Home
/
News
DPR Kecewa dengan Kapolri
Hukumonline25 November 2016
Bagikan :
Preview
Belakangan ini, Kapolri Jenderal Muhammad Tito Karnavian mengaitkan aksi unjuk rasa damai yang bakal digelar pada 2 Desember -dikenal dengan 212- bakal ditungangi dengan aksi makar. Pernyataan tersebut dinilai membuat kehidupan masyarakat menjadi mencekam. Oleh sebab itu, Kapolri diminta tidak serampangan mengeluarkan pernyataan tanpa data yang jelas.
Demikian diutarakan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Jazuli Juwaini, di Jakarta, Jumat (25/11). Sebagai aparat kemanan, mestinya pucuk pimpinan Polri membuat pernyataan sejuk tanpa menambahkan kegaduhan. Ia khawatir bila Kapolri salah mengambil keputusan bakal berdampak fatal. Dampaknya, stabilitas politik dan keamanan terganggu bagi perjalanan bangsa ke depan.
“Polri adalah lembaga penegak hukum, bukan lembaga politik. Tuduhan makar harus bisa diproses dan dibuktikan agar tidak menimbulkan keresahan publik. Jika tidak, tuduhan itu bisa politis dan liar serta memecah belah masyarakat,” ujarnya.(Baca Juga: Apakah Kudeta Sama dengan Makar? Ini Penjelasan Hukumnya)
Anggota Komisi I DPR itu berendapat Polri sebagai lembaga penegak hukum dan menjaga ketertiban masyarakat mesti memiliki data ketika menerbitkan pernyataan. Tak boleh mengeluarkan pernyataan hanya berdasarkan komentar di media sosial. Sebaliknya, Polri mesti membuktikan perihal adanya perbuatan makar.
Ia menyarankan agar pejabat tinggi Polri mesti dapat membedakan antara penyampaian pendapat di muka umum melalui aksi unjuk rasa dengan tindakan makar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makar adalah perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Sedangkan aksi yang digelar pada 2 Desember mendatang hanyalah gelar sajadah dengan melakukan sholat jumat berjamaah di jalan raya. Terlepas nantinya bakal ada orasi sebagai bentuk menyatakan pendapat di muka umum, hal tersebut dijamin oleh konstitusi, sepanjang tidak berbuat kericuhan dan mengganggu ketertiban umum. (Baca Juga: Isu Aksi 2 Desember: Polda Metro Jaya Keluarkan Maklumat, Begini Isinya)
“Penyampaian pendapat di muka umum jelas dilindungi Konstitusi. Saya berharap sumber intelejen akurat dan objektif agar tidak salah dalam mengambil keputusan dan langkah. Sekali lagi jangan gegabah. Kita harus jaga NKRI, kita harus jaga merah putih, kita harus jaga Pancasila dan UUD 1945,” katanya.
Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman menegaskan kekecewaanya terhadap kinerja Kapolri. Pasalnya itu tadi, lontaran pernyataan Kapolri terkesan politis. Penegak hukum mestinya membuktikan, bukan sebaliknya mengeluarkan isu yang membuat publik menjadi khawatir. “Kami sangat kecewa dengan kinerja Kapolri yang melontarkan isu sangat sangat politis,” ujarnya.
Kapolri mestinya tak serampangan tanpa data yang valid. Sekalipun mendapatkan informasi dari intelijen, toh mesti didalami informasi tersebut untuk mengetahui kebenarannya. Setelah itu, ditindaklanjuti dengan membuat pernyataan ke publik dengan berdasarkan bukti valid. Tak hanya masyarakat sipil, masyarakat ekonomi pun panik ketika bakal menanamkan modalnya di Indonesia. (Baca Juga: Jelang Rencana Aksi 2 Desember, Polri Pantau Aktivitas Medsos)
“Keberadaan Kapolri ini bukan tidak mungkin ditinjau ulang. Jangan gampang sebut makar. Masak pernyataan masyarakat di media sosial disebut makar, masak demo disebut makar” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi VIII Sodik Mudjahid menambahkan, Kapolri dinilai keterlaluan lantaran melarang warga negara yang bakal menyampaikan aspirasi terkait dorongan penegakan hukum terhadap pelaku penista agama. Para pengunjuk rasa sebagai pengawal negara kesatuan republik Indonesia, bukan sebaliknya ancaman bagi pemerintah.
“Isu makar dibesar-besarkan, padahal kata Menhan dan Panglima TNI tidak ada isu makar,” katanya.
Politisi Partai Gerindra itu berpandangan, kekuatan TNI dan Polri mestinya melawan aksi teroris dan para pelaku makar yang jelas-jelas mengancam keutuhan harmonis masyarakat. Bukan sebaliknya, melawan rakyat yang bakal menyampaikan aspirasi di muka umum. “Kalau toh benar aka nada penunggang demo, pasti itu kekuatan kecil dan atasi dengan baik oleh Polri dan TNI yang sangat kuat itu,” pungkasnya.
Demikian diutarakan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Jazuli Juwaini, di Jakarta, Jumat (25/11). Sebagai aparat kemanan, mestinya pucuk pimpinan Polri membuat pernyataan sejuk tanpa menambahkan kegaduhan. Ia khawatir bila Kapolri salah mengambil keputusan bakal berdampak fatal. Dampaknya, stabilitas politik dan keamanan terganggu bagi perjalanan bangsa ke depan.
“Polri adalah lembaga penegak hukum, bukan lembaga politik. Tuduhan makar harus bisa diproses dan dibuktikan agar tidak menimbulkan keresahan publik. Jika tidak, tuduhan itu bisa politis dan liar serta memecah belah masyarakat,” ujarnya.(Baca Juga: Apakah Kudeta Sama dengan Makar? Ini Penjelasan Hukumnya)
Anggota Komisi I DPR itu berendapat Polri sebagai lembaga penegak hukum dan menjaga ketertiban masyarakat mesti memiliki data ketika menerbitkan pernyataan. Tak boleh mengeluarkan pernyataan hanya berdasarkan komentar di media sosial. Sebaliknya, Polri mesti membuktikan perihal adanya perbuatan makar.
Ia menyarankan agar pejabat tinggi Polri mesti dapat membedakan antara penyampaian pendapat di muka umum melalui aksi unjuk rasa dengan tindakan makar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makar adalah perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Sedangkan aksi yang digelar pada 2 Desember mendatang hanyalah gelar sajadah dengan melakukan sholat jumat berjamaah di jalan raya. Terlepas nantinya bakal ada orasi sebagai bentuk menyatakan pendapat di muka umum, hal tersebut dijamin oleh konstitusi, sepanjang tidak berbuat kericuhan dan mengganggu ketertiban umum. (Baca Juga: Isu Aksi 2 Desember: Polda Metro Jaya Keluarkan Maklumat, Begini Isinya)
“Penyampaian pendapat di muka umum jelas dilindungi Konstitusi. Saya berharap sumber intelejen akurat dan objektif agar tidak salah dalam mengambil keputusan dan langkah. Sekali lagi jangan gegabah. Kita harus jaga NKRI, kita harus jaga merah putih, kita harus jaga Pancasila dan UUD 1945,” katanya.
Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman menegaskan kekecewaanya terhadap kinerja Kapolri. Pasalnya itu tadi, lontaran pernyataan Kapolri terkesan politis. Penegak hukum mestinya membuktikan, bukan sebaliknya mengeluarkan isu yang membuat publik menjadi khawatir. “Kami sangat kecewa dengan kinerja Kapolri yang melontarkan isu sangat sangat politis,” ujarnya.
Kapolri mestinya tak serampangan tanpa data yang valid. Sekalipun mendapatkan informasi dari intelijen, toh mesti didalami informasi tersebut untuk mengetahui kebenarannya. Setelah itu, ditindaklanjuti dengan membuat pernyataan ke publik dengan berdasarkan bukti valid. Tak hanya masyarakat sipil, masyarakat ekonomi pun panik ketika bakal menanamkan modalnya di Indonesia. (Baca Juga: Jelang Rencana Aksi 2 Desember, Polri Pantau Aktivitas Medsos)
“Keberadaan Kapolri ini bukan tidak mungkin ditinjau ulang. Jangan gampang sebut makar. Masak pernyataan masyarakat di media sosial disebut makar, masak demo disebut makar” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi VIII Sodik Mudjahid menambahkan, Kapolri dinilai keterlaluan lantaran melarang warga negara yang bakal menyampaikan aspirasi terkait dorongan penegakan hukum terhadap pelaku penista agama. Para pengunjuk rasa sebagai pengawal negara kesatuan republik Indonesia, bukan sebaliknya ancaman bagi pemerintah.
“Isu makar dibesar-besarkan, padahal kata Menhan dan Panglima TNI tidak ada isu makar,” katanya.
Politisi Partai Gerindra itu berpandangan, kekuatan TNI dan Polri mestinya melawan aksi teroris dan para pelaku makar yang jelas-jelas mengancam keutuhan harmonis masyarakat. Bukan sebaliknya, melawan rakyat yang bakal menyampaikan aspirasi di muka umum. “Kalau toh benar aka nada penunggang demo, pasti itu kekuatan kecil dan atasi dengan baik oleh Polri dan TNI yang sangat kuat itu,” pungkasnya.
Sponsored
Review
Related Article