Di Balik Populernya Bahasa Mandarin di Afrika
-
El Abdoulaye Dieye percaya bahwa kemampuan berbahasa bisa membantu mewujudkan cita-cita dan kesuksesan. Maka dari itu, lelaki 25 tahun asal Dakar, Senegal, ini memutuskan untuk belajar bahasa asing. Namun, alih-alih memilih bahasa Inggris, yang notabene sudah dikenal secara internasional, Dieye justru mantap belajar bahasa Mandarin.
“Orang Cina banyak berinvestasi di Senegal, dan jalanan maupun bangunan-bangunan yang besar di negara ini didirikan oleh orang Cina,” katanya menjelaskan alasan mengapa dirinya ingin mengembangkan kemampuan berbahasa Mandarin.
Selain itu, dengan bahasa Mandarin, Dieye juga berharap akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan Cina, di samping pula bisa berperan jadi jembatan budaya antara Cina dan Senegal.
Hal yang sama turut dilakukan Amdy Kuonta, pemuda 24 tahun yang tinggal di Dakar. Ia memilih bahasa Mandarin sebagai bahasa asing yang wajib dipelajari. Meski keluarganya menganggap bahasa Mandarin adalah “bahasa yang sulit,” Kuonta tetap jalan terus dengan pilihannya.
“Pertama-tama, bahasa Mandarin begitu menakjubkan,” ujarnya, sebagaimana dilaporkan South Morning China Post. “Segala sesuatu tentang Cina nampak luar biasa bagiku. Aku suka budaya dan juga makanan mereka.”
Menyebar ke Berbagai Penjuru
Popularitas pembelajaran bahasa Mandarin telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir di hampir seluruh wilayah Afrika. Apa yang dialami Dieye dan Kuonta, dua pemuda asal Senegal, bukanlah satu-satunya contoh yang ada.
Di Kenya, misalnya, pemerintah, lewat lembaga pengembangan kurikulum pendidikan (KICD), telah sepakat memasukan bahasa Mandarin dalam proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah. Tujuannya: meningkatkan dayang saing generasi muda Kenya serta memperkuat koneksi dengan Cina.
Program ini sedianya bakal diluncurkan pada 2020. Sasarannya yaitu siswa SD (10 tahun) hingga SMA. Bahasa Mandarin akan bersanding dengan mata pelajaran bahasa asing lainnya seperti Perancis dan Arab.
“Cina telah tumbuh sebagai negara dengan kondisi perekonomian sangat kuat di dunia. Kenya akan diuntungkan apabila masyarakat di sini dapat memahami bahasa Mandarin,” kata Kepala KICD, Julius Jwan, kepada kantor berita Xinhua.
Langkah serupa turut diambil pula oleh Uganda. Kementerian Pendidikan Uganda punya rencana untuk menambahkan pelajaran bahasa Mandarin ke dalam kurikulum mereka. Sebanyak 35 SMA ditargetkan terlebih dahulu untuk uji coba. Pihak kementerian menggandeng sekitar 35 guru, yang dilatih selama sembilan bulan, guna memimpin proses pembelajaran bahasa Mandarin. Program ini mendapatkan dukungan langsung dari Cina lewat pasokan buku dan beberapa tutor.
Sedangkan kondisi di Malawi pun sami mawon. Kendati baru menjalin relasi diplomatik pada 2008, sejauh ini, bahasa Mandarin menjadi salah satu pelajaran yang banyak diminati anak-anak muda di sana. Tercatat, sekitar seribu orang telah menghadiri kelas-kelas bahasa Mandarin di empat kota yang tersebar di Malawi.
“Aku ingin belajar bahasa Mandarin karena jika aku memperoleh kesempatan untuk pergi ke sana [Cina], aku tidak sulit untuk menjalin komunikasi dengan lingkungan sekitar. Bahasa dapat jadi penghalang,” ucap Ndaziona Mponde, siswa yang belajar bahasa Mandarin di Lilongwe, ibukota Malawi.
Afrika Selatan menjadi negara pertama di Afrika yang memperkenalkan bahasa Mandarin di kurikulum pendidikan mereka, tepatnya pada 2014. Hingga saat ini, bahasa Mandarin telah dipelajari secara intensif di 44 sekolah di Afrika Selatan, bersama dengan bahasa asing lainnya: dari Jerman, Latin, sampai Urdu.
Selain muncul dari inisiatif pemangku kebijakan pendidikan di negara setempat, masifnya pembelajaran bahasa Mandarin di Afrika juga tak lepas dari peran Institut Konfusius, lembaga bahasa dan kebudayaan Cina. Lembaga ini punya ruang gerak seperti Goethe (Jerman) dan Institut Francais (Perancis), dengan fokus utama untuk meningkatkan pengaruh budaya Cina secara internasional.
Institut Konfusius dibentuk melalui kemitraan beberapa universitas di Cina, universitas negara tuan rumah, serta Kantor Internasional Dewan Bahasa Cina (Hanban), yang berada di bawah komando langsung Kementerian Pendidikan Cina. Di Afrika, Institut Konfusius pertama yang didirikan oleh pemerintah berlokasi di Universitas Nairobi, Kenya. Sejak pendirian tersebut, sampai sekarang, jumlah Institut Konfusius di Afrika sudah menyentuh angka 48—dari yang semula 0 pada 2004.
Menggandeng lembaga pendidikan di tingkat lokal, program-program yang dilakukan Institut Konfusius meliputi pelatihan bahasa Mandarin, bantuan dana untuk pengembangan infrastruktur di sejumlah kampus, hingga pemberian beasiswa bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan di Negeri Tirai Bambu.
Keberadaan institusi ini tak selamanya diterima dengan hangat oleh negara setempat. Di Amerika Serikat, contohnya, Institut Konfusius banyak dikritik karena dinilai menjadi agen propaganda pemerintah Tiongkok; dianggap memperkeruh relasi kedua negara yang sedang naik-turun. Sementara di Selandia Baru, Institut Konfusius dipandang menyebarkan paham ideologi Cina kepada anak-anak muda.
Kritik yang sama ditujukan untuk program pengembangan bahasa Mandarin. Serikat Guru Afrika Selatan menyebut program ini sebagai “imperialisme ala Cina.” Pasalnya, pemerintah rela menjual “harga diri bangsa” atas nama investasi dan kerjasama bilateral.
“Selama masa penjajahan, beberapa orang terlibat dalam praktik penjualan harga diri bangsa, itulah yang terjadi [lagi sekarang],” ungkap Sekjen Serikat Guru Afrika Selatan, Mugwena Maluleke, kepada The Guardian. “Kami akan memastikan bahwa kami akan serius melawan penjajahan seperti ini. Kami memandangnya sebagai bentuk imperialisme terburuk yang akan terjadi di Afrika.”
Kritik boleh saja bermunculan, tapi program pembelajaran bahasa Mandarin terus diberlakukan. Direktur Institut Konfusius Cabang Kenya, Fall Mamadou, menyebut bahwa program seperti ini akan mendatangkan banyak manfaat bagi generasi muda di Afrika. Di tengah kucuran modal dan bantuan dari Cina yang mengalir deras, menguasai bahasa Mandarin sama artinya dengan memperoleh keterampilan untuk bersaing di pasar kerja yang ada.
Karena Investasi dan Bantuan Asing
Terdapat alasan khusus mengapa bahasa Mandarin begitu digandrungi anak-anak muda di Afrika: investasi dan bantuan asing Cina yang begitu masif. Hadirnya One Belt One Road (sering disebut Jalur Sutra Abad 21) membuat Cina semakin gencar mengalirkan yuan terutama di wilayah-wilayah yang masuk dalam kebijakan tersebut, salah satunya ialah Afrika.
Dalam dua dekade terakhir, Cina telah menjadi mitra ekonomi terpenting Afrika. Laporan McKinsey berjudul “The Closest Look Yet at Chinese Economic Engagement in Africa” (2017) yang disusun Kartik Jayaram, Omid Kassiri, dan Irene Yuan Sun menyebut bahwa sejak pergantian milenium, angka perdagangan Afrika-Cina telah tumbuh sekitar 20 persen per tahun dan tingkat investasi melesat cepat dalam satu dekade terakhir.
Keterlibatan Cina di Afrika mencakup pembiayaan infrastruktur (pembangunan jalan, LRT, dan bendungan), manufaktur, hingga industri digital. Masih menurut laporan McKinsey, terdapat lebih dari 10 ribu perusahaan di Cina yang beroperasi di Afrika dengan 90 persen di antaranya merupakan milik pribadi. Sepertiga dari total perusahaan tersebut bergerak di bidang manufaktur dan menguasai sekitar 12 persen produksi industri di Afrika—senilai 500 miliar dolar per tahun.
Pada 2017 kemarin, Presiden Xi Jinping mengumumkan bahwa Cina akan memberikan modal sebesar 60 miliar dolar dalam bentuk kredit, hibah, pinjaman tanpa bunga dan lunak, serta pembiayaan investasi. Dana tersebut, tulis Brookings, dialokasikan untuk modal proyek kereta api di Lagos, Nigeria, pengolahan kilang minyak, serta pengembangan energi ramah lingkungan.
John F. Copper dalam bukunya China's Foreign Aid and Investment Diplomacy (2016) mengungkapkan di balik dukungan bantuan dan modal untuk negara Dunia Ketiga, termasuk Afrika, Beijing berharap dapat memperoleh sumber daya alam seperti minyak bumi demi keberlangsungan ekonomi, dan seperti negara kapitalis lainnya, Cina juga berusaha memperluas pasar untuk produknya. Semakin luas pasar yang dimiliki maka akan semakin banyak produk Cina yang dapat dijual.
Ekspansi Cina di Afrika punya dampak yang tak main-main. Proyek-proyek yang didanai Cina membuka keran lapangan pekerjaan untuk ratusan hingga jutaan orang. Selain itu, keberadaan Cina juga memungkinkan untuk terjadinya transfer keterampilan sampai teknologi. Diprediksi, pada 2025 mendatang, proyek-proyek tersebut punya kapitalisasi nilai sebesar 250 miliar dolar. Jumlah yang menggiurkan tentunya.
Inilah yang kemudian mendorong pemerintah negara-negara Afrika setempat untuk membuka kesempatan bagi masyarakatnya, terutama generasi muda, untuk belajar bahasa Mandarin. Hitung-hitungannya cukup sederhana: jika mereka bisa menguasai bahasa Mandarin, maka tak sulit untuk mendapatkan keuntungan (baca: pekerjaan) di tengah banyaknya proyek Cina di Afrika. Bahasa Mandarin, singkat kata, adalah pintu pertama menuju lahan basah yang berisikan pundi-pundi uang.
Sementara bagi Cina, banyaknya masyarakat Afrika yang menguasai bahasa Mandarin semakin menegaskan dominasi mereka di sana. Ketika bahasa Mandarin mulai dipakai dalam kehidupan sehari-hari, maka tugas Cina (untuk berkuasa) berikutnya akan lebih mudah. Ekspansi Cina di Afrika tak semata karena motif ekonomi, tapi juga keinginan untuk memperluas jangkauan budaya.
Ya, pada akhirnya ini semua berujung pada ambisi Cina untuk jadi negara adidaya.
Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani