Bulu Ketiak Warna Warni dan Simbol Aktivisme LGBT
Orang boleh menganggap Rainbow Girl adalah salah satu pembuat konten YouTube teriseng karena pernah mewarnai bulu ketiak dengan cat warna warni. Wanita ini bukannya kurang kerjaan, ia rela melakukan hal itu sebagai bukti keberanian menerima tantangan dari warganet.
“Senang juga mengetahui orang-orang kaget melihat bulu ketiakku. Ini adalah hal paling aneh yang pernah kulakukan dan aku bangga jadi perempuan pertama yang mewarnai bulu ketiak. Gay pride!” kata Rainbow Girl dalam akun YouTube-nya.
Tak ada yang mengira tayangan yang dibuat dua tahun lalu itu bisa menginspirasi banyak wanita untuk melakukan ‘keanehan’ serupa dan membuatnya viral di media sosial.
Sejak awal Januari lalu, linimasa Instagram diramaikan berbagai foto para wanita pamer ketiak warna-warni. Situs gaya hidup perempuan Marie Claire bahkan menganggap Unicorn Armpit Hair adalah tren kecantikan terbaik pada bulan Januari. Jurnalis Marie Claire, Maya Allen memakai tagar #Januhairy untuk mendorong wanita tak malu menumbuhkan bulu tubuh dan menerima kondisi badan apa adaya.
“#Januhairy jadi tampak lebih berwarna. Ini sekaligus menegaskan perempuan punya karakter dinamis, bersemangat, dan berapi-api,” tulis Allen.
Tagar Januhairy dibuat mahasiswi University of Exeter, Inggris; Laura Jackson. “Aku ingin melihat para wanita merasa nyaman dengan keunikan tubuhnya. Januhairy bukan kampanye untuk menyindir orang yang tidak memandang bulu tubuh sebagai hal normal. Ini justru proyek yang memotivasi orang supaya makin memahami cara pandang terhadap diri sendiri dan orang lain,” kata perempuan 21 tahun itu kepada BBC.
Respons positif #Januhairy juga bisa dianggap bukti berlanjutnya upaya wanita untuk menyingkirkan pandangan tabu terkait bulu tubuh perempuan -- terutama bulu ketiak dan bulu kemaluan. Anneke Smelik pernah menulis dalam “A Close Shave: The Taboo on Female Body Hair” (2015), bahwa citra tabu perempuan berbulu adalah dampak budaya populer.
Selama dua dekade terakhir, berbagai media massa membuat para perempuan berbulu kecil hati lewat narasi-narasi negatif yang dipublikasikan. The Observer pernah menyebut bahwa wanita fashionable adalah wanita yang tidak punya bulu kemaluan. Salah satu episode serial populer Sex and The City menayangkan cercaan terhadap Miranda, salah satu tokoh utama, karena ia tidak sempat mencukur bulu kemaluan.
“Hinaan yang dialamatkan untuk Miranda menandakan bahwa peran sebagai wanita karier dan ibu tunggal tidak memungkinkan dirinya untuk merawat diri agar bisa tampil seksi di mata pasangan,” tulis Anneke.
Salah satu dialog dalam serial The Sopranos menyebut perubahan besar yang terjadi di masyarakat ialah perempuan yang mencukur habis bulunya. Selain tayangan televisi dan majalah yang beredar secara terbuka, film porno juga punya andil membangun persepsi menjijikkan terhadap bulu tubuh perempuan.
“Perempuan berbulu dianggap tidak seksi, tidak pintar, dan tidak bisa bersosialisasi dibanding perempuan tanpa bulu,” tulis S.A. Basow dan A.C. Braman dalam ‘Women and Body Hair: Social Perceptions and Attitudes’ (1998) sebagaimana dikutip Smelik dalam naskahnya.
Selain tidak seksi, bulu juga dianggap sebagai kotoran yang patut dimusnahkan. Pendapat tersebut dicatat oleh M. Douglas dalam Purity and Danger (2002). Smelik memuat pandangan Douglas yang mengungkap bahwa secara psikologis, seseorang bisa memandang bulu sebagai benda yang jorok, kotor, menjijikan, bahkan berbahaya. “Bahaya itu bisa dihasilkan dari tindakan-tindakan membela, mempertahankan, dan melewati berbagai batasan yang ditetapkan masyarakat terkait bulu,”
Breanne Fahs pernah melakukan studi kasus kecil-kecilan di salah satu sekolah di AS guna melihat respons pria bila diminta mencukur bulu yang dianggap lambang maskulinitas. Penelitian dilakukan terhadap 42 peserta kursus kajian perempuan, delapan di antaranya pria. Hasil penelitian yang dimuat dalam Women’s Studies: An Interdicplinary Journal itu menyebut bahwa para pria merasa proses penghilangan bulu adalah hal yang tidak nyaman, menyakitkan, dan membuang waktu. Meski demikian, mereka tetap ingin pasangannya untuk mencukur bulu. Sementara responden lain menganggap tindakan penghilangan bulu bagai tindakan mengebiri diri sendiri dan ia tidak akan melakukannya lagi.
Dalam naskah “Shaving It All Off: Examining Social Norms of Body Hair among College Men in a Women's Studies Course” itu, Fahs menuliskan bahwa responden wanita mencukur bulu supaya dianggap feminim, atraktif, dan seksi. “Wanita yang menolak bercukur dianggap jorok,” tulis Toerien and Wilkinson dalam “Exploring the Depilation Norm” (2004) sebagaimana dikutip Fahs.
Sekarang, situasi sudah berbalik dengan munculnya orang-orang seperti Jackson dan Rainbow Girl yang tidak hanya melawan stereotip tetapi juga menjadikan bulu ketiak sebagai medium aktivasi, salah satunya terkait LGBT.
Tahun lalu, penata gaya rambut di St.Louis, Caitlin Ford mengecat bulu ketiak kliennya dengan cat warna pelangi. Ford berkata sang klien ingin ikut serta dalam St.Louis Pride, festival LGBT di St.Louis. Sang klien menganggap gerakan mengepalkan tangan ke udara akan jadi lebih bermakna bila memperlihatkan bulu ketiak yang menyiratkan simbol LGBT.
Simbol pelangi itu diciptakan oleh Gilber Baker, seniman gay dan drag queen. Baker mendesain logo LGBT atas permintaan Harvey Milk, politikus gay AS yang merasa perlu adanya simbol bagi komunitas gay. Kemudian Baker terpikir mendesain bendera warna-warni. Ragam warna menyiratkan berbagai latar belakang manusia dan ia memilih bendera karena benda tersebut mudah dilihat.
“Tugas kita sebagai gay adalah menunjukkan diri pada dunia tentang siapa diri kita. Bendera adalah salah satu cara agar identitas kita mudah dikenal dan diingat orang,” kata Baker seperti yang dimuat Britannica.
Simbol warna-warni pertama kali berkibar pada San Francisco Gay Freedom Day Juni 1978 dan jadi populer pada 1994 saat Baker memproduksi bendera panjang kaya warna untuk peringatan 25 tahun Stonewall Riots. Sejak saat itu, publik mengadaptasi simbol warna warni dengan berbagai cara untuk menyiratkan dukungan terhadap LGBT.
Baca juga artikel terkait HAK LGBT atau tulisan menarik lainnya Joan Aurelia