Di Balik Penolakan Pojok Dilan di GOR Saparua Bandung
Siang itu, Rabu (27/2/2019), Gelanggang Olahraga dan Rekreasi (GOR) Saparua, Bandung, Jawa Barat, masih sepi pengunjung. Biasanya pengunjung beranjak ramai menjelang sore.
Lintasan lari, panjat tebing, lapangan bulutangkis, dan arena sepatu roda mulai dijajal para pengunjung. Sementara lapangan basket belum dapat digunakan karena masih direnovasi.
Pengunjung yang didominasi muda-mudi itu lebih banyak memanfaatkan GOR Saparua untuk berolahraga. Namun ada juga yang sekedar duduk-duduk menikmati suasana GOR Saparua.
Salah satunya adalah Dani yang datang ke GOR Saparua untuk mencari inspirasi melukis. Pria 26 tahun ini tiga kali dalam seminggu rutin datang ke GOR Saparua. Aktivitas yang lebih sering dilakukan Dani adalah bermain sepatu roda.
"Semangat GOR ini kan health, leisure, and sports. Beberapa kali saya ke sini, kayak sekarang cari inspirasi buat ambil gambar. Biasanya main skate sama teman-teman komunitas," ujar Dani.
Dani sudah mendengar kabar tentang rencana Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mendirikan Pojok Dilan di GOR Saparua. Ia menyatakan keberatan karena monumen tersebut dinilai tidak relevan dengan semangat GOR Saparua.
"Masa nanti di sini pada joging, tapi pada foto-foto Dilan, jadi enggak nyambung," keluh Dani.
Selain tak relevan, Dani khawatir ruang untuk berolahraga akan menyempit.
"Penggemar Dilan banyak banget, nanti ramai. Ruang buat olahraga jadi sempit bercampur sama yang foto-foto di patung Dilan," imbuh Dani.
Hal senada juga disampaikan Ahmad, 17 tahun. Pelajar SMA ini hampir setiap hari datang ke GOR Saparua untuk joging. Daripada membangun Pojok Dilan, menurut Ahmad, pemerintah seharusnya memperbaiki fasilitas-fasilitas GOR Saparua yang rusak. Misalnya toilet yang rusak dan lapangan yang bolong-bolong.
"Itu kan lebih nyambung. Pengunjung lebih butuh itu juga," ujar Ahmad.
Monumen Mestinya Bermakna Penting
Di Bandung, monumen-monumen yang berdiri biasanya punya makna penting. Monumen Bandung Lautan Api misalnya bercerita tentang kisah heroik pejuang kemerdekaan Bandung. Monumen Sepatu Cibaduyut dibangun sebagai simbol bagi Cibaduyut yang dikenal sentra perbelanjaan sepatu. Monumen Ajat Sudrajat juga didirikan untuk menghormati para pemain Persib Bandung.Ahmad berharap monumen yang didirikan di GOR Saparua memiliki makna penting seperti monumen lainnya. Ia tak mempermasalahkan jika monumen tersebut tak sejalan dengan semangat GOR Saparua.
"Kalau Dilan, kan, ceritanya romansa anak muda. Saya baca buku dan filmnya, enggak ada budaya-budaya Sundanya," kata Ahmad.
Dani juga sependapat dengan Ahmad. Jika Pojok Dilan didirikan untuk pengembangan sastra, menurut dia banyak tokoh lain yang layak untuk dijadikan monumen. Ia menyebut salah satunya Pramoedya Ananta Toer, penulis Tetralogi Buru.
"Nanti dipelajari nilai kemanusiaan dan kenyataan dunia yang sampai sekarang cerita-ceritanya sebagian masih relevan," tandas Dani.
Alasan Ridwan Kamil
Pojok Dilan rencananya akan dibangun di satu sudut area taman yang mengarah ke Jalan Saparua. Belum ada kegiatan pembangunan di lokasi tersebut. Hanya tampak beberapa bata merah yang menjadi simbol peletakan batu pertama pembangunan Pojok Dilan.
Peletakan batu pertama sendiri dilakukan oleh Ridwan Kamil dan Menteri Parawisata Arief Yahya bersama para pemain film Dilan 1991 pada 24 Februari lalu.
Namun, rencana pembangunan Pojok Dilan ini menuai pro dan kontra. Pelbagai pihak mempertanyakan tujuan dan maksud pembuatan monumen tersebut.
Menanggapi itu, Ridwan Kamil (RK) memberikan penjelasan di akun Instagram resminya, Jumat (1/3/2019). Orang nomor satu di Jabar itu menjelaskan tujuan pembangunan Pojok Dilan untuk meningkatkan interaksi budaya literasi kalangan milenial.
"Kenapa nama Dilan? Karena Novel Dilan adalah karya literasi anak Bandung yang paling sukses menjadi Film Nasional di era milenial, lebih dari 6 juta penonton," tulis RK.
Menurut RK, capaian novel yang ditulis Pidi Baiq itu tidak dimiliki oleh karya literasi lainnya di Jawa Barat. Ia berharap pembangunan Pojok Dilan bisa mendorong lahirnya penulis-penulis lain seperti Pidi Baiq.
"Jadi bukan soal perayaan karakter si Dilan-nya yang memang pro-kontra, karena konteks gaya zaman baheula [dahulu] yang dibaca oleh konteks zaman now [sekarang]," jelasnya.
Baca juga artikel terkait DILAN 1990 atau tulisan menarik lainnya Mulia Ramdhan Fauzani