icon-category News

Asmah Sjachruni dan Pidato yang Menjatuhkan Bung Karno

  • 30 Jan 2019 WIB
Bagikan :

Pada Pemilu 1955, Nahdlatul Ulama (NU) menjadi partai yang pantas diperhitungkan. Saat itu NU memenangkan 45 kursi. Hanya kalah dari PNI dan Masyumi yang masing menguasai 57 kursi.

Namun, untuk komposisi perempuan di Fraksi NU hanya 10 persen. Semuanya berlatar belakang Muslimat NU, salah satunya Asmah Sjachruni. 

Setelah terpilih menjadi anggota DPR, Asmah berangkat dari Kalimantan Selatan (Kalsel) menuju Jakarta. Dia ke Ibu Kota sendirian, Maret 1956, masa awal ia bertugas.

Dalam buku autobiografinya yang berjudul 'Asmah Sjachruni: Muslimah Pejuang Lintas Zaman' (2002), Asmah menyebut, kehidupannya menjadi anggota DPR jauh dari kemewahan.. 

"Gaji yang saya terima Rp 1.700 per bulan. Tidak cukup untuk tinggal sekeluarga di Jakarta. Belum ada perumahan anggota DPR. Flat DPR di belakang gedung Senayan masih sangat mahal," tulis Asmah seperti dikutip kumparan, Rabu (30/1). 

Masa awal sebagai anggota DPR, Asmah langsung tinggal di Jakarta. Dia masih menyempatkan diri pulang ke Kalsel untuk menemui suami dan anaknya. Namun, setelah berdiskusi, akhirnya sang suami setuju untuk mengundurkan diri dari profesinya sebagai guru dan ikut Asmah ke Jakarta.

Sebab, setelah Maret, sidang DPR sangat padat. Tak mungkin, ia bolak-balik ke Kalsel tiap pekan. 

"Rumah, sepeda, permata yang saya miliki saya jual. Sawah saya sewakan kepada saudara. Uang dari hasil itu semua kami pakai untuk sewa rumah," ungkap dia. 

Namun, cari rumah yang memadai dan harganya pas di ibu kota tidak mudah. Selama 19 hari ia masih mencari kontrakan, Asmah dan keluarganya masih menumpang di rumah kerabat di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Setelahnya, Asmah mendapat rumah kontrakan di Jalan Bungur, Jakarta Pusat. Dia pun langsung menyewa rumah itu selama 10 tahun dengan harga Rp 6.000. 

Saat itu uang hasil penjualan perabotan di Kalsel memang cukup untuk sewa rumah serta ongkos transportasi bolak-balik Bungur-Senayan selama satu bulan. Namun,tidak cukup untuk membeli perabotan rumah tangga.

Makanya, Asmah sempat meminjam uang ke Fraksi NU di DPR. Tapi tidak mudah, harus diinterogasi dulu oleh Rais Syuriah PBNU, Kiai Wahab Chasbullah.

"Ketua fraksi KH Achmad Sjaichu tak bisa langsung kasih pinjam karena tak berani dengan Kiai Wahab. Jadi saya harus bertemu Kiai Wahab untuk memastikan bahwa uang yang saya pinjam untuk hal yang bermanfaat dan pasti akan diganti," sebut Asmah.

'Menjatuhkan Sukarno'

Di DPR, Asmah bekerja di Komisi F yang membidangi agama, sosial, kesehatan, dan pendidikan. Dia menjadi anggota termuda di komisi tersebut. Aturan DPR di masa itu, yang tertua memimpin sidang pleno. Sementara yang termuda memimpin sidang komisi. 

Asmah sempat rangkap jabatan sebagai pimpinan wilayah Muslimat NU Kalsel. Namun, karena tak mungkin bolak-balik ke Banjarmasin, dia memilih mundur. Lalu menjadi Pengurus Pusat Muslimat NU sebagai saksi sosial.

Selama menjadi anggota DPR di periode Orde Lama, Asmah kerap mengurusi soal PKI. Salah satunya, peristiwa 30 September yang membuatnya harus menghubungi banyak tokoh. Tentu untuk mencari solusi terbaik terkait peristiwa yang menghilangkan banyak nyawa itu. 

"NU menghendaki agar Bung Karno ikut bertanggung jawab atas kejadian tersebut," kata Asmah. 

Fraksi NU pun mendorong adanya sidang istimewa sejak tanggal 7 sampai 11 Maret 1967. Tujuannya, untuk meminta pertanggung jawaban Bung Karno. Fraksi NU pun menunjuk Asmah dan KH A Hamid Widjaja sebagai juru bicara. dengan begitu, dia juga diharuskan untuk membacakan pidato. 

"Dalam penyusunan pidato ada andil salah satu Ketua Bidang PBNU H. M Subchan ZE yang juga Wakil Ketua MPRS," ungkapnya. 

Asmah memang banyak berdiskusi dengan Subchan. Bahkan, ketika naskah sudah jadi, ia meminta nasihat dari Subchan sampai akhirnya pidato itu diubah. 

Kata Subchan, isi pidato yang ditulis Asmah terlalu ketinggalan zaman. Tidak relevan dengan konteks zaman yang situasi politiknya tengah memanas. Perubahan itu membuat naskah pidato Asmah tak sempat diketik. Hanya ditulis tangan.

Saat naik ke mimbar, Asmah melangkah tanpa ragu. Dia membawa secarik kertas dan berjalan penuh keyakinan. Suaranya menggelegar sehingga visi Fraksi NU yang ingin meminta pertanggung jawaban Sukarno tersampaikan dengan baik. Pidato itupun membuat Asmah dijuluki “Singa Podium”.

Tak lama setelahnya, perwakilan NU di DPR Gotong Royong (DPR GR) yakni Nuddin Lubis mencetuskan sebuah resolusi. Resolusi yang kemudian dikenal dengan 'Resolusi Nuddin Lubis’ berisi permintaan agar Soekarno mundur dari kursi presiden.

Resolusi itu pun berlanjut pada permintaan DPR GR ke MPRS untuk menyelenggarakan sidang istimewa. Sidang yang akhirnya memutuskan agar Sukarno diberhentikan dan Soeharto yang saat itu berpangkat Letjen diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia.

Setelah itu terjadilah dualisme kepemimpinan. Sukarno merasa masih menjadi Presiden tetapi Soeharto sudah diangkat dalam Sidang Istimewa MPRS.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini