icon-category News

Endang Irawan, Driver GO-JEK yang Bekerja untuk Hidupi 126 Santri

  • 06 Jan 2018 WIB
Bagikan :

Penampilannya yang sederhana seringkali membuat orang tak menyangka, Endang Irawan adalah pemilik sebuah Pondok Pesantren Nurul Iman khusus hafalan Alquran di Gunung Putri, Bogor. Tidak ada yang spesial, namun Endang tampak lebih bangga mengenakan jaket GO-JEK daripada tampil dengan pakaian ala pemuka agama.

“Saya sedang belajar ilmu agar tak dikenal orang. Selain itu, bagaimanapun juga, GO-JEK ini juga lah yang berjasa ikut membesarkan pondok saya,” jelas Endang di Kantor GO-JEK, Pasaraya Blok M, Jakarta Selatan, Rabu (3/1).

Sebelum bergabung di GO-JEK, awalnya Endang bekerja sebagai mekanik elektrik khusus wilayah luar Pulau Jawa. Hampir semua pulau besar di Indonesia pernah ia datangi untuk mengais nafkah, tak hanya untuk keluarga namun juga untuk 126 orang santrinya.

Sebagai mekanik elektrik, biasanya Endang butuh waktu sekitar 8 bulan lamanya baru bisa pulang. Hal tersebut, cukup menyulitkan baginya. Bukan karena rindu, namun lebih karena ia merasa punya tanggung jawab untuk mengawasi para anak didiknya secara rutin.

“Kalau di GO-JEK, saya nyaman. Kenapa? Karena saya punya anak didik asuh yang perlu pengontrolan yang penuh. Kalau dulu saya bisa 8-6 bulan bekerja (di luar Jawa) paling lewat telepon. Kalau sekarang bisa bolak-balik kapan saja,” ungkapnya.

Pondok pesantren tersebut sebenarnya sudah berdiri sejak 12 tahun yang lalu. Namun, Endang mengakui, sejak bergabung dengan GO-JEK, ia baru bisa lebih fokus untuk mengurusnya.

Hal tersebut rupanya tidak sia-sia. Kini, pondok yang menampung santri dengan usia 12-24 tahun ini bahkan berhasil mencetak penghafal Alquran tingkat provinsi.

“Tentunya, menghafal 30 juz kan tidak mudah,” ujarnya bangga.

Dengan tanggung jawab yang begitu besar, Endang selalu meminta didoakan agar selalu sehat. Sebab, jika ia sakit, ia khawatir dengan nasib para anak-anaknya.

“Nanti yang biasanya makan telur, jadi makan genjer. Karena saya ini non-yayasan. Jadi independen pendanaannya,” ucap Endang.

Selain itu, tidak semua santri di tempatnya dipungut biaya jika ingin belajar di pondoknya. Endang mengaku, khusus anak driver GO-JEK yang yatim atau tidak mampu dan ingin belajar, ia akan menanggung semua biaya pondoknya termasuk makan dan kebutuhan sehari-hari.

“Lalu yang kedua adalah fakir, fakir itu dia ada penghasilan tapi tidak memenuhi. Itu saya lihat kondisi, kadang saya tidak ambil biaya. Begitu pula yang miskin, atau penghasilannya tidak menentu,” jelasnya.

Selain itu, ia juga memberikan uang saku kepada para santri sebesar Rp 5 ribu. Sebab, para santri ini sebenarnya juga dilarang untuk keluar dari pondok tanpa izin.

“Makanya kalau saya datang, tukang jajanan pasti habis. Tukang bakso, di sana satu mangkok masih Rp 2 ribu, masuk gerobak pulangnya kosong. Bakwan juga, pokoknya kalau saya datang tukang-tukang dagang pasti udah bolak-balik,” ucapnya sambil tertawa kecil.

Selain masalah waktu yang lebih fleksibel, Endang mengaku setelah bergabung dengan GO-JEK ia bertemu dengan rekan sesama driver GO-JEK dan bahkan customer yang peduli. Meski, awalnya banyak yang tidak percaya karena penampilan Endang jauh dari kesan ustad.

“Orang tidak ada yang menyangka saya ketua pembina pondok pesantren. Tapi kalau saudara-saudara ke sana, melihat santri cium tangan sama saya, baru percaya,” katanya.

Setiap harinya, penghasilan yang ia dapatkan dari menjadi driver GO-JEK selalu ia bagi menjadi empat. Sebagian untuk menghidupi santri-santrinya, untuk keluarga, membayar kontrakan dan satu lagi untuk diri sendiri.

“Selalu saya bagi. Kan saya juga punya keluarga, punya anak yang saya sekolahkan di pondok pesantren di luar kota, dan rumah saya masih ngontrak. Belum untuk saya, untuk beli bensin, service motor dan lainnya,” jelas Endang.

Namun menurutnya, kebutuhan yang begitu besar tersebut tidak lah sulit untuk dipenuhi. Sebab, ia percaya rezeki dari Tuhan memang tidak akan pernah salah.

“Memang tidak masuk di akal. Tapi memang begitu adanya. Padahal motor saya sudah dari tahun 2002, tapi mengapa customer selalu bilang bapaknya oke, bapaknya mantep, dan berikan uang tip? Ngobrol di jalan juga kadang enggak. Nah, itu makanya kadang-kadang rezeki memang beda-beda,” ungkapnya.

Selain itu, Endang mengaku memang tidak pernah memilih orderan. Semua orderan yang masuk selalu ia ambil. Sebab, Endang selalu teringat, ia punya ratusan perut yang harus diberi makan dan dicukupi kebutuhannya.

“Bahkan hingga pembalut dan obat-obatan juga saya yang beli. Karena kan pondok ini adanya di atas gunung, jadinya kasihan kalau mereka sakit atau apa harus turun gunung sendiri,” jelasnya.

Setiap harinya, Endang mulai keluar mencari orderan setelah salat subuh dan baru pulang sekitar pukul 8 malam atau ketika sudah merasa kurang enak badan. Endang juga mengaku, selama ia masih bisa, ia tidak akan keluar dari GO-JEK.

“Bahkan seandainya saya putus mitra, saya tetap tidak akan beralih ke aplikasi lain. Saya akan tetap di GO-JEK,” ujar Endang.

Sebab, Endang mengaku ia dibesarkan dari GO-JEK, termasuk soal pondok pesantrennya. Bahkan, menurutnya, berkat GO-JEK lah kini pondok pesantrennya bisa dikenal luas.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Tags : Gojek 

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini