Cita-Cita bisa Terhambat oleh Diri Sendiri
Apa rasanya menjadi sosok ternama seperti Cecil Beaton (1904-1980)? Sederet artis Hollywood pernah diabadikan gambarnya oleh laki-laki ini, mulai dari Audrey Hepburn, Elizabeth Taylor, Marilyn Monroe, hingga Mick Jagger.
Di samping menjadi juru potret, Beaton juga berkarya sebagai ilustrator dan perancang kostum untuk film dan teater. Tahun 1964, laki-laki ini dianugerahi piala Oscar sebagai perancang kostum terbaik lewat film My Fair Lady.
Bayangan kehidupan glamor, macam-macam torehan prestasi, dan rekam jejak karier cemerlang sering kali menjadi tebakan orang-orang. Namun di balik itu semua, sebagaimana memoar pesohor-pesohor lain, catatan hidup Beaton tidak bersih dari sisi kelam. Satu di antaranya terkait dengan aksi “sabotase diri” yang sempat membuatnya ditendang dari Vogue, majalah fashion tempat dia berkarier.
Baca juga: Sisi Gelap Orang-Orang Pintar
Menjelang peluncuran film dokumenter bertajuk Love, Cecil Desember mendatang, The Times merilis petikan kisah hidup Beaton. Pada bagian yang membahas sabotase diri, Beaton diwartakan sempat membuat ilustrasi kontroversial pada tahun 1938 di Vogue.
Ia mengambil potongan koran yang memuat kata-kata ofensif bagi orang Yahudi. Akibatnya, Vogue mesti memusnahkan 130.000 eksemplar majalah yang telah tercetak dan Beaton diminta hengkang dari kantor. Ia menyesal telah membuat kesalahan itu, tetapi sempat tak habis pikir juga mengapa dia melakukannya.
Terkait sabotase diri Beaton, Immorindo Vreeland, sutradara Love, Cecil menyatakan, “Sekalipun dia punya niat kuat untuk menciptakan sesuatu, dia selalu merasa tidak cukup baik.” Beaton juga diberitakan sempat ingin memacari aktris tenar kala itu, Greta Garbo. Namun, hal ini sulit terwujud lantaran Garbo adalah lesbian, demikian keterangan Vreeland.
Hal-hal yang dilakukan Beaton sejalan dengan penjabaran penulis dan executive coach Bonnie Marcus dalam Forbes. Saat seseorang mengeset ekspektasi tak realistis, ia sebenarnya tengah mengarahkan diri untuk gagal. Mengapa? Karena terlalu sering berkutat dengan ekspektasi tersebut, ia akan mengabaikan tanggung jawab kerja dan mengerahkan lebih banyak energi untuk berpikiran negatif karena tidak kunjung mencapai impiannya. Alih-alih mencapai kesuksesan seperti yang didamba, kegagalan demi kegagalanlah yang ia kantongi kemudian.
Di sisi lain, sabotase diri juga dapat terjadi saat orang enggan mengambil kesempatan-kesempatan penuh tantangan yang mungkin mengubah hidupnya. Ada beberapa penjelasan yang terlampir dalam tulisan “Why We Sabotage Ourselves” di PsychCentral terkait hal ini. Alasan pertama yang lazim digunakan adalah seseorang merasa tidak layak mendapat sesuatu yang lebih baik. Lalu, ada alasan takut gagal dan pikiran-pikiran negatif lain saat berhadapan dengan kesempatan bagus.
Baca juga: Impostor Syndrome, Gejala si Cerdas yang Tak Merasa Cukup
“Mustahil untuk pandai melakukan sesuatu tanpa pernah menjajalnya pertama kali,” ujar konselor psikologi, Rosy Saenz-Sierzega, Ph.D., “Dengan mengatakan Anda tidak bisa melakukan sesuatu karena bukan jagonya, tidak hanya merupakan kebohongan, tetapi juga penghambat kesempatan untuk sukses.”
Makin sering seseorang meyakinkan dirinya bahwa ia tidak cukup cakap untuk lanjut menapaki jenjang lebih tinggi—entah karier, relasi romantis, atau studi—, makin cepat pula kegagalan dialaminya, demikian imbuh Saenz-Sierzega.
Keengganan untuk mencoba sesuatu yang memungkinkan sukses juga berhubungan dengan rasa takut yang besar dalam diri seseorang. Kerap kali orang-orang yang menyabotase diri khawatir akan penolakan atau ditertawakan sekelilingnya ketika hendak melangkah maju.
Belum lagi pikiran akan tidak nyaman berada di situasi baru yang akan dihadapi nanti. Inilah yang akhirnya membuat orang memilih bergeming saja di situasi yang lebih pasti dan mudah diprediksi dibanding menjelajah belantara kesempatan anyar.
Apa saja gejala-gejala sabotase diri yang dapat terlihat?
Menunda-nunda pekerjaan, mengkonsumsi narkotika atau alkohol berlebihan, makan sesukanya tanpa memperhatikan efek bagi kesehatan, atau melukai diri sendiri adalah beberapa contoh sabotase diri yang dijabarkan di Psychology Today. Lebih lanjut dikatakan bahwa sering kali seseorang tidak sadar tengah mendestruksi diri sendiri saat berperilaku demikian. Persis seperti kasus Beaton sebelum ia dikeluarkan oleh Vogue.
Tidak jarang, orang menunda satu pekerjaan karena ada hal-hal lain yang menjadi fokusnya. “Aku terlalu sibuk. Aku punya urusan keluarga, terlibat dalam kegiatan ini itu, dan tidak ada waktu lebih untuk menuntaskan pekerjaan ini,” demikian apologisasi yang terlontar dari seorang penyabotase diri.
Tidak melulu penundaan satu pekerjaan disebabkan tindakan bersantai atau bersenang-senang belaka. Dapat pula hal ini terjadi karena banyaknya keinginan atau ambisi yang ingin diwujudkan seseorang. Ekornya, semua pekerjaan jadi terselesaikan dengan tidak maksimal, bahkan tidak terselesaikan tepat waktu.
Menunda pekerjaan juga bisa dilakukan oleh orang-orang yang ingin serba-sempurna. Misalnya, seorang pekerja lepas yang tidak kunjung mengumpulkan pesanan ke klien. Alasan yang muncul bisa beragam seperti sedang ingin mencari inspirasi atau masih merasa butuh perbaikan untuk pekerjaannya.
Baca juga: Melawan Kebiasaan Menunda-Nunda Pekerjaan
Dalam konteks kerja, penyabotase diri juga mungkin menghambat kariernya karena ada kepongahan. Bukan hal langka ditemukan orang yang berpendidikan tinggi merasa tidak pantas mengambil pekerjaan dengan bayaran murah atau posisi pemula. Padahal, selama ia tidak mau meniti dari bawah, tangga menuju karier gemilang tidak akan pernah tersedia baginya.
Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan menarik lainnya Patresia Kirnandita