icon-category Sport

Apa yang Membuat Manchester City Anjlok Tiba-tiba?

  • 27 Dec 2018 WIB
Bagikan :

“Kami perlu menyadari bahwa kami perlu bekerja keras untuk melakukan perubahan segera. Dengan kepercayaan yang tumbuh, kami harap kami bisa kembali mendapatkan hasil positif.”

Pep Guardiola benar, Manchester City perlu berbenah. Karena dua laga terakhir yang dijalani tim berjuluk The Citizens itu melulu tandas dengan kekalahan. Dari dua laga itu pula terlihat masalah City dalam urusan bertahan dan menyerang.

City hanya sanggup mencetak 3 gol, sementara gawang yang dikawal Ederson Morales telah kebobolan 5 gol dalam kurun waktu tersebut. Menjadi ironis ketika mengingat City merupakan tim paling tangguh di Premier League dalam urusan menyerang dan bertahan pada musim lalu. Bahkan, kedigdayaan City di liga masih terlihat dari musim ini mulai dihelat hingga November silam.

Kekalahan ini harus dibayar mahal oleh City. Mereka tak hanya tertinggal jauh dari Liverpool, tapi posisi kedua di liga juga telah direbut Tottenham Hotspur. Lantas, mengapa City mendadak terjun bebas menuju kesuraman? Dalam tulisan ini, kumparanBOLA akan membahasnya.

City dan Candu Terhadap Fernandinho

Segala wujud kecanduan memang tidak baik, tak terkecuali candu City terhadap kehadiran Fernandinho di pos gelandang bertahan. Dibilang demikian karena gelandang bertahan berkebangsaan Brasil itu merupakan jantung permainan City.

Sejak era Pep Guardiola di City bermula, Sky Sports menyebut bahwa persentase kemungkinan City menangi laga dengan dan tanpa Fernandinho berbeda jauh. Jika Fernandinho hadir, City memiliki kemungkinan menangi laga sebesar 71,3%, sementara tanpanya angka itu menurun jadi 59,3%.

Fernandinho memiliki kemampuan sangat baik dalam urusan bertahan. Namun, hal ini tak hanya bisa dilihat dari catatan aksi bertahan dari WhoScored berupa 2,1 tekel, 1,5 intersep, dan 2,6 sapuan per laga saja. Melainkan juga dari pemosisian diri dan kapabilitasnya mengorgansir tim ketika diserang.

Selain itu, Fernandinho dibekali dengan kemampuan umpan ke depan yang bagus. Kemampuan ini vital demi mempercepat transisi ke mode menyerang. Sebagai bukti, City telah menciptakan tiga assist sejauh musim ini bergulir.

Kemudian Fernandinho alami cedera paha sejak 15 Desember silam. Kehilangan eks pemain Shakhtar Donetsk itu berdampak serius pada City, sehingga mereka kalah 2-3 dari Crystal Palace (22/12/2018) dan 2-1 dari Leicester City (26/12).

Di laga melawan Palace, John Stones ditarik dari pos bek tengah menjadi gelandang bertahan. Stones memang bagus dalam penempatan posisi ketika menerima bola, tapi kreativitasnya tak teruji. Eks pemain Everton itu lebih suka melakukan operan ke samping daripada langsung ke depan.

Dengan begitu, maka perkara build-up juga menjadi urusan back-four City juga di laga melawan Palace. Dalam urusan bertahan, Stones kewalahan ketika diberikan ruang operasi lebih luas daripada yang sebelumnya.

Di laga melawan Leicester, giliran Ilkay Guendogan yang dicoba menjadi gelandang bertahan. Seperti Stones, Guendogan juga tampil sama buruknya dalam urusan bertahan. Sehingga City mengalami deadlock dalam menyerang dan mudah diserang di laga tersebut.

Berita baiknya, kabarnya cedera Fernandinho tak begitu serius. Tapi, dari situ terlihat jelas bahwa City perlu belanja jika ingin situasi tak mengenakkan ini terulang kembali.

Di Hadapan Formasi 4-5-1, City Mati Kutu

Menariknya, baik Palace dan Leicester bermain dalam formasi 4-5-1 ketika diserang. Lima gelandang akan berdiri sejajar dengan jarak tak cukup jauh dari lini belakang City dan lini pertahanan timnya.

Payahnya gelandang bertahan City dalam melancarkan umpan membuat bek-bek mereka juga turun tangan untuk melancarkan umpan pendek. Sayangnya, bala bantuan tak berdampak banyak. Seluruh pemain belakang dan gelandang bertahan City payah dalam melancarkan umpan terobosan yang dapat menimbulkan efek kejut bagi tim lawan.

Sehingga, City mengubah pendekatannya dengan lebih sering melancarkan umpan lambung. Akan tetapi, meski telah melancarkan lebih dari 20 umpan lambung di laga melawan Palace dan Leicester, City tetap kesulitan. Dengan postur penyerang yang tak begitu tinggi, Sergio Aguero dan kolega kerapkali kesulitan mencari ruang kosong ketika umpan lambung telah dilesakkan.

Pertunjukan Horor Full-Back City

Ketika menyerang, baik Palace dan Leicester akan mengubah formasi dari 4-5-1 menjadi 4-3-3. Serangan kedua tim sama-sama mengandalkan kecepatan dari sisi sayap. Apes bagi City, full-back mereka selalu menjadi bulan-bulanan di dua laga terakhir.

Di laga melawan Palace, Kyle Walker dua kali membuat kesalahan ketika tampil sebagai full-back kanan. Pertama, membiarkan Jeffrey Schlupp melakukan aksi dribel sebelum melancarkan tembakan berujung gol di kotak penalti pada menit ke-32.

Lalu melancarkan tekel keras di kotak penalti sendiri kepada Max Meyer ketika laga berjalan 50 menit. Dari aksi itu, Luka Milivojevic dipersilakan wasit melakukan tendangan penalti, yang pada akhirnya sukses berujung gol.

Di laga melawan Leicester, Walker digantikan Danilo di pos full-back kanan dan Fabian Delph tetap mengisi pos full-back kiri. Karena fokus dengan tugas menyerang, dua full-back ini kerapkali telat mundur ketika diserang. Utamanya di menit-menit awal. 

Sehingga Jamie Vardy bisa melancarkan umpan lambung dari sisi kiri kepada Marc Albrighton, yang melakukan cut-inside ke kotak penalti, dengan leluasa ketika laga berjalan 20 menit. Dengan kepalanya, upaya ini berhasil disulap Albrighton menjadi gol.

Khusus Delph, dia membuat masalah baru karena mendapatkan kartu merah pada menit ke-89. Karena Benjamin Mendy masih berkutat dengan proses penyembuhan cedera, maka tak ada full-back kiri murni di skuat City saat ini.

(Lagi-lagi) Second-Ball

Second-ball menjadi momok yang membuat City tertatih-tatih di awal era Guardiola. Di dua laga terakhir, second-ball kembali datang menghantui lini pertahanan City.

Second-ball menjadi sebab utama di balik terciptanya gol kedua Palace. Prosesnya bermula dari upaya Bernardo Silva menjauhkan bola dari kotak penalti usai tendangan bebas dilancarkan paada menit ke-35. Dari situ, Andros Townsend bisa melancarkan tendangan keras berujung gol dari luar kotak penalti.

Sementara, second-ball menjadi dalang di balik terciptanya gol penentu kemenangan Leicester. Semua bermula dari aksi Leroy Sane membuang bola menggunakan kepalanya tak lama setelah dilancarkannya tendangan sudut untuk kubu Leicester, yang terjadi pada menit ke-81.

Seperti Townsend, Ricardo Pereira kemudian melancarkan tembakan keras berujung gol dari luar kotak penalti dengan leluasa.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini