Menjual barang bekas atau second kini sudah menjadi gaya hidup.
Uniknya, barang bekas yang dijual tidak lagi terbatas pada barang-barang mewah seperti mobil, gawai, atau peralatan elektronik.
Melainkan juga barang-barang yang sifatnya lebih pribadi, seperti baju, sepatu, aksesori, hingga mainan anak dan lain-lain.
Salah satu tanda fenomena ini, bermunculan di aneka toko online, situs ataupun media sosial, kode seperti âprelovedâ atau âpre-ownedâ. Barang yang pernah disayangi, pernah dimiliki.
Mungkin sebagian dari kita langsung antusias melakukan hal yang sama. Lumayan, kan bisa mendapatkan uang hanya dengan menjual barang-barang tidak terpakai. Banyak banget di rumah.
Namun, ketika melihat ke dalam, memilah-milih, tidak satu pun benda terpilih untuk dijual. Ini sayang. Itu sayang. Celana jin sempit itu nanti pasti akan muat lagi, saya pasti akan membaca buku itu, lemari bekas itu bisa dijadikan rak buku yang unik, dan lain-lain.
Akhirnya, rumah tetap penuh dengan barang-barang tidak terpakai. Berantakan di sana-sini.
Tentu ini sangat mengganggu, bahkan pada segala aspek kehidupan. Minimal, stres karena setiap hari harus melihat rumah yang tidak rapi.
[caption id="" align="alignnone" width="780"]
Derita Psikologis Si Pengumpul Barang Bekas (Depositphotos)[/caption]
Lantas mengapa begitu sulit melepas barang-barang itu? Bukankah dengan melepas, akan sedikit berkurang kekacauan penyebab stres di rumah?
June Saruwatari, seorang pakai gaya hidup sekaligus penulis buku Behind the Clutter: Truth. Love. Meaning. Purpose. (2015), punya jawabannya.
âAnda memegang sesuatu berdasarkan harapan,â kata Saruwatari.
Anda berharap suatu hari dapat kembali langsing, dapat membaca semuanya, dapat menyelesaikan pekerjaan itu.
Namun ketika ternyata tidak, sulit bagi Anda untuk tidak merasa buruk.
âLalu butuh berapa banyak barang lagi untuk membuat Anda semakin merasa buruk? Butuh berapa banyak barang lagi sebelum itu mulai mengontrol hidup Anda?â tukasnya.
(wida/gur)