Test Drive Mitsubishi Outlander PHEV Jelajah Bali

pada 5 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Uzone.id- Kadang gatel sih ya pengen beralih ke mobil listrik. Tapi masih mikir ngecasnya gimana dan dimana. Ntar malah lebih ribet dari mobil konvensional, ya buat apa?

Gimana dengan Mitsubishi Outlander PHEV? Ini diklaim Mitsubishi sebagai mobil listrik, meskipun masih ada mesin bensin konvensionalnya. Makanya dinamakan hybrid, PHEV--Plug-in Hybrid Electric Vehicle.

Udah gitu, jenisnya SUV dan punya tampilan yang sebenernya gak aneh alias sama aja sama desain-desain mobil kebanyakan. Bahkan, dengan pelek 18 incinya, ngebuat SUV ini kok jadi modis ya? Cakep..

Baca juga: Intip Fitur Canggih Honda Civic Hatchback RS, Harga Nyaris Setengah Miliar

Di dalam kabin pun begitu, hampir sama dengan kebanyakan kabin mobil saat ini. Paling ada beberapa tombol dan indikator aja yang membedakan dan emang, perlu sedikit adaptasi lagi untuk mengoperasikannya dengan santuy.

Posisi duduknya enak. Sedikit agak berasa tinggi. Joknya bisa diatur elektrik, setirnya bisa tilt dan teleskopik, jadi untuk sebuah SUV, ya ini lumayan ergonomis.

Kesan awal, begitu mencet tombol start/stop, ga ada raungan mesin. Sepi, hening, apalagi kalau audio mati. Tapi ketika ada indikator ready di MID, nah mobil ini udah siap untuk diajak jalan--kemanapun!

Ya, bisa diajak jalan kemanapun. Pertama, jenisnya SUV, harusnya tangguh dong. Punya performa yahud berkat torsi besar dari motor listrik depan dan belakang dan gak harus pusing nyari tempat ngecas dimana, selama masih ada SPBU di sekitaran.

Itulah salah satu fungsi utama kenapa mobil listrik ini masih ada mesin bensinnya yang berkapasitas 2.400cc yang lumayan gede. Di MID, konsumsi bahan bakarnya selama perjalanan rata-rata 9 km perliter.

Mesin bensinnya itu kebanyakan tugasnya buat ngecas batre, sebagai genset. Jadi gak perlu takut keabisan listrik. Diajak kemanapun, hayuuukk...

Sayangnya, ketika melahap lintasan berbukit di kawasan Ubud, baterainya harus banyak-banyak mensuplai motor listrik agar mobil ini selalu sedap buat nanjak dan berakselarasi.

Jadi kadang baterainya habis, jadi tersisa mesin bensinnya itu tadi. Udah begitu, tugasnya jadi nambah, ngecas baterai juga sekaligus jadi sumber penggerak mobil selama listrik belum aktif.

Dan ketika hanya mesin bensinnya itu yang aktif, duh, baru deh nyetirin mobil ini ngeselin banget karena performa mesin mendadak lemot, nanjak jadi agak sedikit berat, gak selincah dan segesit saat pakai mode listrik.

Sementara handlingnya lumayan asik. Urusan body roll mah gak mungkin hilang, apalagi ini sebuah SUV, tapi masih bisa ditoleransi dan aman terkendali.

Bantingan suspensinya juga pas. Gak empuk-empuk amat biar gak limbung, tapi gak keras meski pakai pelek besar dan ban profil tipis.

Dan menurut gue kalau ada kekurangan lain dari SUV listrik ini adalah harga jualnya. Banyak kalangan sulit untuk menjangkaunya karena berbanderol sampai Rp 1,2 miliar.

Huff.., berharap era mobil listrik beneran terwujud, karena kami butuh mobil listrik yang sebagus mungkin dengan harga semurah mungkin, demi Indonesia yang lebih hijau..