Berkapasitas 150 Gbps, Satelit SATRIA-1 Masih Bergerak Menuju Orbit
Uzone.id - Satelit Republik Indonesia pertama atau yang dikenal dengan SATRIA-1 telah diluncurkan pada 19 Juni 2023 dan akan mengisi orbit di 146 Bujur Timur (BT). Berkapasitas 150 Gbps, satelit ini akan menghadirkan layanan internet di 50.000 titik fasilitas publik, terutama di wilayah terdepan, tertinggal dan terluar (3T). Fasilitas publik yang dimaksud adalah sekolah, rumah sakit, kantor pos, dan lain-lain.
SATRIA-1 merupakan salah satu upaya yang dilakukan BAKTI (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) Kominfo dalam membuat semua warga di seluruh Indonesia dapat terkoneksi. Data BAKTI menyebut jika penetrasi internet di Indonesia pada 2023 baru mencapai 78,19 persen dengan 87,55 persen merupakan penetrasi di wilayah urban, sedangkan di wilayah rural baru 79,79 persen.Project Manager SATRIA-1, PT Pasifik Satelit Nusantara, Nia Asmady mengatakan bahwa tidak mudah dan butuh waktu lama untuk membuat SATRIA-1 sampai bisa meluncur pertengahan Juni kemarin. Kini, satelit sedang bergerak menuju orbit dengan sistem propulsi elektrik, yang disebut sebagai salah satu inovasi teknologi satelit terkini.
"Satelit masih dalam masa orbit raising, sampai dengan November 2023. Setelah sampai di orbit 146E, akan dilakukan uji coba akhir untuk sistem payload (In-Orbit Testing) dan juga sistem secara secara keseluruhan (End-to-End Testing) sebelum memulai masa operasi. Instalasi komponen ruas bumi seperti RF equipment dan sistem monitoring masih berjalan. Perencanaan untuk deployment kapasitas masih dalam tahap finalisasi," papar Nia dalam Talkshow yang diadakan Forum Wartawan Teknologi (FORWAT) di Kafe Greyhound, Jakarta, Senin, 31 Juli 2023.
Proses yang lama ini patut diapresiasi karena menurut Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Henri Subiakto, dampak satelit SATRIA-1 akan sangat luar biasa. Pasalnya, kata dia, ketika jutaan manusia terkoneksi secara teknologi, mereka juga akan terkoneksi secara sosial, politik, dan ekonomi.
Namun begitu, Henri mengatakan bahwa Satria bukan milik Kominfo atau Bakti, melainkan milik Republik Indonesia. Jadi seluruh kementerian dan lembaga harus memanfaatkannya sesuai trend program transformasi digital.
"Segera diwujudkan unit yang bertanggung jawab dan mengoperasionalkan pelayanan dan pemanfaatan satelit SATRIA secara kolaboratif. Dengan demikian, kedaulatan Indonesia di darat dan di angkasa bisa dijaga dengan Satria," ujar Henri.
Menurutnya, dengan 50 ribu terminal yang akan dilayani SATRIA-1 tidak hanya untuk layanan ekonomi, kesehatan dan sosial politik, tapi SATRIA-1 bisa juga untuk menjaga wilayah NKRI, khususnya untuk penegakan hukum di laut, di hutan-hutan terpencil, dan untuk jaringan internet bagi kepentingan administrasi militer.
"Dengan SATRIA-1 yang merupakan milik RI dan dikendalikan Indonesia, tentu sangat relevan untuk menjaga kedaulatan internet negeri. Beda dengan kalau kita menggunakan satelit Starlink milik Elon Musk, misalnya. Apalagi satu wilayah Indonesia membutuhkan ribuan unit Starlink, berbeda dengan SATRIA-1 yang hanya butuh satu saja untuk saat ini," papar Henri.