Emak-Emak Vs Ibu Bangsa, Mengapa Istilah Jadi Masalah?
“Kami tidak mau kalau kita perempuan-perempuan Indonesia yang sudah mempunyai konsep ibu bangsa sejak tahun 1935 sebelum kemerdekaan kalau dibilang emak-emak. Kami tidak setuju. Tidak ada ‘the power of emak-emak’, yang ada ‘the power of ibu bangsa’.”
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianti Wiyogo saat menyampaikan laporan pada upacara pembukaan resmi Sidang Umum ke-35 International Council of Women (ICW) dan Temu Nasional 1.000 Organisasi Perempuan Indonesia. Dibalut kebaya merah, Giwo berbicara dengan mantap di hadapan 2.050 tamu undangan yang datang pada acara yang diadakan di Yogyakarta, Jumat (14/9/2018) itu. Ucapannya kemudian disambut tepuk tangan dari hadirin.
Giwo pun menjelaskan alasan mengapa Kowani lebih memilih istilah ibu bangsa dibandingkan emak-emak di kesempatan lain. Seperti dilaporkan Kompas, Giwo mengatakan bahwa kata emak-emak menimbulkan kesan tak enak juga bernada humor. Hal ini ia sampaikan seusai dirinya menutup ICW pada Rabu (19/9/2018).
“Emak-emak kesannya melecehkan, istilah itu hanya candaan, humor, nuansa populer, kita enggak bisa sebagai perempuan dilecehkan,” seperti dikutip Kompas.
Giwo lalu menjelaskan bahwa istilah emak-emak juga bisa berpotensi mengotak-ngotakkan sebab ada berbagai macam istilah untuk menyebut sosok ibu di Indonesia. Sementara itu, istilah ibu bangsa mengacu pada konsep yang dicetuskan oleh para perempuan dari seluruh Indonesia yang hadir pada Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935.
“Kita, kan, nusantara, sedangkan Kowani itu organisasi federasi. Kalau kita mengiyakan emak-emak, bagaimana dengan yang lain? Yang Sunda, yang Sumatera. Kalau emak-emak kan daerah Betawi,” katanya saat dihubungi Tirto pada Senin (24/9/2018).
Julia Suryakusuma: Yang Penting Substansi
Pernyataan Giwo tersebut lantas menuai kritik, salah satunya dari aktivis gender Julia Suryakusuma. Lewat tulisan yang terbit di The Jakarta Post, ia mengatakan bahwa istilah emak-emak tak perlu dipandang secara negatif sebab kata tersebut juga bisa mengingatkan akan sosok perempuan pemberani yang hangat dan berhati baik.Lebih lanjut, Julia menegaskan bahwa aspek substansi lebih penting daripada label. Makanya, penggunaan istilah “power of emak-emak” pun tak keliru selama terminologi itu digunakan untuk memberdayakan kaum perempuan.
Ia pun mencontohkan gerakan trans-nasional SlutWalks yang menolak persepsi bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terjadi karena cara perempuan berpakaian.
“Masih ingat ‘SlutWalks’? Gerakan ini terbentuk di Toronto, Kanada ketika seorang polisi berkata,’perempuan seharusnya tak berpakaian seperti sluts’ agar tak diserang secara seksual. Dan, coba tebak? Perempuan memakai dan memberdayakan kata ini sehingga menjadi viral dan membuat gerakan itu ada di banyak negara, termasuk Indonesia,” katanya.
Pendapat Lain: Dua-duanya Bias Kelas
Di sisi lain, aktivis perempuan dan peneliti feminis Ruth Indiah Rahayu memiliki pandangan bahwa baik istilah emak-emak maupun ibu bangsa sama-sama mengandung bias terhadap kelas sosial. Hal ini dikarenakan pihak yang melontarkan kedua istilah tersebut adalah perempuan yang berasal dari kelas borjuasi atau menengah ke atas.
Ia mengatakan bahwa para politisi perempuan menggunakan sebutan emak-emak untuk menyebut perempuan kelas bawah. Dalam hal ini, emak-emak dijadikan objek yang akan disasar oleh program politik politisi tersebut.
“Konteksnya kan kemudian bagi yang mengeluarkan istilah emak-emak itu ditujukan kepada perempuan kelas bawah. Dan yang mengatakan ini perempuan kelas borjuasi. Bukan menyebut dirinya emak-emak tapi terutama peruntukan kalau mau jadi politisi maka akan memperjuangkan nasib emak-emak ini,” katanya.
Kowani, lanjut Ruth, ingin menentang istilah ini dengan terminologi ibu. Namun, sebutan ibu pun erat kaitannya dengan kelas sosial priyayi yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan emak.
“Ibu ini kan juga punya satu muatan ideologis kalau kita lihat jaman Orde Baru bahkan sebelumnya tentang para priyayi. Kan dalam masyarakat kita ini emak dan ibu sangat dibedakan, ada muatan ideologisnya, emak lebih kelas bawah sedangkan ibu adalah kelas priyayi atau borjuasi atau kelas menengah,” jelasnya.
Alih-alih menggunakan kedua istilah tersebut, Ruth menjelaskan bahwa ia lebih memilih untuk memakai sebutan perempuan. Terminologi ini dinilai pas untuk digunakan sebab tak membedakan kelas sosial serta status perempuan seperti apakah ia lajang atau sudah berkeluarga.
Serupa dengan Ruth, koordinator program organisasi feminis Solidaritas Perempuan, Dinda Nuurannisaa, juga mengatakan bahwa penggunaan kata perempuan dianggap lebih cocok dibandingkan pemakaian istilah emak-emak atau ibu bangsa. Hal ini dikarenakan kedua sebutan tersebut mempunyai kuasa simbolik yang membatasi peran perempuan.
“Peran perempuan ini dibatasi, kesannya yang punya kekuatan atau kontribusi terhadap bangsa ini ya cuma ibu. Ini lagi-lagi melanggengkan pelekatan peran bahwa jadi perempuan itu harus menjadi ibu yang biasanya menikah, punya anak, dan sebagainya. Padahal ada banyak sekali peran yang dilakukan perempuan dan sebenarnya peran merawat anak dan keluarga juga bukan [hanya] perempuan tapi juga laki-laki,” katanya.
Remy Sylado: Emak-Emak Punya Konotasi Negatif
Adanya adu argumen soal istilah terkait perempuan tak terjadi pada saat ini saja. Ahli bahasa Remy Sylado menjelaskan kepada Tirto bahwa dalam sebutan ibu bangsa dan emak-emak, Remy mengatakan bahwa kata “emak” jika diulang menjadi “emak-emak” memang mengandung konotasi negatif.
“Memang di mana-mana kita orang Indonesia memanggil ibu itu emak. Itu lazim, di kampung-kampung kita panggil ibu kita itu emak. Tapi kalau sudah menyebut emak-emak, itu memang konotasinya agak jelek, agak merendahkan. Jadi dianggap ibu-ibu desa yang enggak terpelajar, itu kalau menyebut emak-emak,” jelasnya.
Gara-gara alasan tersebut, Remy menilai bahwa wajar jika Kowani menyatakan keberatan akan istilah emak-emak yang dianggap melecehkan. Hal ini, menurutnya, serupa dengan penolakan ibu dari Batak yang tak tak suka dipanggil inang-inang sebab berkonotasi negatif.
“Sama seperti bahasa Batak kalau menyebut inang itu ibu, tapi kalau inang-inang itu jadinya jelek. Makanya tahun 80-an ada teman wartawan dia tulis tentang inang-inang, marah itu ibu-ibu itu karena dianggap melecehkan,” ujarnya.
Baca juga artikel terkait EMAK-EMAK atau tulisan menarik lainnya Nindias Nur Khalika