Bunuh Anak hingga Bunuh Diri: Terbongkarnya Buku Panduan Jihad ISIS
“Bunuh mereka, lawan mereka dengan segala cara yang bisa merenggut jiwa mereka, mengusir roh mereka dari tubuh mereka, membersihkan bumi dari kotoran mereka dan menyingkirkan momok mereka dari umat manusia, dengan cara apapun.”
Sepenggal instruksi itu membuka bab bertajuk “Pembunuhan Acak terhadap Orang-Orang Kafir” dalam buku Fiqh al-Dima atau Yurisprudensi Darah.
Sebagaimana dilaporkan Mark Townsend untuk Guardian, naskah setebal 579 halaman itu didapat oleh lembaga think tank anti-terorisme yang berpusat London, Quilliam, pada tahun 2015. Mereka menemukan bahwa naskah itu dipakai ISIS untuk melakukan perekrutan anggota baru di Suriah.
Dua tahun lalu ISIS bisa dibilang sedang mengalami puncak kejayaan. Sepanjang wilayah kekuasaan baik di Suriah maupun Irak, sekitar delapan hingga sepuluh juta orang diperkirakan hidup di bawah panji bendera ISIS. Tapi sejak 2015 pula ISIS mulai menelan kekalahan, dan hingga kini telah kehilangan sekitar 98 persen dari wilayah kekuasaan yang dulu sempat mereka genggam.
Peneliti senior Quilliam Salah al-Ansari menjelaskan bahwa interpretasi isi buku tersebut juga digunakan sebagai manual jihad kelompok militan lain seperti Al Qaeda dan Boko Haram (Nigeria). Ia memprediksi ajaran Muhajir didoktrinkan kepada para pejuang dari luar Suriah maupun Irak. Termasuk di antaranya 6.000-an jihadis asal Eropa, di mana 850 di antaranya dari Inggris.
Isi buku itu mengarahkan para anggota ISIS untuk melakukan berbagai tindakan kejam atas nama jihad. Antara lain mutilasi mayat, perdagangan organ tubuh manusia, pemenggalan kepala, pembunuhan anak-anak sembari melaksanakan operasi bumi hangus, dan serangan-serangan teror di berbagai negara.
Buku juga menjustifikasi pembunuhan massal secara sistematis atau genosida, membunuh non-kombatan alias orang-orang sipil yang dianggap musuh atau berstatus kafir, pengambilan serta penyekapan budak seks dan sandera, hingga penggunaan senjata pemusnah massal.
“Tujuan utama yang kami perjuangkan—dan kami melakukannya dengan segenap kekuatan yang tersedia—adalah memperoleh senjata, senjata pemusnah massal. Sebab tidak boleh ada upaya melarikan diri dari kewajiban membela diri dari pengkhianat iman dan demi mengakhiri agresi busuk terhadap Islam dan umatnya,” kata Muhajir.
Atas Nama Jihad Tapi Melanggar Esensi Islam
Quillam adalah salah satu lembaga think tank sekaligus grup advokasi yang dibentuk untuk melawan ekstrimisme di level global, demikian catat Mondiaal Nieuws. Sejak tahun 2008 mereka telah melakukan proses dokumentasi tentang bagaimana Al Qaeda dan ISIS menjalankan taktik propagandanya. Oleh sebab itu, Quillam juga mengkitik isi Yurisprudensi Darah.
Salah satu bab yang membahas aturan saat bertempur dinamai “Retret Militer”. Di dalamnya disebutkan bahwa jihadis seharusnya memilih bertempur sampai mati daripada menyerahkan diri ke musuh saat sedang atau akan mengalami kekalahan.
Ansari, penerjemah buku, menyatakan sanggahannya. Ia berargumen bahwa tidak ada tuntutan “bertempur sampai mati” dalam Islam. Tradisi Islam pun mewajibkan perlakuan yang manusiawi pada tawanan perang.
Di bagian lain disebutkan konsep klasik yang ditelurkan pemikir pujaan para jihadis, yakni tentang pembagian dunia menjadi dua: “tanah Islam” versus “tanah kafir”. Dengan demikian muncul juga kewajiban bagi para jihadis untuk memerangi orang-orang kafir.
“Seluruh konstruksi biner ini adalah produk para teolog Muslim yang sekarang sudah usang, dan karenanya justifikasi ekskomunikasi (takfir) dan serangan militer terhadap warga sipil benar-benar absurd,” demikian menurut laporan Quilliam yang dikutip Guardian.
Ansari menegaskan pekerjaan utama Quilliam adalah menolak argumen ISIS yang diklaim Islami. Ia dan kolega-koleganya ingin menunjukkan kebodohan ISIS yang mengabaikan keilmuan Islam tradisional serta nilai-nilai kemanusiaan. Tak ketinggalan, imbuh Ansari, nilai-nilai tentang pengampunan dan belas kasih dalam doktrin Islam.
Quillam melancarkan kritik juga didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an, ajaran-ajaran dan moralitas Islam, serta beragam referensi yang mengatur etika perang dalam Islam. Intinya, kata Ansari, isi buku Muhajir kebanyakan berisi penyalahgunaan tafsir dalam ajaran Islam Suni tradisional dengan tujuan untuk legitimasi operasi teror.
“Pembaca yang rentan dan tak memiliki pendidikan (Islam) sebelumnya bisa dengan mudah tergoda dengan buku ini karena ditulis dengan cara memberikan kesan bahwa isinya memiliki bobot relijius. Teks ini didasarkan pada tafsir tradisional yang tidak mencerminkan kompleksitas, keragaman dan pluralitas dalam ajaran Islam.”
Ideolog Berharga Kepunyaan ISIS
Abu Abdullah al-Muhajir adalah salah satu ideolog paling berharga yang dimiliki ISIS. Buku Yurisprudensi Darah adalah satu bentuk kongkritnya. Menurut Qualliam, Yurisprudensi Darah bisa diposisikan sebagai panduan terpenting dalam perjuangan ISIS.
Charlie Winter dan Abdullah K. Al-Saud melaporkan profil Muhajir untuk Atlantic sebagai kombatan asal Mesir yang kenyang berjihad di Afghanistan sejak era 1980-an. Ia berbaur dan berjuang bersama dengan Osama bin Laden dan Ayman al-Zawahiri, dua pentolan Al Qaeda. Ia juga dekat dengan Taliban.
Namun pada suatu waktu, ia berubah sikap. Simpatinya pada Taliban dan Al Qaeda luntur sudah. Meski demikian ia tercatat tetap menjadi salah satu intelektual paling cemerlang di tubuh Al Qaeda.
Menginjak tahun 2000, ia mulai menjalin relasi dengan Abu Mus'ab al-Zarqawi, pria yang kemudian punya reputasi sebagai pembawa teror untuk pasukan AS di Irak serta memanaskan konflik Sunni-Syiah di kawasan.
Dalam analisis yang diunggah di Al Jazeera Centre for Studies, Dr. Motaz al-Khateeb menulis bahwa buku Yurisprudensi Darah amat mempengaruhi Zarqawi dalam menjalankan apa yang ia yakini sebagai jihad. Bahkan Zarqawi tercatat pernah berguru langsung dengan Muhajir, khusus untuk mendalami isi buku tersebut.
Muhajir adalah sosok yang kharismatik sehingga mampu meyakinkan simpatisan ISIS lain terkait teknik jihadnya. Mereka yang mula-mula ragu menjadi yakin. Salah satunya diungkapkan oleh Abu Muhammad al-Maqdisi yang tercantum dalam pengantar Yurisprudensi Darah edisi spesial.
“Usai dibebaskan dari penjara dan pergi ke Afghanistan lagi, saya bertemu Syaikh Abu Abdullah al-Muhajir. Kami berbincang tentang operasi mati syahid. Syekh mengizinkannya. Saya membaca penelitiannya tentang masalah ini dan mendengarkan banyak rekamannya. Akhirnya, Allah membuka hati saya sehingga saya tidak hanya melihat operasi mati syahid sebagai hal yang diperbolehkan, tetapi juga diinginkan.”
Cara Muhajir berteori cukup sederhana, kata Winter dan Al-Saud, yakni menawarkan perbaikan secara teologis sesuai tujuan dan maksudnya. Misal, soal serangan bom bunuh diri. Bunuh diri ia larang jika yang diniatkan adalah demi kepentingan pribadi. Namun ia akan menganggapnya sebagai tindakan yang terhormat jika tujuannya untuk mendukung dan menjunjung tinggi Islam.
Propaganda seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam dunia terorisme. Teolog-teolog berhaluan ekstrem sudah mengizinkan, bahkan mendorong aksi-aksi serupa sejak perang terhadap “musuh-musuh Islam” dikobarkan.
Melalui pelintiran ayat Al-Qur'an, hadis, atau tafsiran ahli agama yang satu ideologi, Muhajir menyusun manual jihadnya sendiri, yang hingga kini masih mengancam nyawa penduduk dunia—termasuk warga Surabaya.
Baca juga artikel terkait BOM BUNUH DIRI atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan