Tiang Kuno di Tangerang Jadi Tempat Pemujaan

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Tiang susunan batu bata setinggi 170 sentimeter sisa bangunan kuno di Jalan Sultan Ageng Tirtayasa, Kelurahan Kunciran, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten, dijadikan tempat pemujaan warga.

PantauanBantenHits—jaringanSuara.comdi lokasi, warga meletakan sesaji seperti bubur putih, pinang, daun sirih, kapur sirih, kopi hitam, hingga air kelapa persis di area depan tiang tersebut. Tidak diketahui secara pasti warga yang memberi sesaji.

Namat (63), warga yang tinggal di sekitar lokasi mengatakan, sisa bangunan tersebut sudah ada sejak dirinya kecil. Bahkan, saat ia bertanya pada neneknya, bangunan tersebut sudah ada sejak sang nenek kecil.

“Saya juga tidak tahu pastinya itu dari kapan. Tapi tahun 1963 sudah ada. Soalnya, dari saya kecil bangunan itu sudah ada. Terus, orangtua saya sampai nenek saya juga tidak mengalami, sudah ada saja di situ,” ujar Namat, Selasa (18/9/2018).

Tradisi Sedekah Bumi

Namat mengungkapkan, di wilayah tersebut dahulu masih dilakukan tradisi sedekah bumi. Banyak pemilik lahan yang juga menyediakan sesaji berupa hasil bumi dan juga dupa di bangunan tersebut.

“Kalau dulu banyak yang memberi sedekah (sesaji) ke situ. Kalau lagi sedekah bumi, abis panen, biasanya dikasih juga di situ, buah-buahan, telur, sebagai bentuk rasa syukur,” katanya.

Bangunan tersebut, lanjut Namat, pernah tersambar petir hingga beberapa bagiannya pecah. Namun, bangunan tersebut tidak roboh, hanya beberapa batu terlepas dari susunannya.

Jenis-jenis sesaji yang diletakan di depan tiang kuno yang diduga peninggalan Belanda.[Banten Hits/ Maya Aulia Apriliani]

 

“Dulu pernah tersambar petir. Tapi itu sedikit saja yang pecah, tapi tetap berdiri saja kayak begitu,” ujarnya.

Warga lainnya, Sidih (32) menambahkan, sesepuh di tempat tersebut sering mengambil lumut yang tumbuh di batu yang ada di kaki-kaki bangunan tersebut.

“Dulu sewaktu saya kecil, nenek suka mengambil lumut di bawah kaki tiang bangunan itu kalau musim hujan atau musimnanem. (Lumut) itu jadi rebutan karena katanya bisa menyembuhkan bengek (asma), dan memang sembuh,” terangnya.

Namun, seiring perkembangan waktu, masyarakat mulai memiliki kesibukan lain seperti bekerja sehingga tidak lagi ada yang melakukan tradisi tersebut.

“Sekarang orang tak ada yang memerhatikan kayak begitu, yang penting kerja saja kan. Cuma memang biasanya ada yang masih meletakkan sesaji setiap 1 Muharam,” jelasnya.

Selain kebiasaan warga memberi sesaji, Sidih mengakui pernah mengalami kejadian mistis di bangunan tersebut. Dia melihat sosok seorang kakek yang tidak dikenal hingga penampakan sebilah keris yang ada di tengah tiang tersebut.

“Kalau kakek-kakek itu saya lihatnya belum lama, pokoknya tahun 2000-an. Soalnya Kecamatan Pinang sudah ada (terbentuk). Kakek-kakek itu pakaiudeng-udeng(sorban) putih jalan di sekitar batu. Terus jalan ke sekitar persawahan. Nah tak lama, jam 8 malamnya, kesurupan massal anak Paskibra yang lagi latihan di kecamatan, katanya karena banyak yang pacaran dipojokan. Kalau keris saya lihat cahaya keris sampai ke langitgitu,” ujarnya.

Sidih mengakui, saat ini warga sekitar tidak lagi meminta sesuatu dari bangunan tersebut. Warga menghormati bangunan yang ada di tengah persawahan tersebut sebagai bangunan sejarah yang telah lama berdiri.

“Sekarang kan mintanya sama yang Maha Kuasa saja. Kalau dulu ada kejadian-kejadian atau yang ngasih sesaji, itu cuma sariat, tapi mintanya tetap sama yang Maha Kuasa,” tandasnya.

Berita ini kali pertama diterbitkan BantenHits.com dengan judul ”Tiang Diduga Peninggalan Belanda di Pinang Dijadikan Tempat Pemujaan

 

Berita Terkait: