Ini Tiga Area dengan Kualitas Udara Terburuk di Jabodetabek

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Greenpeace Indonesia melaporkan hasil pemantauan kualitas udara dari 21 stasiun di wilayah Jabodetabek selama enam bulan terakhir.

Di semua lokasi, kualitas udara tercatat buruk, yakni masuk dalam kategori tidak sehat atau tidak sehat untuk kelompok sensitif.

Dari pemantauan itu ditemukan tiga area yang dinyatakan memiliki kualitas udara terburuk, yakni Cibubur, Warung Buncit, dan Gandul (Depok). Ini berdasarkan pengukuran angka PM (particulate matter) 2.5 di sejumlah lokasi tersebut. PM2,5 adalah kandungan partikel-partikel halus di udara yang berukuran kurang hingga sama dengan 2,5 mikron.

"Temuan ini serupa dengan hasil pemantauan udara yang juga dilakukan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Angka PM 2.5 hari di lokasi-lokasi tersebut jauh melebihi standar WHO yaitu 25 mikrogram (mg)/m3 dan juga Baku Mutu Udara Ambien Nasional yaitu 65 mg/m3," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu di Jakarta, Ahad (30/7).

PM 2.5 biasanya dihasilkan dari pembangkit listrik, pembakaran mesin transportasi, dan aktivitas industri. Partikel ini dapat terhirup dan mengendap di organ pernapasan. Endapan ini dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak hingga kanker paru-paru.

 Data dari Januari hingga Juni 2017 menunjukkan, Cibubur, Warung Buncit, dan Gandul (Depok) menempati tiga besar tingkat PM 2.5 tertinggi, yaitu 106, 97, dan 84. Kualitas udara di tiga tempat tersebut dinyatakan tidak sehat.

 Bondan menyebutkan, kualitas udara berpengaruh langsung terhadap kesehatan. Di tiga wilayah dengan paparan polusi tertinggi tersebut, terjadi peningkatan risiko kematian tertinggi pula.

 "Kemungkinan kita meninggal karena stroke meningkat dua kali lipat," kata dia.

 Di Cibubur, peningkatan risiko stroke meningkat hingga 150 persen, penyakit jantung 105 persen, dan ISPA pada anak 105 persen. Di Warung Buncit, peningkatan risiko stroke hingga 146 persen, penyakit jantung 102 persen, dan ISPA pada anak97 persen. Sementara di Gandul, Depok, persentase mencapai 139 persen untuk stroke, 97 persen untuk penyakit jantung, dan 84 persen untuk ISPA pada anak.

 "Anak-anak cenderung menyerap polutan lebih banyak dibandingkan orang dewasa karena intensitas bernapas mereka lebih tinggi. Sebagai perbandingan, anak berusia tiga tahun menghirup udara dua kali lebih banyak dari pada orang dewasa," kata Bondan.

ISPA juga menjadi kasus terbesar penyakit di beberapa kecamatan di Jabodetabek. Di Cengkareng angka ini mencapai 2.867 kasus, di Duren Sawit 2.789 kasus, di Matraman 2.150 kasus, di Kalideres 2.078 kasus, di Cempaka Putih 1.216 kasus, Pademangan 1.268 kasus, Cilincing 1.058 kasus, Kebon Jeruk 1.081 kasus, Kembangan 1.045 kasus, Tebet 921 kasus, Pasar Minggu 804 kasus, Pancoran 794 kasus, Kebayoran Lama 630 kasus, Setia Budi 608 kasus, Senen 594 kasus, dan Cilandak 568 kasus.

 Greenpeace menambahkan, kualitas udara yang tidak sehat tak hanya berpengaruh secara jangka panjang. Pada 22 Juni 2017, pemantauan di 12 lokasi menunjukkan kondisi udara yang tidak sehat dan sangat tidak sehat. Kondisi terburuk terjadi di Jakarta Selatan dengan paparan 91 mg/m3 dan Jakarta Pusat 59 mg/m3. Kondisi ini berbahaya bagi kelompokk sensitif seperti anak-anak, ibu hamil, dan lansia. 

Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan pencemaran udara telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama mereka yang tinggal di perkotaan dengan kepadatan kendaraan tinggi. Di Jakarta, 58,3 persen warga menderita penyakit terkait pencemaran udara.

"Totalmedical costyang dikeluarkan masyarakat pada 2010 mencapai 38,5 triliun. Di tahun 2016 sudah meningkat menjadi Rp 51,2 triliun," kata pria yang akrab disapa Puput ini.

Dengan melihat data tersebut, Greenpeace Indonesia merekomendasikan pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan pemantauan kualitas udara secara memadai. Masyarakat juga perlu mendapatkan informasi dan pendidikan mengenai bahaya kesehatan akibat polusi udara.

"Pemerintah juga perlu melakukan koordinasi lintas lembaga untuk mencapai kualitas udara yang layak," kata Bondan