Balada Pecel Lele "Banjir" Cak Hendrick 88 yang Sempat Viral
Februari 2018 lalu, foto dua orang pria terlihat gembira menyantap hidangan di warung pecel lele Cak Hendrick 88 viral di media sosial. Satu dari mereka mengenakan topi terbalik, satu lagi mengenakan baju bermotif garis biru putih dan berkumis lebat. Tidak ada yang spesial dari kedua orang itu selain santai makan dalam situasi banjir setinggi paha.
Semua berawal dari unggahan foto Twitter @TMCPoldaMetro Selasa (6/2/2018). Mendadak foto tersebut dibanjiri komentar warganet. “Gak peduli mau ada bencana. Kalo lo butuh duit pasti tetep kerja! Orang Indonesia,” celetuk pengguna akun twitter @oceeenn. “Itu pasti pecel lele bersertifikasi Michelin bintang 5,” ucap pengguna akun twitter @pi0_1. Adalagi kicauan dari pengguna twitter @BudiMahpudin9 “lapar tak tertahankan hahaha.”
Sensasi foto banjir pecel lele Cak Hendrick 88 belakangan jadi bahan guyonan dalam meme-meme internet. Unggahan akun twitter @tbputera menyejajarkan foto viral pecel lele Cak Hendrick 88 dengan suasana makan siang di Maladewa. Bedanya, di Maladewa yang menggenangi paha adalah air laut.
Yayat Supriatna, Pengamat Perkotaan dan Dosen Teknik Planologi Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti menyatakan pada Antara bahwa pengaturan pedagang kaki lima merupakan pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Ia menambahkan semestinya terdapat peraturan daerah yang khusus mengenai keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) sehingga mereka memiliki legalitas dalam berjualan.
Dilansir dari Tribunnews, Irwandi, Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perdagangan (KUKMP) DKI Jakarta, menyebutkan bahwa keberadaan PKL bisa diselesaikan dengan penataan lokasi sementara (loksem) sebagai tempat alternatif untuk berdagang. Loksem direkomendasi dari Lurah-Camat. Selanjutnya, wali kota dapat menerbitkan Surat Keputusan (SK) loksem melalui binaan Suku Dinas KUKMP Kotamadya, sehingga PKL akan berubah status menjadi pedagang binaan resmi.
“Usaha pecel lele ini adalah pilihan yang terbaik,” ucap Madra’i, pemilik warung pecel lele Cak Hendrick 88, saat ditemui Tirto.
Ketika pertama kali datang ke Jakarta pada 2004, pria asal Lamongan, Jawa Timur itu masih ikut saudara berjualan Seafood di Matraman, Jakarta Timur, tepatnya di sebelah Hotel Grand Menteng. Imbas besarnya tuntutan biaya pendidikan anak, ia memutuskan membuka usahanya sendiri setahun setelahnya. Bagi Madra’i, nama kios pecel lele yang terletak di depan Bukit Duri Plaza Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur itu memiliki filosofi khusus.
“Hendrick itu nama anak saya. Karena anak pertama dikasih sebutan “cak”. Sedangkan 88 karena saya 8 bersaudara,” katanya.
Madra’i mewarisi resep masakan dari orangtuanya yang dulu berdagang Pecel Lele di Lamongan. Ia mengaku mengisi waktu luang dengan belajar masak di saat orang tuanya sibuk melayani pelanggan.
Menurutnya, kualitas dari pecel lele bukan hanya lauk pauknya saja, tapi juga sambalnya. Sambal yang dibuat di rumah akan berbeda dengan yang dibuat di warung. Pembuatan sambal di depan pelanggan akan lebih memuaskan pelanggan tingkat pedas bisa dipesan sesuai selera.
Nurli Septiadi, warga Bukit Duri Tongktek yang bekerja di toko sepatu seberang warung Pecel Cak Henrick 88 berkomentar singkat tentang warung Pak Madra’i. “Saya sering makan di situ. Sambalnya pas enggak terlalu pedas dan enggak pake terasi.”
Dengan modal awal Rp25 juta, Madra’i membangun usahanya. Sehari-harinya, ia membelanjakan dua juta rupiah untuk beras, 15 kg lele, 25 ekor ayam, 5 ekor bebek, tahu-tempe, dan 60 tusuk jeroan. Pendapatan per hari sebesar Rp3,5 juta dipotong untuk gaji 5 orang karyawan, yang masing-masing mendapat Rp50 ribu rupiah per hari dan Rp600 ribu per bulan.
Menurut Madra’i, upah itu sudah cukup layak. “Kalau kasih bulanan kan ‘kasihan. Karena anak jaman sekarang butuh pulsa. Sebenarnya saya bisa saja kasih satu juta sebulan, cuma yang ada nantinya mereka malah panjang tangan. Kalau sehari-hari ada uang rokok ‘kan mereka senang.”
Madra’i tak tahu-menahu bahwa gambar warungnya viral di media sosial. Saat itu ia sedang di rumah dan pegawainya mengabarkan lewat telepon bahwa air sudah menyentuh mata kaki. Sang pegawai juga mengatakan bahwa pesanan sedang ramai-ramainya (hingga 160 porsi). Walhasil, mereka terpaksa berjualan saat air mulai tinggi. Lalu ada pelanggan yang makan dan berfoto saat banjir, katanya mereka senang.
Kepopuleran foto pengunjung yang makan di tengah banjir menurut Mandra’i mendatangkan rezeki. “Ya lumayan, saya sampai stok 35 ekor lele. Bisa untung satu hari RP4 juta, ‘kan lumayan,” ucapnya.
Saat banjir, Madra’i tidak mengKhawatirkan kebersihan daganganya. Segala masakan dan peralatan masak tak terendam genangan air. Mereka pun menggoreng dan mengemas masakan dengan hati-hati.
Ongkos Kontrak
“Bayar lampunya Rp150 ribu rupiah per bulan. Dulunya Rp50 ribu. Tanya aja Pak Pol, buat listrik doang. Yang penting saat buka atau tutup bersih dan rapih, persyaratannya Cuma itu doang,” ujar Mandra’i tentang mengenai ongkos operasional kiosnya. Tak ada uang kontrak, cukup bayar uang listrik.
Pak Pol yang dimaksud Madra’i adalah petugas polisi yang berjaga di sekitar kios. Madra’i juga mengaku bahwa ia dibantu adiknya yang bekerja di Polsek sekitar agar bisa berjualan di area tersebut. Tanpa susah payah, Madra’i tinggal memilih lokasi usaha yang diinginkan sesuai arahan sang adik.
Tak semua pedagang kaki lima mengambil risiko seperti Madra’i.
Ahmad, penjual bubur kacang ijo asal Madura di sebelah kios Cak Hendrick, memilih pulang ketika air sudah tinggi. Pedagang yang mengantongi hingga Rp300 ribu per hari itu merasa tidak nyaman ketika air sudah meluap. Ia berdagang bubur kacang ijo sejak 2000 dan tak keberatan jika direlokasi oleh pemerintah, selama tempat yang baru bisa menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Sebagai pedagang liar, ia mengaku tidak membayar uang sepeser pun untuk berjualan di depan Bukit Duri Plaza.
Demikian pula Bayu, karyawan kios bebek Madura. “Sama tetep jualan, tapi jam 8 waktu air masih belum naik. Ketika jam 9 airnya mulai naik saya tutup.” Sejak menetap di Jakarta pada 2012, Bayu mengaku baru pertama kali merasakan banjir seperti itu. Warung tempatnya bekerja terpaksa ditutup selama tiga hari agar kotoran dari saluran air yang meluap bisa dibersihkan.
Nurli Septiadi, warga Bukit Duri menambahkan warga sudah terbiasa dengan banjir. “Warga sini enggak pernah ngadu ke pemerintah soal banjir. Kalau banjir sudah gede, kita tinggal ngungsi,” ujarnya santai.
Begitu juga dengan para PKL seperti Madra'i dan lainnya. Padahal, sesuai Peraturan Gubernur 10 tahun 2015, penataan PKL adalah tanggung jawab Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perdagangan (KUKMP) DKI Jakarta. Para PKL juga dihadapkan tak hanya soal lokasi berusaha yang layak tapi juga ancaman pungutan liar (pungli).
Kepala Dinas KUKMP DKI Jakarta Irwandi mengungkapkan bahwa permasalahan premanisme sudah biasa terjadi, seperti pungli. Maka, bila ada bukti terkait masalah pungli tentu akan ditindak ke pihak yang berwajib. Irwandi merespons soal PKL liar yang belum mempunyai tempat layak. Mereka akan dibina dan mendapatkan tempat yang lebih baik.
Ia berpendapat bahwa para PKL mendapatkan kesejahteraan dalam lokasi sementara (loksem) yang sudah disediakan Pemda DKI. Dengan membayar dana retribusi sebesar Rp120 ribu rupiah tiap bulan PKL bisa berjualan di sana. Namun, penyediaan loksem di Jatinegara Barat belum terealisasikan.
“Untuk di Jatinegara Barat belum ada Surat keputusan (SK) untuk lokasi sementara (loksem), untuk tahun ini kita carikan tempatnya, rencananya tempat berkonsep lesehan seperti di JL. Malioboro, Yogyakarta, yang terdiri dari selasar-selasar. Dibuka mulai sore hingga maghrib,” ujar Irwandi kepada Tirto.
Baca juga artikel terkait PEDAGANG KAKI LIMA atau tulisan menarik lainnya Fikri Muhammad