Home
/
Technology

Bahaya Free-to-Play bagi Developer Kecil

Bahaya Free-to-Play bagi Developer Kecil

Ayyub Mustofa02 February 2017
Bagikan :

Skema monetisasi free-to-play atau freemium punya potensi mendatangkan keuntungan besar bagi developernya. Perusahaan-perusahaan seperti Zynga, Netmarble, dan Valve adalah contoh beberapa kisah sukses yang tentunya sudah tak asing lagi di dunia free-to-play. Hingga kini pun, game free-to-play baru terus bermunculan dengan cepat bak kacang goreng di pasar malam.

Sayangnya, di balik hasil menggiurkan, bisnis free-to-play menyimpan bahaya yang tak kalah besar pula. Bahaya ini terutama berisiko terjadi pada developer kecil atau independen.

Untuk memahami dan menghindari bahaya tersebut, Tech in Asia Indonesia kembali berbincang dengan Garibaldy Wibowo Mukti (Gerry), CEO Nightspade yang berpengalaman membuat game free-to-play untuk pasar global. Simak hasil obrolan kami di bawah.


Besar tiang, besar pula pasaknya

Fantasy War Tactics | Screenshot 1
Preview

Free-to-play (F2P) adalah strategi monetisasi yang sebetulnya punya dampak buruk terhadap perkembangan industri game keseluruhan.

Pendapat tersebut disampaikan oleh Gerry dengan alasan karena di dunia free-to-play, hanya developer dengan modal besarlah yang bisa bertahan hidup. “Coba lihat, ada tidak game F2P yang benar-benar menghasilkan, tapi dibikin oleh developer indie?” tanyanya.

Kita mungkin pernah mendengar kisah sukses game free-to-play buatan developer kecil yang kemudian mendatangkan banyak uang.

Contohnya Flappy Bird yang heboh di tahun 2013 lalu. Tapi kasus seperti ini bersifat anomali, bukan fenomena yang bisa terjadi pada game secara umum.

Kisah-kisah seperti inilah yang bisa membuat developer-developer independen baru tergiur masuk ranah free-to-play.

Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya di balik sebuah game free-to-play yang sukses dan tahan lama terdapat biaya produksi dan operasional yang besar. Misalnya biaya operasi server, marketing, sampai biaya user testing yang sangat intensif.

Seven Knights | Screenshot 1
Preview

Bila developer kecil mencoba untuk melakukan praktik serupa tanpa persiapan matang, hasilnya adalah mereka justru akan “berdarah-darah” sebab pemasukan tidak sebanding dengan pengeluaran. Sementara itu posisi game top grossing di Google Play Store atau Apple App Store akan terus didominasi oleh penerbit besar. “Mending memang bikin game premium sekalian,” komentar Gerry.

Di balik kesuksesan ada formula rahasia

Untuk memberi gambaran lebih jelas tentang praktik free-to-play di perusahaan besar, Gerry bercerita tentang pengalamannya bekerja sama dengan salah satu penerbit asal Jepang. Ketika perusahaan semacam ini mendesain game, yang dipikirkan bukan hanya tentang bagaimana membuat gameplay berkualitas, tapi juga bagaimana caranya mendorong pengguna mengeluarkan uang secara maksimal.

Tujuan tersebut dicapai melalui berbagai macam analisis psikologis serta riset mendalam yang makan banyak biaya. Semua dirancang begitu detail, hingga ke hal-hal kecil yang mungkin tak terbayang oleh orang awam. Unsur-unsur sepele seperti bentuk tutorial, timing menawarkan in-app purchase, bahkan posisi dan warna tombol bisa memengaruhi penjualan.

Clash of Clans | Screenshot 1
Preview

Tidak berhenti di perancangan saja, tahap testing juga dilakukan cukup ekstrem. Dalam proyek pembuatan game yang berjalan selama satu setengah tahun, proses testing bisa makan waktu enam bulan sendiri. Testing pun tidak dilakukan oleh developer, tapi outsource ke perusahaan khusus asal Cina yang memiliki tim tester beranggota ratusan orang.

Karena dirancang untuk monetisasi optimal, jangan heran apabila kemudian banyak game free-to-play yang jadi terasa mirip-mirip. Bungkusnya memang bisa berbeda, tapi para penerbit mainstream sudah punya formula untuk diikuti demi menghasilkan game yang sukses.

“Orang jadi menikmati, serasa itu game baru, tapi sebenarnya di alam bawah sadar mereka memang sudah cocok,” kata Gerry menjelaskan.

David jangan menantang Goliath

Developer kecil atau independen jelas tidak punya sumber daya yang seimbang untuk bersaing melawan penerbit besar. Selain tidak bisa menghasilkan desain monetisasi optimal, dari segi dana marketing pun mereka sudah kalah. Maka dari itu, untuk developer kecil, terjun ke dunia free-to-play bisa jadi sama dengan bunuh diri.

Fire Emblem Heroes | Art 1
Preview

Memang benar bahwa pasar free-to-play sangat besar, bahkan bisa membuat pengguna yang dulunya bukan gamer menjadi gamer.

Tapi persentase pengguna yang mau membayar jauh lebih kecil dari total pengguna keseluruhan, yaitu hanya sekitar dua persen. Angka dua persen tersebut diperebutkan oleh seluruh developer free-to-play, sehingga persaingan yang terjadi memang sangat ketat.

Ini bukan berarti pasar free-to-play harus dihindari, tapi developer kecil hendaknya pandai-pandai mencari sumber pemasukan alternatif selain in-app purchase.

Game yang dibuat free-to-play, tapi sumber pemasukannya bukan dari pemain,” ujar Gerry. Banyak cara yang bisa diulik untuk mendapat keuntungan lewat jalur lain.

Apa saja yang perlu diperhatikan ketika mendesain game free-to-play? Simak di sini!

Salah satu contoh pemasukan alternatif adalah product placement. Misalnya, developer yang membuat game tentang piza bisa bekerja sama dengan francis piza populer seperti Pizza Hut.

Sementara developer game semacam The Sims yang banyak menampilkan bangunan bisa bekerja sama dengan merek furnitur seperti IKEA atau American Standard.

Intinya, developer kecil atau independen yang ingin membuat game free-to-play sebaiknya jangan bertarung head-to-head melawan developer raksasa. Jangan berhenti mencari strategi alternatif dan jangan ragu memanfaatkan pasar niche, supaya tidak tergilas oleh penerbit mainstream yang punya kekuatan modal besar.

“Berusahalah segigih mungkin. Jangan lupa juga untuk berdoa dan meminta restu dari keluarga,” pungkas Gerry.

The post Bahaya Free-to-Play bagi Developer Kecil dan Bagaimana Cara Menghindarinya appeared first on Tech in Asia Indonesia.

populerRelated Article