Apakah Tren Penguatan Rupiah akan Berlanjut pada Desember?
Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) tetap pada rencana semula akan tetap menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) dalam pertemuan rapat Federal Open Meeting Committee (FOMC) bulan Desember ini setelah kenaikan September lalu. Gelaran rapat tersebut dijadwalkan berlangsung pada 18-19 Desember 2018.
Pejabat The Fed dalam risalah yang dirilis pada Kamis (29/11) (PDF) waktu setempat, menunjukkan kemungkinan kuat adanya penyesuaian tingkat suku bunga acuan di Desember ini. Kenaikan FFR yang akan dilakukan The Fed berkisar 25 poin untuk target suku bunga acuan Desember 2018. Namun, bagi rupiah ini tentu sentimen yang tak baik di tengah tren penguatan yang masih berlangsung ke level Rp14.300 per dolar AS.
Dalam risalahnya, The Fed menuliskan bahwa hampir semua peserta FOMC menyatakan pandangan untuk adanya peningkatan tingkat suku bunga dalam kisaran target untuk tingkat dana federal kemungkinan akan dilakukan dengan segera. Ini konsisten dengan penilaian pendekatan bertahap untuk normalisasi kebijakan tetap tepat dilakukan.
“Jika informasi yang masuk pada pasar tenaga kerja dan inflasi adalah sejalan dengan atau lebih kuat dari harapan saat ini,” tulis risalah tersebut (PDF).
Meski demikian, risalah rapat FOMC juga mencatat beberapa kekhawatiran terkait dengan ‘waktu’ kenaikan FFR. Proyeksi saat ini menunjukkan bahwa selain kenaikan yang akan dilakukan Desember, FOMC kemungkinan akan menyetujui tiga kenaikan lagi pada 2019 mendatang.
Namun pelaku pasar mengantisipasi kenaikan FFR hanya akan terjadi satu kali tahun depan. Sebab, beberapa peserta FOMC mencatat bahwa tingkat dana federal saat ini mendekati tingkat netral. Level netral ini lah yang jadi sentimen positif sehingga membuat rupiah dan mata uang lain merangkak naik, hingga proyeksi sampai pada tahun depan.
Sinyal tidak agresif atau dovish yang dilontarkan Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell usai satu hari setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan ketidaksetujuannya atas langkah yang dilakukan The Fed berupa kenaikan suku bunga acuan.
"Saya hanya mengatakan, saya tidak senang dengan The Fed. Sejauh ini, saya bahkan sedikit tidak senang dengan terpilihnya Jay (Jerome Powell) -sebagai Gubernur The Fed-. Tidak senang sedikit pun," ucap Trump dalam wawancaranya kepada The Washington Post.
Pernyataan Trump tersebut merupakan 'serangan' kesekian kali terhadap The Fed, yang telah berlangsung selama empat bulan terakhir. Trump menyalahkan bank sentral dengan mengatakan The Fed di bawah Powell membuat kinerja pasar saham AS menurun. Selain itu, Presiden AS juga menyalahkan The Fed atas rencana General Motors memangkas produksi di beberapa pabrik AS. Namun, yang paling menjadi ancaman adalah kenaikan bunga acuan yang terlalu sering akan berdampak pada target pertumbuhan ekonomi AS.
"Saya pikir The Fed adalah masalah yang jauh lebih besar daripada Cina. Saat ini adalah waktu di mana saya sama sekali tidak senang dengan The Fed. Saya sama sekali tidak senang dengan pilihan saya," ungkap Trump masih melansir The Washington Post.
Jerome Powell dalam pidatonya di hadapan peserta The Economic Club, New York, AS menyatakan langkah The Fed untuk menaikkan suku bunga sebagai latihan dalam menyeimbangkan risiko. Powell bilang bahwa kenaikan suku bunga federal yang terlalu cepat, akan berisiko memperpendek ekspansi pertumbuhan ekonomi yang saat ini terjadi di AS.
Di sisi lain, pergerakan yang terlalu lambat untuk dengan membuat suku bunga terlalu rendah terlalu lama, akan menimbulkan risiko distorsi lain. Yaitu tingginya inflasi serta ketidakstabilan dan ketidakseimbangan keuangan AS. Menurut Powell, peningkatan suku bunga federal secara bertahap memang telah dirancang untuk menyeimbangkan kedua risiko tersebut.
“Kedua risiko itu harus diperhatikan secara serius. Kami akan sangat memperhatikan data ekonomi dan keuangan terkini, dan keputusan tentang kebijakan moneter akan dirancang untuk menjaga ekonomi tetap di jalurnya mengingat prospek perubahan pekerjaan dan inflasi,” tutur Powell dalam pidatonya di hadapan peserta The Economic Club, New York, AS.
Donald Trump yang menganggap The Fed adalah masalah yang jauh lebih besar daripada Cina, The Fed justru mewaspadai masalah tarif bea masuk impor atas barang dari Cina serta besarnya utang pemerintah serta korporasi di AS. Risalah FOMC merinci beberapa peserta prihatin dengan tingginya tingkat utang di sektor bisnis non-keuangan, dan terutama tingginya tingkat pinjaman. Ini membuat ekonomi lebih rentan terhadap kemunduran kredit, yang dapat memperburuk efek dari guncangan ekonomi.
Potensi eskalasi tarif atau ketegangan perdagangan juga disebut sebagai faktor yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi AS, lebih dari yang diharapkan. Presiden AS mengadakan dialog dengan Presiden Cina Xi Jinping terkait perang tarif di sela-sela KTT G20 yang berlangsung di Argentina dan mendapat hasil positif.
Kesepakatan positif dengan Presiden Cina Xi Jinping saat makan malam di Buenos Aires, Argentina, Sabtu (1/12). Kesepakatan luar biasa itu menurut Trump akan dilakukan dengan menahan tarif bea masuk impor.
“Ini adalah kesepakatan yang luar biasa. Apa yang saya lakukan adalah menahan tarif dan Cina akan terbuka dan menyingkirkan tarif. Cina akan membeli produk AS dalam jumlah masif,” jelas Trump melansir The Washington Post.
AS dan Cina juga menyepakati 90 hari "gencatan senjata" dalam sengketa perdagangan yang mengguncang pasar keuangan global.
Selama gencatan senjata kedua negara juga berupaya menyelesaikan perbedaan yang ada. Utamanya terkait upaya Beijing-AS dalam sektor teknologi. Kesepakatan AS dan China ini juga dinilai akan membawa angin segar bagi pasar saham.
Dengan tambahan bea masuk, maka produk-produk asal Cina akan lebih mahal bagi pembeli di AS dan juga sebaliknya. Lantas, ke mana perubahan arus ekspor impor barang ini akan mengarah? Riset Bank UOB berjudul Asia: Are We Seeing Trade and Investment Diversion From US-China Trade Rift? (PDF) menyatakan bahwa arah perubahan arus perang dagang adalah Asia Tenggara.
Dari sisi perdagangan, pertumbuhan ekspor Cina tetap bertahan di level dua digit sampai dengan Oktober 2018. Namun, produk-produk yang paling terpukul oleh kebijakan bea masuk impor adalah pupuk, kendaraan bermotor, dan mesin pengolahan logam. Ketiga komoditas sudah mengalami penurunan kinerja ekspor.
Oleh karena itu, jika hubungan dagang AS-Cina memburuk, maka bukan tidak mungkin arus perdagangan akan terjadi. Ini terlihat dari penurunan tajam indeks Purchasing Manager Index (PMI) untuk pemesanan ekspor. Artinya, ada proyeksi penurunan ekspor asal Cina ke depan.
Studi oleh Bank Negara Malaysia yang dikutip dalam riset Bank UOB memperkirakan potensi pengalihan perdagangan dari Cina bisa mencapai $140 miliar. Selain itu, Asia Tenggara juga akan mendapat manfaat dari pertumbuhan investasi akibat perang dagang Cina-AS.
Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan menarik lainnya Dea Chadiza Syafina