Tingkat Kejujuran: Indonesia di Jajaran Bawah, Unggul dari Malaysia

pada 5 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Kejujuran merupakan karakter penting yang dapat menentukan ke mana arah sebuah bangsa dan negara melaju. Sejumlah studi telah dilakukan oleh beberapa ahli. Mereka menemukan bahwa kejujuran tidak hanya berpengaruh kepada kesehatan dan mental individu, namun juga perekonomian nasional.

Sebuah penelitian pada 2012, misalnya, menyatakan bahwa semakin sedikit seseorang berbohong, maka ia akan semakin sehat dan bahagia. Proyek penelitian bernama "The Science of Honesty" ini dilakukan oleh Anita E. Kelly, profesor psikologi di University of Notre Dame.

Sementara dalam skala makro, kejujuran juga berpengaruh pada kondisi perekonomian suatu negara. Para ahli dalam studi "Civic Honesty Around the Globe" (2019) menerangkan: Tanpa kejujuran, banyak janji bisa dilanggar, kontrak tak dipenuhi, pajak tak dibayar, dan pemerintah menjadi korup.

Riset yang ditulis oleh Alain Cohn, dkk tersebut meneliti perilaku jujur masyarakat di dunia yang dilakukan selama tiga tahun. Riset ini menyasar 355 kota pada 40 negara dengan cara menyerahkan 17.303 dompet yang hilang kepada warga lokal.


Para peneliti dengan sengaja mengaku menemukan dompet hilang dan menyerahkannya ke orang lain. Kemudian, karena alasan adanya keperluan lain, peneliti meminta orang tersebut untuk menjaganya.

Dompet tersebut berisi uang dengan jumlah bervariasi dan disesuaikan dengan mata uang lokal. Lalu, terdapat kunci, kartu nama yang tertera alamat email, serta catatan belanja berbahasa lokal. Seluruhnya dimasukkan dalam dompet transparan, sehingga orang mudah melihat isi dompet.

Rupanya, sebanyak 40 persen orang memilih untuk mengembalikan dompet tersebut ke pemiliknya. Hal yang lebih menarik, bila dompet tersebut berisi uang, kemungkinan dompet kembali justru meningkat, yaitu menjadi 51 persen.

Dari eksperimen tersebut, peneliti mengurutkan ke-40 negara berdasarkan tingkat pengembalian dompet. Hasilnya, negara-negara Skandinavia mendominasi peringkat teratas. Swiss menempati urutan pertama, disusul oleh Norwegia di urutan kedua, Denmark keempat, dan Swedia kelima. Sementara itu, posisi ketiga ditempati oleh Belanda.

Pertanyaannya: Di mana posisi Indonesia? Di antara negara Asia, Thailand menempati posisi pertama atau peringkat 28 dari 40 negara. Selanjutnya adalah India (peringkat 30), Indonesia (peringkat 33), Malaysia (peringkat 35), dan Cina di posisi buntut.




Pengaruh Karakter Masyarakat 

Ada hal menarik dari perbedaan tingkat pelaporan dompet yang hilang dari 40 negara tersebut. DilansirNew York Times, peneliti ekonomi dari di Harvard Jonathan Schulz mengatakan bahwa karakteristikmasyarakat di suatu negara, seperti homogenitas dan loyalitas nasional, dapat membantu menjelaskan perbedaan tersebut.

Negara Skandinavia yang rata-rata berperingkat tinggi karakter masyarakatnya sangat terbuka, mobilitas tinggi, dan tidak tinggal bersama keluarga. Sementara Cina, Malaysia, Indonesia, dan Kazakhstan yang menempati peringkat rendah, sebut Schulz, memiliki tingkat moralitas yang sangat kuat dalam kelompok. Bahkan, ada kemungkinan pilihan mengembalikan dompet dianggap tidak bermoral. Alasannya: Lebih baik memberikan uang tersebut kepada keluarga.

Sebagai catatan, Schulz tidak terlibat dalam penelitian yang sudah disebutkan sebelumnya.

Lebih lanjut, kita bisa melihat fenomena ini melaluilaporan World Giving Index keluaran Charities Aid Foundation (CAF) dengan fokus pada sub-indeks membantu orang asing. Dengan membandingkan laporan CAF tahun 2018 dan studi-studi kejujuran, terlihat bahwa India, Kazakhstan, dan Cina juga masuk dalam peringkat bawah. Sementara itu, Indonesia menempati posisi 24 dengan skor 46 persen.




Dari laporan tersebut, terlihat bahwa negara-negara dengan peringkat atas yang memberi bantuan kepada orang asing masuk dalam negara dengan karakter masyarakat yang dianggap individualis. Misalnya, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Inggris.

Di sisi lain, dilansir NPR, Associate Professor di bidang psikologi dan ilmu saraf di Georgetown University, Abigail Marsh berpendapat bahwa negara dengan budayakolektivis tinggicenderung memberikan bantuan utamanya kepada keluarga dan anggota kelompok dekat.

Yang menarik, masih dariNew York Times, Alain Cohn, dkk yang terkejut dengan hasil penelitian mereka kembali melakukan riset di tiga negara: Polandia, Inggris, dan AS. Kali ini mereka menambahkan dompet yang berisikan uang dalam jumlah yang cukup besar, yakni 94,15 dolar AS.

Hasilnya, lebih banyak orang nyatanya mengembalikan dompet dengan uang yang cukup banyak tersebut dengan persentase mencapai 72 persen. Sementara itu, 'hanya' 61 persen orang mengembalikan dompet yang berisikan 13.45 dolar AS, dan untuk dompet yang tidak berisikan uang persentasenya lebih kecil lagi, yakni 46 persen. 

Cohn mengatakan, hasil tersebut mengindikasikan bahwa orang sesungguhnya memiliki tendensi untuk memperhatikan kesejahteraan orang lain dan, pada saat yang bersamaan, mereka tidak suka melihat diri mereka sebagai seorang pencuri.
Baca juga artikel terkaitPERIKSA DATAatau tulisan menarik lainnyaScholastica Gerintya