Thuram yang Geram pada Rasialisme Sepak Bola Italia
Yang terdengar lantang dari tribune penonton stadion di Italia bukan hanya nyanyian pembangkit semangat tim, tapi juga cemooh dan teriakan rasial. Apa yang terjadi pada Kalidou Koulibaly di laga Inter Milan melawan Napoli pada Kamis (27/12/2018) adalah satu dari sekian banyak kasus rasialisme yang terjadi di ranah sepak bola Italia.
Setiap kali Koulibaly menguasai bola, suporter Inter akan meneriakinya dengan ledekan yang menyorot rasnya. Puncaknya terjadi saat menit ke-80, kala Matteo Politano terjatuh ketika tengah mengejar bola dengan Koulibaly. Aksi tersebut membuatnya tak hanya mendapatkan kartu kuning, tapi juga cemooh dari seluruh suporter Inter yang berada di stadion.
Koulibaly meresponsnya dengan memberikan tepuk tangan dengan tujuan satire. Aksi tersebut mendapatkan respons kartu merah dari wasit. Setelahnya, suara cemooh makin nyaring menggema di stadion.
Kasus yang menimpa Koulibaly tak hanya menjadi perhatian mereka yang masih merumput sebagai pesepak bola dan pelatih. Lilian Thuram yang sudah lama gantung sepatu dan memang pernah berlaga di Serie A bersama Parma dan Juventus turut angkat bicara. Legenda asal Prancis itu bahkan menyebut bahwa sejak ia masih bermain di Italia pada era 1990-an pun, rasialisme memang jamak terjadi di sana.
"Saat saya bermain di Italia, kasus ini sudah sering terjadi. Yang disayangkan, 12 tahun setelahnya situasi tidak berubah. Tidak ada solusi yang dilakukan untuk mengatasi kasus ini. Artinya, rasialisme tidak pernah menjadi prioritas untuk sepak bola Italia," jelas Thuram, dilansirFootball Italia.
"Tindakan rasialisme adalah hal yang tidak mungkin dilupakan. Saya yang mengalaminya sendiri tidak lupa. Tapi seharusnya, mereka yang menyaksikan insiden rasial di stadion atau televisi juga tidak boleh lupa."
Bagi Thuram, satu insiden rasial saja seharusnya tidak boleh terjadi. Apalagi bila insiden serupa terjadi berulang kali. Jika insiden itu terjadi acap terulang, maka artinya tidak ada keseriusan dari para pemangku jabatan--mulai dari klub hingga federasi--untuk menuntaskan masalah ini.
"Jika mereka menganggapnya serius, mereka akan melakukan apa saja untuk mencegahnya supaya tidak terjadi lagi. Tetapi, sepertinya orang-orang tidak peduli dengan nyanyian 'monyet' dan hinaan lainnya yang muncul di stadion. Kalau saya jadi yang berwewenang, yang akan saya lakukan saat insiden itu terjadi adalah menutup semua stadion Serie A--bukan hanya Inter," kata Thuram.
"Seandainya ada seorang pemain kulit putih yang mendapat perlakuan seperti yang diterima oleh pemain-pemain kulit hitam itu, saya pikir kejadiannya tidak akan berlarut-larut. Pemain-pemain kulit hitam itu akan berdiri dan menghardik suporter untuk diam. Ini bukan karena pemain kulit hitam lebih baik, tapi karena orang kulit hitam belajar dengan cepat cara untuk mempertahankan diri dan melawan diskriminasi. Jadi, saat mereka melihat orang yang diperlakukan serupa, mereka akan memberontak dan membela orang tadi," jelas Thuram.
Thuram tidak menyampaikan pesan ini kepada Koulibaly. Segala hal yang diucapkannya itu ditujukan kepada siapa pun yang menghina pemain-pemain kulit hitam, orang-orang yang mengejek sejumlah pemain hanya karena mereka memiliki ras berbeda.
Mantan bek Timnas Prancis itu pun yakin bahwa rasialisme tidak hanya terjadi di Italia, tapi di negara-negara Eropa lainnya. Yang begitu dipercayai Thuram adalah bahwa sepak bola lebih dari sekadar permainan atau aktivitas tendang-menendang bola.
Sepak bola tak melulu tentang kompetisi perebutan gelar juara. Sepak bola seharusnya menjadi tempat paling tepat untuk memperlakukan seseorang sebagai manusia. Di atas lapangan bola, apa pun ras, warna kulit, gender dan orientasi seksual, agama, serta keadaanmu--seharusnya diperlakukan dengan hormat dan setara.
Yang membuat Thuram geram, ia merasa tidak ada tindakan nyata untuk mencegah kasus serupa terulang, bahkan setelah apa yang terjadi pada Koulibaly. Pembicaraan yang menyerukan keprihatinan hanya sebatas wacana dan tak berlanjut pada solusi konkret.
"Mereka yang kerap melontarkan ejekan rasial itu berpikir bahwa mereka superior daripada orang-orang kulit hitam. Mungkin sekarang ini kita diresahkan akan kasus ini, tapi 15 hari lagi fokus kita sudah berubah. Orang-orang akan melupakan apa yang terjadi pada Koulibaly dan orang-orang kulit hitam lainnya. Jika tidak ada hukuman yang pasti, masalah ini tidak akan pernah ada habisnya. Tanpa memberlakukan hukuman tegas sehingga dapat menimbulkan efek jera, maka artinya kita tidak melakukan apa pun," tegas Thuram.
Jadi, begitulah. Yang seharusnya dipikirkan oleh sepak bola Italia bukan hanya mengembalikan nama besar mereka di pentas Eropa. Tugas mereka bukan hanya mempersiapkan Timnas Italia merengkuh gelar juara dunia. Lebih dari itu, menjadikan stadion dan lapangan bola sebagai tempat paling aman bagi setiap orang.