Artis Muda Tewas, Waspada Masa Hampa Saat Usia 27
Dunia hiburan tak seglamor kelihatannya. Kim Jonghyun, personel boyband Shinee meninggal karena diduga bunuh diri di apartemen di kawasan Ceongdam-Dong.
Usianya masih terbilang muda, 27 tahun (28 usia Korea). Ia pun seorang penyanyi berbakat. Tak hanya bermodal tampang, Jonghyun dianugerahi suara indah, kemampuan dance dan menulis lagu.
Namun, dalam sebuah surat wasiatnya, Jonghyun mengungkapkan bahwa dirinya mengalami depresi dan berusaha keras untuk sembuh.
Kematian Jonghyun menambah daftar selebriti yang meninggal di usia 27. Istilah '27 Club' sempat booming kala ada deret artis dan musisi yang memilih mengakhiri hidupnya saat karier mereka cemerlang. Deret artis yang meninggal saat seumuran Joghyun antara lain, musisi Jimi Hendrix, vokalis The Doors Jim Morisson, vokalis Nirvana Kurt Cobain, dan penyanyi sekaligus penulis lagu Amy Winehouse.
Fenomena ini cukup menarik, karena mereka punya kesamaan meninggal di umur 27. Ada apa di angka 27?
Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa, Dharmawan Ardi Purnama, hal ini mungkin ada kaitannya dengan tahap eksistensial hidup. Usia 27-28, katanya, jadi usia titik balik dalam hidup.
"Kalau hidup hanya menjalani, nanti ada titik tertentu kita berefleksi hidup saya, maknanya untuk apa, apa yang harus saya lakukan. Ketika dia enggak didampingi akan ketemu pada satu kehampaan, menemukan bahwa saya meaningless, sudahlah enggak ada artinya lagi," katanya di sela diskusi media bersama Pfizer EduCare di Century Park Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (20/12).
Menurut Dharmawan, di dunia artis, semua serba tampil, tak tahu mana kawan, mana lawan. Bahkan, lanjutnya, orang sulit mengetahui mana yang teman sejati dan mana yang bukan.
Melihat fenomena artis yang bunuh diri, Dharmawan berkata ada kemungkinan ia tidak nyaman dengan apa yang ia dapatkan termasuk perhatian lebih dari publik. Orang belum membayangkan dan 'kaget' saat sudah mengalami.
"Dia enggak kebayang. Begitu dia jadi artis, dia enggak nyaman, ingin keluar saja," ujarnya.
Dharmawan bercerita dirinya pernah sekali waktu tampil dalam program televisi. Saat itu sedang ramai pembahasan soal LGBT. Ia hadir karena kapasitasnya sebagai dokter kesehatan jiwa dengan sub spesialis seks. Walau hanya sekali tampil di acara televisi tersebut, ia sempat mendapat pengalaman kurang menyenangkan.
"Saya makan di kaki lima, ada orang yang tanya, pak bapak kayaknya dokter LBGT ya. Saya bukan artis terkenal, apalagi yang artis terkenal gimana," kata dokter yang juga Ketua IDI Jakarta Utara ini.
Jangan hanya kontak fisik
Sebenarnya di era serba digital ini, generasi milenial mengalami tantangan. Menurut Dharmawan, generasi milenial mengalami hidup penuh ketidakpastian dan gamang. Media sosial membuat segala sesuatu jadi tampak indah dan mudah.
Ia bercerita, dirinya banyak menghadapi pasien yang gamang dengan media sosial. Unggahan kawan di media sosial rupanya jadi pemicu rasa iri, padahal yang tampak di media sosial tak selalu sama dengan kenyataannya.
"Ini jadi tantangan. Baiknya kita memperkaya hidup dengan nilai-nilai, melakukan sesuatu yang meaning," tambahnya.
Sementara itu, depresi sering tidak tampak dan sulit dideteksi. Namun menurut Dharmawan, jika seseorang punya kontak relasi sosial yang baik, maka perubahan sekecil apapun bisa dideteksi. Kontak relasi sosial di sini bukan kontak di media sosial, karena media sosial tak akan mampu memperlihatkan perubahan ini.
"Selain kontak human relationship secara fisik, kontak psikis juga ditingkatkan," katanya.
Masalah depresi jangan dianggap enteng. Jika Anda pernah memikirkan atau merasakan tendensi bunuh diri, mengalami krisis emosional, atau mengenal orang-orang dalam kondisi itu, Anda disarankan menghubungi pihak yang bisa membantu, misalnya saja Into The Light ([email protected]) untuk penduduk Jabodetabek atau Inti Mata Jiwa untuk penduduk Yogyakarta dan sekitarnya ([email protected]).