Sponsored
Home
/
Lifestyle

Balada Perantau yang Tinggal di Luar Negeri, Jam Puasanya Beda dengan Negara Sendiri

Balada Perantau yang Tinggal di Luar Negeri, Jam Puasanya Beda dengan Negara Sendiri
Preview
Hani Nur Fajrina19 May 2018
Bagikan :

Bukan maksud hati mau mengeluh, tapi berasa banget atuh kalau ada hari-hari yang melelahkan atau bikin stres. Bawaannya pengen langsung beli es krim aja. Tapi waktu buka masih lama bener!

Curhatan itu berasal dari seorang teman yang sedang mengemban pendidikan master di Wageningen, Belanda. Dua tahun Kyana menjalankan ibadah puasa jauh dari rumah, serta di negara yang waktu puasanya nyaris paling lama, yakni 19 jam.

Sudah menjadi rutinitas bagi umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa adalah mengecek jadwal imsak dan waktu berbuka setiap harinya.

Kalau kamu suka memperhatikan, Indonesia itu normalnya menjalankan puasa di bulan Ramadan tiap hari kurang lebih 13 jam 20 menit. Tentu durasi ini berbeda dari negara-negara lain.

Dari berbagai sumber, bagi warga Muslim yang berada di Papua Nugini, Singapura, Malaysia, dan Afrika Selatan, waktu berpuasa di negara tersebut masih mirip-mirip dengan Indonesia, yaitu sekitar 13 jam lebih beberapa menit.

Audri, pria usia 28 tahun yang sedang dinas di Singapura sejak 2017 lalu mengaku nggak merasa berat menjalankan Ramadan di sana.

“Rasanya sama aja kayak di Indonesia, ya merasa lapar kalau di jam-jam genting seperti jam 1 sampai 3 sore, tapi overall tetap menyenangkan,” katanya.

via GIPHY

Begitu pun dengan Dhillah, laki-laki usia 25 tahun yang sedang tinggal di Malaysia karena mata pencahariannya bersemayam di negeri jiran tersebut. Ia mengaku, nggak merasakan perbedaan apapun dengan berpuasa di Indonesia.

“Walaupun gue udah 2 tahun nggak pulang, tapi masih ingat kok rasanya puasa di kampung halaman sendiri. Dan ketika membandingkan di sini, sumpah nggak ada bedanya hahaha,” katanya.

Masih berasal dari negara tetangga Indonesia, Australia memiliki durasi puasa yang justru lebih sebentar, kira-kira 11 jam lebih 40 menit. Sahabat gue yang sedang menetap di Canberra sejak 2016 mengaku nggak ada bedanya dengan Indonesia.

“Kalau soal durasi, nggak terlalu kerasa cepat sih, apalagi kalau lagi sibuk-sibuknya. Paling dulu gue pernah baru buka jam 6 sore waktu sini, padahal seharusnya udah buka dari jam 5 sore. Nggak nyadar saat itu, masih kebawa waktu Indonesia ha ha,” kisah Karizki.

Baca juga: Jajan Ramadan: Ngemil Taichan Kusbar Sampai Tuna Bakar

Sementara di negara-negara yang mayoritas berada di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, Pakistan, Irak, Suriah, Yordania, Mesir, sampai Yaman, dan Afganistan, rata-rata durasi berpuasa mereka 14-16 jam.

Kalau bertanya dengan orang-orang yang menjalankan ibadah Umrah saat bulan Ramadan di Arab Saudi, tentu mereka jarang merasa kelamaan. Justru, itulah niat mereka, yaitu merasakan puasa di Tanah Suci.

Ada seorang teman yang sedang menjalani pendidikan di New York, Amerika Serikat sejak 2016. Tahun ini adalah puasa ke-duanya di Negeri Paman Sam. Durasi berpuasa di AS sekitar 16,5 jam.

“Sebenarnya nggak terlalu berat, sih. Cuma kadang kalau kebetulan lagi musim gugur yang agak dingin, gue suka bingung makan sahurnya. Memang harus sedia bahan-bahan supaya bikin sendiri di apartemen. Waktu pertama kali puasa di sini, gue sering makan mie karena udah paling cepet ha ha ha. Kalau sekarang, mendingan. Bisa bikin sandwich untuk sahur, sop, dan lain-lain. Untuk iftar, bisa makan bareng teman-teman. Sedihnya, jadwal diet gue agak ngaco karena biasanya baru buka puasa itu ‘kan di atas jam 8 malam,” curhat Maharani.

Lalu apa kabar negara-negara barat lain yang berisi banyak perantau muda untuk kuliah ataupun bekerja? Ada sejumlah teman dekat gue yang memang pernah dan masih merantau di Benua Biru seperti Inggris, Jerman, dan Belanda.

via GIPHY

Curhatan pertama teman gue bernama Kyana yang tinggal di Wageningen, Belanda itu ya salah satunya. Walaupun ujung-ujungnya dibawa seru, dia nggak bisa mengelak kalau sempat merasa kesulitan kalau sudah banyak pikiran yang berkaitan dengan studinya.

“Kalau lagi pusing dengan riset atau ada ujian, langsung kerasa banget laparnya. Paling parah, harus nahan emosi. Nggak mau lah gue, udah jauh-jauh merantau, mosok puasa aja batal mulu gara-gara emosian di kampus,” ceritanya, sambil tertawa terbahak-bahak.

Lama berpuasa di Belanda sekitar 19 jam, gaes. Kata Kyana, di tahun pertama dia sulit bangun untuk sahur karena terbiasa dibangunkan oleh ibunya.

“Untungnya housemate gue Muslim juga, jadi dia yang sabar bangunin gue setiap jam 2 pagi. Imsaknya itu sekitar jam 3 pagi,” lanjut Kyana.

Teman gue yang lain, Andri dan Tata, dua-duanya sedang menjalankan internship di Hamburg, Jerman. Durasi puasa di sana juga sama, sekitar 19 jam. Mereka mengaku, dengan menyibukkan diri di pekerjaan dan hobi mereka seperti melukis dan desain, waktu puasa yang lama cukup bisa teratasi.

“Awal-awal memang berat pasti. Malah sempat batal dulu ha ha ha! Tapi makin ke sini, udah bisa mengatasi sendiri. Untungnya di sini nggak sepanas di Jakarta, jadi kalau sedang berada di outdoor atau capek gitu, nggak berasa haus. Kebetulan gue akan balik for good ke Indonesia sebelum Lebaran. Jadi, bye bye puasa 19 jam,” ujar Andri.

Lalu, pengalaman nggak kalah serunya dialami oleh teman gue bernama Sindy yang dari 2016 sampai 2017 melanjutkan S2 di Manchester, Inggris.

Hampir sama dengan Kyana, Sindy juga merasa paling terasa dari puasa selama 18 jam adalah kondisi emosional yang berhubungan dengan urusan akademik.

“Gue waktu itu lagi proses ngerjain thesis, lho. Jam tidur berubah banget karena harus sahur sebelum jam 2.30 dini hari. Sempat merasa nggak produktif. Bayangin aja, buka puasa jam setengah 10 malam, tapi gue tetap melek sampai dini hari buat sahur. Aneh banget rasanya,” tutur Sindy.

via GIPHY

Kendati begitu, ada beberapa hal yang Sindy syukuri dari berpuasa di Inggris. Kita tahu, kondisi cuaca Inggris itu cenderung cloudy, adem-adem bikin ngantuk gitu ‘kan. Nah, hal ini yang disukai darinya.

“Mau lagi musim panas sekalipun, Inggris tetap segar cuacanya. Nggak panas menyiksa seperti di Jakarta. Jadi, gue jarang haus. Sudah begitu, transportasi publik di sana juga mudah, jadi gue jarang jalan kaki yang bikin capek he he. Kalau mau beli makanan juga gampang. Plus, di Manchester itu banyak restoran halal! Selain itu, gue bersyukur di kota Manchester banyak masjid yang menyediakan makanan gratis untuk iftar. Acara komunitas Muslim di sana juga sering ngadain bukber di taman,” kenang Sindy.

Banyak hikmahnya ternyata, gaes. Dari sekian banyak pengalaman seru mereka, ternyata masih ada lho negara lain yang durasi puasanya lebih lama.

Norwegia kira-kira menjalani puasa selama 20 jam 20 menit, kemudian Islandia 21 jam 51 menit. Ada satu lagi, Rusia. Untungnya, negara ini nggak sampai 20an jam juga, gaes.

“Ini tahun pertama gue banget, dari awal mikirnya memang harus dinikmatin ‘kan. Udah menahan rasa emosi karena kulit gue makin kering, di Moskow hampir selalu dingin udaranya. Gue udah mencoba sibuk dengan ngerjain tugas kampus, baca bahasa Rusia yang njelimet, dan ngelus-ngelus perut yang keroncongan. Setelah hari sudah gelap dan waktunya berbuka, gue shock. Gue berhasil survive nggak makan minum selama 19,5 jam! Terancam kurus gue!” seru Yola, seorang teman, sekaligus mahasiswi S2 di Государственный институт русского языка им. А.С.Пушкина.

Pusing bacanya? Sama…

populerRelated Article