Tsunami Membesar di Teluk Palu
Jumat, 28/9 pukul 17.02 WIB, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan informasi gempabumi tektonik dengan magnitude 7.7 berlokasi 0.18 Lintang Selatan (LS) dan 119.85 Bujur Timur (BT), berjarak 26 kilometer (km) dari utara Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng), terjadi di kedalaman 10 km.
Informasi ini kemudian dimutakhirkan menjadi gempa bumi dengan magnitude 7.4 di kedalaman 11 km.
Berdasarkan hasil pemodelan, terjadi tsunami dengan level tertinggi siaga (0.5 sampai dengan tiga meter) di Palu dan estimasi waktu tiba 17.22 WIB. Untuk itu BMKG mengeluarkan informasi potensi tsunami.
BMKG juga mengestimasi ketinggian tsunami di Mamuju menunjukkan level waspada dengan ketinggian kurang dari 0.5 meter (m). Dan hasil pengecekan terhadap observasi "tide gauge", di Mamuju, tercatat adanya perubahan kenaikkan muka air laut setinggi enam centimeter (cm) pada pukul 17.27 WIB.
Dengan juga memperhitungkan jarak Palu dengan Mamuju yang mencapai 237 km, berdasarkan pembaruan mekanisme sumber gempa yang bertipe mendatar (strike slip) dan hasil observasi ketinggian gelombang tsunami, serta telah terlewatinya perkiraan waktu kedatangan tsunami, maka BMKG mengakhiri Peringatan Dini Tsunami (PDT) pada pukul 17.36 WIB.
Korban berjatuhan
Setelah itu "gelap". Sulitnya jaringan telekomunikasi pascagempa dan tsunami sempat membuat Kota Palu dan sekitarnya menjadi gelap.
Video-video yang menyebar melalui grup-grup Whatsapp pada pukul 17.45 WIB, yang menggambarkan terjangan tsunami di Pantai Talise yang berada di Jalan Rajamoli sampai Jalan Cut Mutia, Kota Palu, justru meninggalkan tanda tanya, keresahan, ketakutan, kesedihan bagi keluarga-keluarga, sahabat, teman yang berada di luar Kota Palu.
Berita terakhir terkait gempa yang tersiar dari Kantor Berita Antara Biro Sulawesi Tengah pada pukul 16.36 WIB menyebutkan satu orang meninggal dunia dan 10 lainnya luka-luka di Donggala pascagempa dengan magnitude 6 yang terjadi dua km utara Donggala di kedalaman 10 km pada pukul 14.00 WIB.
Tidak ada berita lebih lanjut tentang kondisi Kota Palu dan sekitarnya maupun Donggala malam itu. Listrik dan jaringan telekomunikasi terputus.
Pada hari berikutnya, Sabtu (29/9), sedikit demi sedikit informasi mulai mengalir, perlahan-lahan Kota Palu dan sekitarnya menjadi "terang". Saat itu, bukan hanya masyarakat Indonesia saja yang tersentak, dunia terkejut dengan apa yang telah terjadi di Kota Palu dan Donggala.
Hingga Selasa siang (2/10), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan data 1.234 meninggal dunia akibat gempa, tsunami dan likuifaksi yang terjadi di Kota Palu, Sigi dan Donggala. Angka ini, menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho bisa bertambah mengingat proses evakuasi masih berjalan.
Sesar mendatar
Saat akses informasi dari Donggala masih gelap, Sutopo mengatakan belum bisa diketahui berapa korban jiwa dan kerusakan di daerah tersebut. Memang benar episentrum gempa ada di sana, namun hal yang perlu diingat bahwa populasi terpadat ada di ujung Teluk Palu.
Pertanyaan yang sama banyak diutarakan oleh para ahli, ilmuwan, peneliti dari Indonesia maupun asing terkait gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah ini. Bagaimana mungkin Sesar Palu-Koro yang bertipe mendatar mampu menghasilkan tsunami.
Peneliti Geologi Kegempaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Danny Hilman Natawidaja mengatakan ada detil-detil fenomena alam yang membuat gempa dan tsunami di Palu patut mendapat perhatian. "Ada tsunami yang justru terjadi di mekanisme pergerakan struktur sesar mendatar, juga likuifaksi tanah."
Ia mengatakan memang ada kondisi-kondisi tertentu di Palu yang membuat kejadian itu terjadi. Meski itu bukan kejadian pertama tetapi tetap harus menjadi perhatian serius.
Tsunami yang muncul pada pergerakan Sesar Palu-Koro, menurut dia, tentu ada penyebabnya dan, pertama, kemungkinan tidak murni bergerak horizontal. Ternyata di blok timur (sesar) ada pergeseran lima centimeter.
Kemungkinan kedua, menurut dia, topografi di dasar laut tidak rata, sehingga saat terjadi pergerakan sesar memicu timbulnya tsunami. Dan kemungkinan ketiga, adanya longsoran di bawah laut yang memunculkan tsunami.
Minimnya dukungan penelitian terkait kegempaan, tsunami membuat data terkait bencana ini sangat minim. Kondisi ini membuat ahli dan peneliti sulit menjawab berbagai pertanyaan terkait peristiwa alam seperti gempa bumi dan tsunami serta likuifaksi yang baru terjadi di Donggala, Palu dan Sigi.
"Ini saja kami baru dapat bocoran Batimetri di Laut Sulawesi, kami dapat dari data eksplorasi migas yang sifatnya rahasia. Padahal peneliti-peneliti penting mengetahui data-data seperti ini, ini juga untuk kepentingan menolong publik untuk mitigasi bencana," ujar Danny.
Tsunami membesar
Perwira III KM Sabuk Nusantara 39 bernama Iman kepada pewarta foto Antara Muhammad Adimaja di lokasi terdamparnya kapal perintis ini sekitar 70 meter dari Pelabuhan Pantoloan, Kota Palu, Senin (1/10), mengatakan bahwa Jumat sore (28/9), menjelang magrib, goncangan gempa yang awalnya dirasakan pelan menjadi semakin kuat.
Salah satu tali KM Sabuk Nusantara 39 putus, saat itu air datang semakin deras. "Di sekeliling kami sudah air, namun tiba-tiba surut lagi sehingga daratan terlihat tinggi. Lalu dermaga mulai roboh, sedangkan satu tali yang masih tertambat membuat kapal tetap lurus."
"Saat kami menoleh ke belakang, alunan air begitu tinggi, mungkin mencapai 20 meter bahkan 25 meter, semua terlihat gelap. Posisi kapal mulai terdorong, kami gunakan "life jacket", sesuai arahan nahkoda. Jadi lah posisi kapal seperti ini. Namun Alhamdulillah seluruh kru kapal selamat," ujar Iman.
Peneliti Geofisika Kelautan LIPI Nugroho Dwi Hananto mengatakan seharusnya gempa sesar datar cenderung tidak menimbulkan pergerakan vertikal di dasar laut. Dari hasil penelitian di Cekungan Wharton pada 2012 yang memiliki sesar sama dengan Palu-Koro menunjukkan bahwa pergerakan sesar ini kurang efektif memicu tsunami.
Karena itu, ia mengatakan pergerakan Sesar Palu-Koro kemarin tidak murni mendatar. Ada komponen naik atau vertikal sehingga akhirnya memunculkan tsunami 0.5 meter sampan dengan empat meter.
Selain itu, hal lain yang perlu menjadi catatan, menurut dia, adalah kekuatan gempa yang tidak terlalu besar yakni 7.4 Skala Richter (SR) tetapi menimbulkan tsunami yang berdampak besar di Palu dan Donggala. Jadi pasti ada yang mengamplifikasi gelombang tersebut.
Teluk Palu, lanjutnya, membentuk kanal tertutup yang memungkinkan terjadinya longsor di bawah laut, di kedalaman 200 meter. Dengan ditambah kemiringan mencapai 60 persen maka dengan goncangan gempa bisa menimbulkan longsor.
Geomorfologi dari dasar Laut Sulawesi dengan kedalaman 800 meter kemudian menjadi hanya puluhan meter ketika mendekati sisi barat Pulau Sulawesi hingga ke Teluk Palu ini, menurut Nugroho, membuat amplifikasi gelombang tsunami menjadi besar.
Ketika tidak hanya satu sesar yang bergerak, tetapi juga yang ada di sebelahnya, maka ia mengatakan hal tersebut akan juga mempengaruhi amplifikasi tsunami.