Teknologi Rumah Anti Gempa, Belajarlah ke Kasepuhan Ciptagelar
Uzone.id- Gempa bumi yang terasa sangat kuat di kawasan Cianjur, Jawa Barat, telah memakan korban sedikitnya 268 orang, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB.
BNPB juga akan membangun kembali rumah-rumah korban gempa yang selesai dalam tujuh hari.
Namun, perlu dicamkan juga pernyataan dari Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati kalau gempa di kawasan Cianjur, Sukabumi, hingga Bandung akan terjadi setiap 20 tahun sekali.
BMKG telah melakukan perhitungan berdasarkan gempa-gempa di masa lalu di kawasan tersebut.
BACA JUGA:Telkom Sabet Penghargaan Tempat Kerja Inklusif dari Kemnaker
Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa, gempa di wilayah itu pernah terjadi pada tahun 2000. Kemudian terjadi lagi di tahun 1982.
Dia kemudian menegaskan bahwa sebetulnya gempa tidak membunuh dan melukai. “Justru, bangunanlah yang membunuh dan melukai manusia."
Nah, bagaimana membuat rumah yang aman di kawasan rawan gempa agar tidak membunuh penghuni di dalamnya?
Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar di kawasan Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, sudah punya teknologi bagaimana membangun rumah yang benar-benar aman dari ancaman luar.
Juru bicara Kasepuhan Ciptagelar Yoyo Yogasmana banyak bercerita mengenai keteguhan masyarakat adat Kasepuhan yang menjalankan hidup selaras dengan alam, salah satunya membangun rumah.
Bisa kita lihat rumah-rumah yang ada di kawasan Kasepuhan Ciptagelar terbuat dari material kayu, bambu dan atap terdiri dari rangkaian dedaunan dan ijuk.
Konsep rumah tersebut dikenal sebagaiTihang Cagak, Hateup Salak.Tihangartinya tiang atau kolom,cagakartinya cabang,hateupartinya atap.
BACA JUGA:Apa Itu VAR di Piala Dunia 2022 dan Cara Kerja Mendeteksi Offside
Yoyo menjelaskan,hateup salakyakni konsep daun salak yang menjulang ke atas, namun kalau mau dijadikan atap maka harus dibalikkan.
“Kalau dibalikkan, maka di balik daun (menghadap ke atas) itu ada rongga duri, maka lahirlah konsep rumah sebagai tempat perlindungan yang melindungi kehidupan yang ada di dalamnya,” tutur Yoyo saat ditemuiUzone.id.
Untuk mendirikan rumah harus dibuat tiang atau kolom yang diibaratkan kaki manusia. Sehingga kalau ada yang mendorong dari kiri atau dari kanan maka elastis dan tetap seimbang.
Selanjutnya melihat ke dalam ruangan rumah atau diistilahkan perut. “Perut itu tempat kehidupan. Semua kehidupan ada di dalam perut, terus ada langit-langit, langit-langit tuh pundak yang fungsinya memikul beban.”
Kemudian di bagian atas rumah atau diistilahkan kepala manusia, maka harus ada perlindungan seperti duri salak yang menghadap ke atas.
“Di atas kalau ada yang mematuk ada durinya. Dari samping kalau ada yang menghantam ada bilik, dari bawah kalau ada yang menerjang ada kolongnya. Kalau tidak ada kolong pastinya bakal menghantam yang di atas,” kata Yoyo.
Sehingga, membangun rumah harus ada rongga atau kolong. Mirip dengan rumah-rumah panggung sehingga jika terjadi banjir juga akan aman.
“Konsep bangunannya tuh dari atas aman, dari samping aman, dari bawah aman maka lahirlah konsep rumah sebagai tempat perlindungan,” katanya.
Hal itu sudah dibuktikan sendiri dengan konsep rumah yang dibangun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
Yoyo lalu mempersilahkan kami untuk membandingkan rumah yang terbuat dari bahan-bahan alam dengan rumah-rumah yang ada di kota “Apakah benar rumahnya melindungi?.”
“Kalau ada gempa kenapa pada kabur? Artinya sadar tidak sadar rumahnya mengancam, kenapa mengancam? sebabnya telah menyalahi hukum alam yang disadari atau tidak.”
BACA JUGA:Argentina Dipecundangi Arab Saudi di Piala Dunia, Twitter Langsung ‘Pecah’
Bicara soal alam, struktur bangunan yang terbuat dari tanah berada di tempat paling bawah, kemudian di atas tanah ada pohon, kemudian posisi tertinggi di alam adalah daun.
Maka, selayaknya atap rumah memakai dedaunan seperti daun kirai, ilalang atau yang kualitasnya paling rendah adalah daun kelapa.
Yoyo membandingkan dengan atap rumah yang terbuat dari tanah liat. Padahal, tanah berasal dari bawah, namun dipaksa untuk menjadi atap.
“Genting dari tanah yang ada di bawah kalau dipaksa disimpan di atas berarti telah melanggar hukum alam. Maka kita lihat di kota pakai genting yang seharusnya ada di bawah, sadar tidak sadar kalau ada gempa jadi takut tertimpa, pada lari ke luar,” katanya.
Atap rumah yang terbuat dari dedaunan memiliki kelebihan bobotnya yang ringan. Selain ringan, daun pun diikat sehingga tidak mudah jatuh.
Bandingkan dengan genting yang bobotnya berat tapi tidak dipaku atau diikat sehingga kalau ada guncangan bisa jatuh menimpa penghuni rumah.
“Lucunya kalau lagi musim gempa kan goyang meskipun di luar rumah juga. Kalau di luar teriak ‘ada gempa, ada gempa’, anak-anak malah masuk ke rumah diam di tengah-tengah, ayo, ayo, dipakai bercandaan, pada keenakan rumah bergoyang makanya dibuat bercanda,” cerita Yoyo.