BlackBerry: Dulu Raja, Kini Dilupa
-
Alkisah, ketika Apple meluncurkan iPhone pada 2007, muncul reaksi berbeda antara Google dan BlackBerry. Hal itu yang dipaparkan Jacquie McNish dalam buku Losing the Signal: The Untold Story Behind the Extraordinary Rise and Spectacular Fall of Blackberry.
Kala itu, selepas membeli Android pada 2005, Google tengah mengembangkan konsep telepon pintarnya sendiri, yang disebut-sebut mirip perangkat-perangkat Blackberry karena mengusung keberadaan keyboard fisik.
Namun, kemunculan iPhone membuat Google berpikir ulang. Menurut raksasa mesin pencari itu, “dunia telah berubah seketika tatkala iPhone lahir.” Mereka pun memutar haluan rancang-bangun Android agar menyerupai iPhone.
Di sisi lain, sebagai perusahaan teknologi yang masih berkuasa, BlackBerry—kala itu masih disebut Research In Motion (RIM)—santai-santai saja menyambut kedatangan iPhone.
“Tidak ada sesuatu yang segera yang perlu dilakukan,” ungkap BlackBerry, sebagaimana ditulis McNish. BlackBerry begitu percaya diri dengan produk-produknya.
Sialnya, masyarakat berkehendak lain. Perlahan, konsep smartphone yang diusung Apple dan diikuti Google itu jadi pilihan utama masyarakat. Selepas mencicipi pangsa pasar yang cukup tinggi, 20 persen penguasaan smartphone global di kuartal 1-2009, kekuatan BlackBerry terus tergerus.
Akhirnya, pada 2016, BlackBerry menyerah. Pada tahun itu, selain hanya memperoleh 0,1 persen pangsa pasar, BlackBerry pun akhirnya menjual dua unit utama bisnis konsumennya: BlackBerry Messenger (BBM) dan merek dagang “BlackBerry.”
Merek dagang “BlackBerry” mereka lisensikan ke TCL Corporation, produsen perangkat elektronik asal Cina. Oleh TCL, merek tersebut digunakan untuk memberi daya tawar bagi telepon pintar yang mereka bikin, seperti BlackBerry Keyone dan BlackBerry Key2. Sementara itu, aplikasi pesan instan BBM dibeli PT. Elang Mahkota Teknologi (Emtek), konglomerasi asal Indonesia pemilik SCTV dan Indosiar.
Menurut Laporan Keuangan Konsolidasi Kuartal 4-2018, Emtek mengakuisisi BBM melalui anak usahanya yang berkedudukan di Singapura bernama Creative Media Works (CMW) senilai Rp2,74 triliun. CMW bertransaksi mengambil alih BBM pada 27 Juli 2016, sebelum BlackBerry melisensi merek dagangnya ke TCL.
Atas aksi korporasi itu, segala hal yang berbau BBM, termasuk pengembangan dan tanggung jawab operasional, beralih ke Emtek.
Sebelum BBM diambil Emtek, aplikasi pesan instan itu terbilang sukses. Sebagaimana dilansir Tech in Asia, pada 2012, BBM sukses mengambil 37 persen pangsa pasar aplikasi pesan instan di Indonesia. Secara global, pada 2014, aplikasi ini memiliki 160 juta pengguna terdaftar.
Adi Sariaatmadja, yang kala itu menjadi Pemimpin Eksekutif KMK Online, pusat divisi digital Emtek, menyebut pembelian BBM “sangat masuk akal.” Katanya, BBM adalah senjata Emtek untuk “dapat mengintegrasikan data warehouse, membuat jaringan iklan dan identifikasi kami sendiri, dan tentu saja pembayaran.”
Pada 2016, kala Emtek mengambil BBM, aplikasi itu memiliki 60 juta pengguna di Indonesia.
Sial tak bisa ditolak, performa BlackBerry, baik dalam bentuk merek dagang yang dimiliki TCL dan sebagai aplikasi pesan instan, terus merosot. Tidak ada nama BlackBerry juga TCL sebagai produsen top telepon pintar hari ini. Dan tidak ada pula nama BBM sebagai aplikasi pesan instan terpopuler di dunia saat ini.
Sebagai perusahaan yang memperkenalkan konsep “push notification,” mengapa BlackBerry bernasib tragis?
Dalam artikel Wired “The Mistakes That Cost BlackBerry Its Crown,” disebut bahwa BlackBerry gagal karena perusahaan itu tidak adaptif pada perubahan.
Tatkala iPhone lahir, sebagaimana diungkap Steve Jobs saat peluncuran, iPhone tidak merevolusi dunia ponsel, tetapi merevolusi cara manusia berinteraksi dengan ponsel. Bila dahulu, seperti pada penggunaan BlackBerry, manusia berinteraksi dengan ponsel melalui tut-tut di keyboard, kini interaksi terjadi sepenuhnya melalui tombol-tombol di layar. Touchscreen sepenuhnya.
BlackBerry baru merilis smartphone yang sepenuhnya touchscreen pada akhir 2008. Kala itu, BlackBerry memperkenalkan BlackBerry Storm.
Kesalahan kedua yang dilakukan BlackBerry, sebagaimana tertulis dalam artikel “Why Blackberry's Biggest Strength Isn't Smartphones,” ialah betapa telatnya BlackBerry menciptakan ekosistem aplikasi, sebagaimana App Store yang dibangun Apple dan Play Store yang dibuat Google.
Ponsel yang tidak up-to-date dan nihilnya beragam aplikasi membuat BlackBerry ditinggal sebagai produsen pembuat ponsel. Sedihnya, ini pun terjadi pada aplikasi pesan instan mereka.
Dalam publikasi “BlackBerry: is this RIP for BBM?,” disebut BBM gagal menjadi aplikasi pesan instan utama karena BBM memiliki banyak keterbatasan, yang kemudian dieksploitasi para pesaingnya.
Misalnya, sebelum hadir pada Android dan iOS, BBM merupakan aplikasi yang eksklusif di BlackBerry. WhatsApp hadir mengisi kekosongan aplikasi pesan instan di berbagai platform. Bukan hanya pada Android dan iOS, tapi juga ponsel-ponsel berbasis Java.
Akibatnya, pada 2013, saat BBM hanya memiliki 80 juta pengguna aktif, WhatsApp telah memiliki 300 juta pengguna.
Selain itu, ada banyak fitur-fitur standar suatu aplikasi pesan instan yang alpa pada BBM. Video call dan voice call ada di Skype, Viber, maupun WhatsApp, tetapi tidak ada di BBM. Lalu, tidak ada fitur share location dan video sharing. BBM pun lupa memasukkan fitur stiker tatkala dunia pesan instan tengah berkembang dulu.
Terakhir, di Indonesia, BBM awalnya hanya bisa digunakan dengan mengaktifkan paket khusus dari provider telekomunikasi. Sementara itu, WhatsApp, Line, Telegram, dan berbagai aplikasi pesan instan lainnya, cukup mengandalkan paket internet standar.
BBM kini tenggelam. Dalam laporan keuangan Emtek, nilai BBM telah menyusut dibandingkan harga beli dahulu. Kini, BBM diperkirakan bernilai Rp1,97 triliun, tertinggal dari WhatsApp yang valuasinya diperkirakan berkali-kali lipat lebih tinggi dibandingkan $19 miliar, nilai tatkala Facebook memboyong aplikasi itu pada 2014.
Baca juga artikel terkait BLACKBERRY atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin