Home
/
News

Eksploitasi Kerja di Pabrik Es Krim Aice, Sponsor Asian Games 2018

Eksploitasi Kerja di Pabrik Es Krim Aice, Sponsor Asian Games 2018

Felix Nathaniel & Dieqy Hasbi Widhana04 December 2017
Bagikan :

PT Alpen Food Industry menjadi salah satu jantung pagelaran olahraga antar cabang yang mempertaruhkan kredibilitas Indonesia. Es krim Aice, nama produk PT AFI, terpampang sebagai sponsor Asian Games 2018. Di sisi lain, PT AFI mengalirkan es krim Aice ke 106 daerah di Indonesia, salah satunya ke minimarket OK OCE daerah Cikajang, Jakarta Selatan. Padahal PT AFI diduga melanggar hukum karena menghargai hak buruh dengan murah.

Gusti, yang bekerja di bagian logistik, adalah salah satu dari 644 buruh PT AFI yang perlahan memeriksa pelanggaran hukum perusahaan. Semula para buruh tak pernah menyadari hal ini sejak mereka direkrut.

Awalnya Gusti tergiur ditawari oleh rekannya untuk bekerja di PT AFI. Ia menyiapkan surat lamaran dan surat keterangan catatan kepolisian. Tak sampai 24 jam, ia menerima panggilan telepon dari PT AFI untuk wawancara. Usai wawancara selama hanya 5 menit, ia disuruh datang ke pabrik PT AFI di kawasan industri MM2100, Cibitung, Bekasi.

Gusti bekerja tanpa kontrak, dan langsung diminta ke bagian kualitas produk. Hari-hari berikutnya tenaga Gusti diperas oleh PT AFI. Ia hanya mendapatkan libur sehari setiap tiga minggu. Gajinya di bawah upah minimum Kabupaten Bekasi tahun 2016, yakni Rp2,7 juta dari seharusnya Rp3,3 juta.

Saat itu ia mulai mengorganisir buruh untuk sekadar bertanya soal hak pekerja. Ia lantas mampu membangun relasi senasib sepengalaman dengan 440 buruh lain. Tapi, perusahaan memutus kontrak kerjanya pada Maret 2017. Pola PHK terhadap Gusti pun janggal: ia tak diberitahu minimal tujuh hari sebelum masa kontrak berakhir.

Dalam aturan hukum perburuhan di Indonesia, Gusti seharusnya jadi pegawai tetap karena ia telah bekerja 25 hari dalam sebulan selama tiga bulan berturut-turut. 

Cara instan Gusti bekerja di PT AFI lewat rekomendasi teman hanyalah satu contoh kecil. Pola umum: PT AFI memakai perusahaan jasa outsourcing yang berpusat di Tangerang bernama PT Mandiri Putra Bangsa. Setelah bekerja beberapa bulan untuk menjalani masa percobaan, para buruh ini diberi status kontrak sebagai pekerja tidak tetap atau dikenal dalam istilah hukum di Indonesia sebagai 'perjanjian kerja waktu tertentu' selama setahun.

Seleksi buruh melalui tes tertulis dengan meminjam ruang kelas SMP atau SMK dan semacamnya. Prosesnya pun bisa sehari kelar. Esoknya, mereka menerima pengumuman untuk datang ke PT AFI dan berikutnya langsung bekerja. 

Bagi yang masuk lewat PT Mandiri Putra Bangsa, seleksi digelar di Tangerang. Sepenuturan beberapa buruh, tak ada tes kesehatan saat seleksi. Untuk beberapa kasus, perusahaan outsourcing itu mensyaratkan buruh memberikan ijazah supaya mendapatkan kunci loker saat di pabrik PT AFI.

Naim, salah satunya. Pria berusia 30 tahun di bagian mixing ini adalah salah satu buruh terlama di PT AFI. Ia diterima sejak Juni 2014 melalui jalur PT Mandiri Putra Bangsa. Masalahnya juga serupa dengan Gusti: ia bekerja tanpa kontrak resmi sejak akhir 2016.

Sampai Oktober 2016, Naim bekerja dengan status buruh tak tetap. Pada Oktober 2017, kontraknya diputus. Namun, ia masih bekerja seperti biasa, di bagian pengaduk campuran es krim. Ia juga tetap menerima upah saban bulan, meski statusnya ambigu.

Apa yang dialami Naim bertentangan dengan aturan hukum ketenagakerjaan tahun 2003. Salah satu pasal dalam regulasi ini menyebutkan bahwa "perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap." Pendeknya, sistem buruh kontrak PT AFI lewat perusahaan outsourcing PT Mandiri Putra Bangsa telah menyalahi regulasi; dan tidak sepatutnya mengombang-ambingkan status kerja buruh.

Dikontrak Berkali-kali

PT AFI juga menyalahi sistem kontrak ketika ada sekitar 16 buruh yang dikontrak lebih dari 3 kali ditambah 56 buruh yang diperpanjang pada kontrak ketiga tanpa 30 hari jeda. Masih berdasarkan regulasi ketenagakerjaan di Indonesia, kontrak terhadap para buruh Aice ini hanya bisa disepakati paling lama 2 tahun dan diperpanjang 1 kali dengan waktu perpanjangan paling lama setahun. Perpanjangan ini harus diberitahukan paling lama 7 hari secara tertulis, tapi perusahaan abai atas ketentuan ini.

Padahal, bila patuh terhadap regulasi perburuhan di Indonesia, perusahaan dengan model investasi asing ini secara hukum terikat untuk mengangkat para buruh kontrak yang melampaui tempo sebagai "karyawan tetap".  

Kondisi kontrak buruh saat rekrutmen tahun 2017 lebih parah. Bukan hanya tanpa tanpa kontrak karyawan, buruh yang diterima harus menandatangani surat pernyataan. Pernyataan ini memuat perjanjian bahwa buruh bersedia dikontrak selama dua bulan dan tidak boleh keluar sampai waktu kerjanya kelar. Ijazah asli juga harus diberikan sebagai jaminan—kata lain "ditahan"—oleh PT AFI.

Hak buruh dalam surat pernyataan tahun 2017 itu pun digerus. Buruh tak diberikan hak-haknya seperti BPJS Ketenagakerjaan ataupun BPJS Kesehatan. Mereka bahkan harus menyatakan diri tidak akan meminta izin kerja dalam kondisi apa pun alasannya.

Poin pernyataan, “Bersedia untuk masuk terus tanpa izin apa pun alasannya” telah memapras hak cuti haid ataupun cuti melahirkan. Kejadian ini menimpa Ida yang hamil 7 bulan.

Ida, yang mengandung anak pertama, takut buah hatinya terpapar gas amonia di bagian produksi dan bisa merusak janin. Ia lantas memohon pindah dari bagian produksi. Bukannya dipindah, atau diberi cuti hamil, perusahaan tetap mempertahankannya di bagian produksi. Perusahaan berkata bahwa “di sini enggak ada pembedaan antara yang hamil dan yang enggak hamil,” kisah Ida.  

Jangankan cuti hamil, izin sakit pun harus ditebus sendiri oleh buruh. Jika mereka izin sakit, mereka harus mengambil jatah lembur untuk menggantikan jam kerja. Jika tidak, penghasilan mereka per bulan dipotong sesuai jumlah absen hari kerja.

Kerja Tak Teratur demi Perusahaan yang Makmur

Apa pun dilakukan oleh manajemen PT Alpen Food Industry. Para buruh tak cuma memproduksi 1,8 juta batang es krim per hari, tetapi tenaga mereka juga diperas untuk melakukan kerja di luar tanggung jawabnya.

Selain dibayar dengan upah murah (meski perusahaan memakai dalih bahwa status buruh dalam masa training), PT AFI harus menjawab sejumlah pelanggaran lain. Saat perusahaan memperluas areal pabrik, pada Oktober 2014 hingga Mei 2015, para buruh diminta bekerja tambahan sebagai kuli bangunan, dari angkat batu, mengaduk semen, hingga menjebol tembok. Mereka dibayar Rp50 ribu per hari.

Jam kerja buruh pun menyalahi regulasi. Perusahaan menerapkan tiga shift pekerjaan. Jam 7 sampai jam 3 sore, jam 3 sore sampai 12 malam, dan jam 11 malam sampai jam 7 pagi. Mesin produksi bekerja terus selama 24 jam, dan buruh yang mendapatkan jadwal kerja hanya diberi 1 jam rehat setiap hari.

Jam kerja 7 jam sepintas wajar belaka, tapi yang menjadi masalah adalah penghitungan hari kerja. Tak ada hari libur atau bahkan hitungan lembur di hari Sabtu dan Minggu. Dalam sebulan, para buruh es krim Aice dipaksa masuk berturut-turut selama 25 hari. Sisanya baru mendapatkan jatah lembur.

Jika dihitung, buruh Aice bekerja selama 49 jam per minggu. Ini diperparah dengan biaya lembur yang mengabaikan kesepakatan. Tiap lembur, buruh dijanjikan Rp20 ribu per jam, tapi mereka hanya menerima upah lembur Rp10 ribu per jam.

Infografik HL Indepth Aice
Preview

Bantahan dari Perusahaan Outsourcing dan Induk PT AFI

Direktur perusahaan outsourcing PT Mandiri Putra Bangsa, Maria Margaretha, mengklaim ada 80-an buruh yang diterimanya saat PT Alpen Food Industry berdiri. Ia berdalih, saat itu, PT AFI belum bisa membuat kontrak dengan buruh secara langsung karena baru saja terbentuk. Untuk itulah PT MPB diperlukan.

Perusahaan berusaha keras menampik beberapa kontrak yang dianggap bermasalah. Margaretha menerangkan pada awal buruh menyandang status kontrak, tunjangan belum diberikan karena "wajar" sebab PT AFI adalah perusahaan baru sehingga "tidak ada sumber dana yang cukup" untuk membiayainya. PT Mandiri Putra Bangsa tak lagi punya ikatan kerja dengan PT AFI sejak September 2017 sebagai penyedia tenaga buruh kontrak.

Berdasarkan keterangan Maria, PT AFI dibentuk pada 2012. Sedangkan pada 2013 dan 2014, perusahaan "merumahkan" para pekerjanya.

Anehnya, ada slip gaji yang dibayarkan kepada buruh kontrak pada 2014, salah satunya adalah Naim. 

Satu kesamaan antara keterangan buruh dan Margaretha, pada 2015, PT Alpen kembali beraktivitas. Ia mengklaim saat itu "kontrak dengan buruh sudah ditangani seutuhnya" oleh PT Alpen Food Industry. Kenyataannya, ada kontrak pada 2015 yang mengatasnamakan Margaretha sebagai direktur PT MPB untuk menyediakan buruh ke PT AFI.

Soal adanya perpanjangan kontrak yang lebih dari tiga atau empat kali, Margaretha menyanggahnya. Alasannya, karena PT AFI kembali beroperasi pada 2015, kontrak saat itu "sepenuhnya baru." Maka, menurutnya, dari 2015 hingga 2017, tak ada satu pun buruh yang bekerja lebih dari tiga tahun karena kontrak terhitung baru dua tahun berselang. Kontrak 2014 dianggap tidak ada.

PT AFI tak menjawab dengan jelas soal status buruh kontrak dan kasus-kasus buruh yang kerjanya diputus sepihak. Dalam surat elektronik dari bagian Aice Group Holdings Pte. Ltd.—induk PT Alpen Food Industry—Sylvana Zhong Xin Yun hanya menjawab 6 poin dari 19 pertanyaan redaksi Tirto

“Dapat kami sampaikan bahwa masalah-masalah kepegawaian yang tengah dihadapi PT AFI masih berada di tahap mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi. Kami akan memberikan pernyataan khusus terkait permasalahan kepegawaian yang dihadapi PT AFI apabila proses mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi telah selesai,” tulisnya.

Serikat Buruh Terbentuk, Perusahaan (Sempat) Terketuk

Pelanggaran-pelanggaran ini membulatkan tekad buruh PT AFI membentuk serikat buruh bernama Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia pada Agustus 2017. Kehadirannya sempat menghadirkan beberapa perubahan.

Pada September 2017,  jam kerja sudah mulai berubah. Buruh yang semula bekerja 49 jam seminggu kini hanya 42 jam seminggu. Mereka masuk selama 6 hari seminggu dengan jam kerja selama 7 jam setiap hari, dan mereka libur pada hari Minggu.

Perusahaan, tanpa ada tuntutan dari buruh, memberikan tunjangan berupa uang makan Rp15 ribu dan uang transportasi Rp5 ribu setiap hari. Tidak hanya itu, perusahaan memberikan tunjangan shift sebesar Rp 5 ribu untuk mereka yang kebagian jatah masuk siang atau malam.

Sedangkan untuk cuti hamil, perusahaan masih bergeming. Perusahaan tetap enggan memberikan jatah cuti.

“Bukan dikasih cuti, tapi malah disuruh resign,” kata salah satu buruh di mixing PT AFI, Dimas.

Gusti, yang bekerja lewat jalur rekomendasi teman dan mulai mempertanyakan kondisi kerja, mulai bersikap kritis. Mobilisasi buruh Aice mulai digagas setelah beberapa kawan Gusti di bagian kualitas kontrol produksi dipecat sepihak. Gusti dan kelima teman kerjanya menuntut hak upah lembur yang layak. Perusahaan setuju, tapi ia dan yang lain harus terus kerja tanpa libur.

Perusahaan lantas menuduh 5 kawan kerjanya membolos, dan mengeluarkan surat peringatan maksimal. “Kami mau nuntut, tapi enggak kuat,” ujar Gusti. 

Dari sanalah Gusti membangun komunikasi dengan serikat buruh yang lain di Bekasi. Pelan dan pasti sejumlah buruh dari departemen produksi, mixing, dan logistik bergabung untuk menyuarakan solidaritas dan tuntutan yang sama: perusahaan pembuat es krim Aice harus mematuhi regulasi, serta menjamin keselamatan dan kesehatan kerja. Buruh melakukan mogok hingga demonstrasi di Kemenpora, kementerian yang mengurusi ajang Asian Games 2018, yang disponsori secara resmi oleh es krim Aice,.
 
Namun, Gusti harus menanggung risiko. Sesudah kontraknya habis pada 3 Agustus 2017, manajemen PT AFI memanggilnya, dan memintanya hengkang hari itu juga. Gusti menilai perusahaan memutus kontrak kerjanya karena ia terlibat sebagai salah satu perintis serikat buruh di PT AFI.
Baca juga artikel terkait AICE atau tulisan menarik lainnya Felix Nathaniel

Tags:
populerRelated Article