaitFACIAL RECOGNITIONatau tulisan menarik lainnyaFaisal Irfani