Pada Selasa (13/9), Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif menulis artikel tentang paham Wahabi di media kenamaan AS,New York Times. Dalam tulisan itu, ia mengkritik paham Wahabi Saudi yang dianggap menjadi sumber gerakan teroris di dunia.
"Sejak serangan teroris 11 September 2001, militan Wahabi telah melakukan beragam perubahan wajah, namun di balik itu ideologi mereka sama. Apakah itu Taliban, atau beragam inkarnasi Alqaidah atau ISIS yang bukan Islam juga bukan negara," tulisnya.
Zarif menyinggung soal perusahaan komunikasi yang menikmati guyuran petrodolar. Proyek teranyar mereka adalah memberi pencitraan Front Nusra yang didukung Saudi seakan bukanlah bagian dari organisasi teroris Alqaidah. Namun perusahaan itu, kata ia, tak bisa merekayasa fakta sebenarnya di lapangan.
Ia menganggap, jutaan orang yang melihat tirani Nusra tak membeli cerita fiksi. Bagaimanapun, Nusra masih mendominasi aliansi pemberontak di Aleppo.
Menurut Zarif, usaha Saudi untuk merangkul sekutu Baratnya dilandaskan atas premis salah. Kesimpulan yang menyebut mencemplungkan dunia Arab ke kekacauan bisa menghancurkan Iran.
Gagasan aneh ini, Zarif, berbeda jauh di lapangan. Bukan Syiah atau Suni yang mendominasi konflik, namun pertempuran di lapangan terjadi karena pertempuran Wahabi dengan rekan Arab-nya dan membunuh sesama saudara Suni.
Tak hanya itu, ekstremis yang didukung dengan dana kuat ini juga menargetkan warga Kristen, Yahudi, Yazidi, Syiah maupun kepercayaan berbeda lainnya.
"Sungguh, ini sejatinya bukan konflik antara Suni dan Syiah, namun kontes antara Wahabiisme dan arus utama Islam yang memiliki konsekuensi mendalam di kawasan," ujarnya.
Zarif mengatakan, pada 2003 invasi Amerika di Irak memicu pertempuran yang saat masih terus berlangsung. Kunci dari kekerasan itu klaim ia, tak terlepas dari paham ekstremis yang dipromosikan Saudi. Bahkan negara Barat tak melihatnya sampai dengan tragedi 11 September 2001.
Zarif menuding Riyadh telah menghabiskan puluhan miliar dolar AS untuk mengekspor paham Wahabi melalui ribuan masjid dan madrasah di seluruh dunia. Dari Asia ke Afrika, dari Eropa hingga Amerika. Mantan ekstremis di Kosovo kepadaThe Times, jelas Zarif, mengaku Saudi telah mengubah Islam dengan duit mereka.
"Dunia tak boleh hanya duduk dan menjadi saksi Wahabi menargetkan tak hanya Kristen, Yahudi, Syiah, tapi juga Suni," tuturnya.
Zarif menilai perlu ada koordinasi di tingkat PBB untuk menghentikan dana untuk ideologi kebencian dan ekstremis. Internasional juga harus memiliki kesadaran untuk melakukan investigasi terhadap saluran uang dan senjata yang mengalir ke ekstremis. "Serangan di Nice, Paris, Brussels meyakinkan Barat bahwa racun Wahabi tak bisa diabaikan," tuturnya.
[caption id="attachment_82613" align="alignnone" width="610"]Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei[/caption]
Zarif mengimbau kepada Saudi untuk menyingkirkan retorika ketakutan dan saling menyalahkan. Saudi juga harus membantu untuk menghentikan ancaman terorisme dan kekerasan.
Hubungan Saudi dan Iran memanas dalam beberapa waktu terakhir. Keduanya saling perang kata-kata, terutama terkait dengan pelaksanaan haji.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yang dipublikasikan pada Senin. Khamenei mengkritik Saudi terkait dengan insiden haji tahun lalu yang menyebabkan ratusan orang tewas. Ia menuduh Saudi telah melakukan 'pembunuhan' beberapa di antaranya dan menggambarkan penguasa Saudi tak bertuhan dan tidak beragama.
Grand Mufti Saudi Syeikh Abdulaziz al-Syeikh mengaku tak terkejut dengan tuduhan tersebut. "Kita harus memahami bahwa mereka bukanlah Muslim, musuh utama mereka adalah pengikut Suni," ujar Al-Syeikh seperti dikutipArab News.
Ia menggambarkan pemimpin Iran sebagai anak-anak 'tukang sihir' mengacu pada paham Zoroaster yang diyakini bangsa Persia sebelum kedatangan Islam. Menanggapi tudingan tersebut, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menilai hal itu bukti dari kefanatikan pemimpin Arab.