icon-category Digilife

Era Industri Musik Indonesia, Mulai Kaset Sampai Platform Digital

  • 11 Oct 2020 WIB
Bagikan :

Gud Fest (Foto: Tomi Tresnady / Uzone.id)

Uzone.id - Pemerhati musik, Taufiq Rachman, mengatakan jika kondisi industri musik di Indonesia sekarang ini berada di fase transisi. Dalam arti, transisi ke arah yang kita belum tahu bentuknya seperti apa.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Taufiq, di dekade 1950-an musik yang populer di Indonesia diperdagangkan dan dipopulerkan dalam bentuk dagangan.

“Ada musik direkam, terus dirilis dalam format dulu kebanyakan kaset ya kalau di Indonesia, sebelumnya kan piringan hitam (vinyl) tapi tidak terlalu luas, kaset terus kemudian akhir 90-an jadi CD, terus mungkin 2010 itu masih CD ya,” kata Taufiq yang juga pemilik label Elevation Record ini.

Kaset dan CD merupakan produk lama. Sekarang orang tidak mendengarkan musik melalui media tersebut karena tergulung layanan streaming, salah satunya YouTube.

Kalau mendengarkan musik sudah pindah semua ke internet, kata Taufiq, itu artinya volumenya harus besar karena ekonomi internet harus sampai ke volume yang besar. Baru setelah itu bisa mendapatkan uang.

“Karena monetisasinya kan kecil,” ungkap dia.

Taufiq menggambarkan kondisi dahulu ketika kaset masih jadi andalan jualan lagu, untuk 200 ribu kaset yang terjual di Indonesia sudah bisa membuat musisi kaya, atau jual CD sampai 300 ribu keping sudah bisa bikin tur keliling Indonesia.

BACA JUGA: Uzone Talks Akan Mengulas Kondisi Industri Musik Indonesia

“Dulu Sheila On 7 itu (menjual) 1,5 juta (kopi) ya, itu bahkan Sony Music bisa bikin label tambahan, terus memberangkatkan artisnya rekaman di luar negeri. Nah, itu hal yang tidak akan terjadi lagi,” cerita dia.

Itu artinya bisnis model lama sudah ditinggalkan. Tapi bisnis model yang baru belum juga ditemukan, dalam artian masih meraba-raba dan terus berubah seiring dengan perubahan di industri musik yang berbasiskan internet.

Dia lalu mengatakan, sekarang matriks ketika video diputar di YouTube beberapa juta kali atau di layanan streaming berapa ratus ribu kali diputar, di internet itu skalanya besar sehingga untuk mendapat nilai yang besar angka nilainya harus jutaan atau berapa juta kali dilihat atau berapa juta diputar secara streaming.

“Kalau misalnya seperti saya tulis di buku 'Pop Kosong Berbunyi Nyaring' itu kan ya saya pengalaman langsung, saya punya label kemudian beberapa artis itu kemudian saya pasang di layanan streaming lah. Saya gak pernah dapat uang di situ karena paling cuma diputar seribu, 1.200 (kali) gitu, itu gak ada uangnya,” tutur Taufiq.

Artinya, imbuh Taufiq, untuk mendapatkan ratusan dolar saja harus diputar jutaan kali. Sehingga artis-artis indie dengan basis massa yang kecil, akan berat untuk mengandalkan pemasukan dari streaming atau video yang diputar di YouTube.

Jadi, Taufiq bisa mengatakan bahwa layanan streaming itu cuma menguntungkan nama musisi yang sudah besar saja. Untuk musisi yang berada di bawah hingga menengah susah untuk mendapatkan batas keuntungan untuk mendapatkan uang.

Taufiq juga berbagi cerita ketika musisi ingin menjual musiknya lewat layanan streaming, salah satunya Spotify, tidak memberikan keuntungan secara finansial untuk label kecil.

“Kalau label kecil kayak saya dulu itu kan harus lewat agregator nih. Jadi kayak lewat calo, perantara yang mengagregat musik-musik, katakanlah band-band kecil seperti punya saya kan langsung masuk gak bisa,” kata Taufik.

Dia menambahkan, agregator mengumpulkan dari label-label yang lain. Jadi, bayangkan kalau langsung jualan lagu lewat streaming akan kecil didapat, apalagi sekarang lewat agregator, di mana agregator memotong keuntungan beberapa persen.

Lalu, bagaimana dengan layanan RBT (Ring Back Tone) / NSP (Nada Sambung Pribadi) yang sempat berjaya di Indonesia sebelum tahun 2010?

Setahu Taufiq, musik dijual oleh label ke layanan penyedia telko. Jadi, prosesnya itu sama seperti sekarang, label menjual musik lewat layanan streaming.

“Jadi, RBT dirasa bisa mengirim dengan cepat ke masyarakat, bukan ke pengguna musik. Tapi gak bertahan lama RBT saat itu, kalau gak salah akhir 2010 itu (penjualan RBT) sulit, sudah mulai ditinggalkan,” tuturnya.

RBT ketika itu belum jadi sarana yang dominan, karena idenya bukan untuk mendengarkan musik, melainkan menunggu orang untuk angkat teleponnya.

“Jjadi menggradasi musik sebenarnya. Nah, itu saya curiganya saya tidak bisa take off. Dia tidak bisa menjadi sarana mendengarkan musik yang penting atau benar-benar dipakai banyak orang karena bukan sarana yang baik untuk mendengarkan musik kan RBT itu,” tutur Taufiq yang sekarang memilih menjual lagu-lagu karya musisi lain melalui vinyl.

Sejak dulu Taufiq memang fokus menjual lagu dengan format fisik. Itu pun kebanyakan merilis dalam bentuk vinyl. Meskipun volumenya kecil, Taufiq bisa memilih musik yang bagus dan ada pendengarnya.

“Dari dulu itu memang vinyl volumenya tetap kecil, tapi yang mengonsumsi juga komunitasnya tetap ada, mungkin ada tambahan sedikit lah, sekarang orang sudah punya piringan hitam, punya turn table, itu mereka membeli, tapi volumenya tidak terlalu besar,” kata dia.

 

Era 1990-an

Bongky Marcel, mantan personel grup Slank yang sekarang masih berstatus personel B.I.P, menceritakan bahwa musisi yang terikat dengan label di era 1990-an tidak bisa menikmati keuntungan finansial yang besar.

Bongky justru bisa menikmati keuntungan besar ketika Slank berada di label indie. Saat itu, Slank meluncurkan album 'Generasi Biru' tahun 1994.

 

"Tahunya, baru tahu pas kita bikin indie label karena langsung ke distributor kan. Kalau dari label dulu gak pernah tahu (keuntungan yand didapat sebenarnya)," tutur Bongky saat berbincang dengan Uzone.id.

Ketika penjualan kaset masih jadi andalan, Bongky juga tidak tahu berapa yang dicetak oleh label. Bandnya saat itu cuma mendapat laporan penjualan kaset dan diberitahu juga mendapat penjualan platinum.

"Makanya banyak yang gak jelas juga, tapi kalau pas sudah indie itu sudah lumayan gede tuh, indie pas (lagu) Pulau Biru, (album) Generasi Biru. Jadi si distributor gak mau kehilangan, kita kan pecah kongsi tuh sama produsernya, kita bikin indie sendiri. Kita dibayar 250 juta waktu itu, sekarang 2,5 miliar paling. Itu berasa tuh," kenang Bongky.

Bongky merasakan ketika penjualan lagu dalam bentuk CD menurun drastis akibat ulah para pembajak lagu. Dia memperkirakan 80 persen lagu dalam format CD yang ada dipasar adalah bajakan.

Hal itu membuat toko kaset tutup. Tidak adanya display untuk musisi menjual lagu-lagunya pun habis. Satu-satunya penjualan mengandalkan platform digital.

 Bongky mengakui ketika popularitas RBT meledak di Indonesia, dia pun mendapat banyak cuan. Namun, Bongky merasa aneh ketika lagu cuma dipasang 30 detik sebagai nada panggilan pada ponsel.

Sekarang, Bonky merasa tertantang untuk menjual lagu lewat platform YouTube dengan alasan audio visual bisa lebih banyak bentuknya.

"Nyoba cari challenges aja, soalnya kan ada medianya mesti audio visual kan, itu bisa lebih banyak bentuknya, tertantang aja gue, bukannya bisa dibayar sama YouTube-nya, gue sih gak targetin itu," tutur dia.

Bongky mengaku sempat berhenti membuat lagu sejak 3-4 tahun yang lalu. Dia bahkan menjual alat-alat produksi setelah membuat scooring film.  

"Gue kemaren gue berhentiin aja, gue jual alat-alat. Biar berhenti (bikin musik), gue sengaja ha-ha-ha," katanya.

Dia mengaku kesal dengan industri saat ini karena ada pemain baru dari kalangan anak-anak muda yang bisa dibayar lebih murah sehingga sulit untuk bersaing.

"Gue gak bisa bersaing sama anak baru lah, mereka lebih cepet, lebih apa lah. Gue pikir ya udah lah, gue berhenti aja, gue jual alatnya, sekarang main band aja," ungkapnya.

 

 

RBT / NSP masih eksis

Masih berbicara soal RBT / NSP, label musik Nagaswara sampai sekarang masih mengandalkan menjual lagu dari artis-artisnya melalui layanan digital tersebut.

Rayahu Kertawiguna, pemilik Nagaswara, bahkan punya kenangan manis ketika RBT / NSP masih jaya-jayanya di Indonesia.

"Dulu bahkan menjadikan RBT Nagaswara yang ke-1 di seluruh operator telko," tutur Rahayu saat berbincang denga Uzone.id.

Rekor Nagaswara pernah menjadi posisi pertama setelah pecah rekor RBT tercepat dan terbanyak yang diwakilkan oleh salah satunya grup band Wali.

"WALI ke-1 diunduh sebanyak 80 juta kali RBT-nya," kata Rahayu.

Rahayu mengatakan, Nagaswara tidak pernah meninggalkan bisnis RBT sampai sekarang, akan tetapi dengan semakin berkembang teknologi telepon pintar, masyarakat jadi terlalu banyak pilihan untuk mendengarkan musik yang pasarnya itu-itu saja.

Namun, kata Rahayu, kalau mau jujur pendapatan musisi lebih besar pada waktu 5 - 10 tahun lalu karena waktu itu platform digital belum banyak, jadi persaingan belum sengit seperti saat ini.

Polemik YouTube

Pengamat musik Bens Leo menuturkan jika bisnis RBT / NSP sudah hampir hilang karena masyarakat ingin menikmati lagu yang utuh. Lagu tersebut bisa dinikmati lewat layanan streaming digital macam Langit Musik, Spotify, YouTube atau bahkan iTunes.

 

"Mereka (musisi) juga mendapatkan honor cukup bagus, orang yang sering mempermasalahkan itu YouTube," kata Bens Leo kepada Uzone.id.

Menurutnya, banyak orang yang melayangkan kritik terhadap orang membawakan lagu karya orang lain namun diaransemen baru, kemudian diunggah ke YouTube

"Dia mendapatkan monetize, tapi pencipta lagunya gak dikasih, ini kan sekarang dipercakapkan orang, kalau orang mengunggah lagu orang di YouTube harusnya izin penciptanya," katanya.

Kalau YouTube memberi apresiasi dalam bentuk uang, maka pencipta lagu harus mendapatkannya juga. Itu yang sekarang diperjuangkan oleh berbagai pihak agar pencipta lagu mendapatkan haknya pada saat lagu itu diambil, diunggah ke sosial media, terutama di YouTube.

"Sampai saat ini masih ribut, terutama bagi mereka yang lagunya jadi hit bagi orang lain, itu harus memberikan sebagian perolehannya itu ke pencipta lagu, karena pencipta lagu itu yang punya hak terhadap hak cipta, UU hak cipta nomor 28 tahun 2014 memang mengamanatkan bahwa song writer, pencipta lagu itu punya hak penuh terhadap lagu itu," tuturnya.

Kemudian, Bens Leo mengulas soal bisnis RBT / NSP sudah mulai turun sekitar tahun 2011 karena banyak sekali musisi yang tidak mendapatkan penghasilan yang bagus saat mengandalkan RBT / NSP.

"Kalau misalnya perusahaan rekaman mengandalkan RBT itu sering kali pendatang baru dirugikan. Contohnya hanya direkam satu lagu, kemudian kalau RBT nya tidak bagus maka tidak punya rekaman lain. Itu merugikan sekali kreativitas para seniman, terutama generasi baru waktu itu," kata dia.

Maka, lama-lama orang males masuk ke RBT karena RBT ini cuma sekedar orang mendengar dengan potongan lagu berdurasi 30 detik yang menjadi nada sambung ponsel kita. Setelah itu, tidak lagu tidak dilanjutkan rekamannya.

"Nah, mendingan sekarang, mereka bisa memasukkan sendiri lewat Spotify, Joox, iTunes, Langit Musik. Sekarang banyak sekali artis yang memilih indie dibandingkan masuk ke label rekaman karena begitu mereka masuk ke indie dan masuk ke digital platform yang ada, maka keuntungan itu masuk ke dirinya sendiri, bukan ke perusahaan rekaman," kata Bens Leo.

Ini yang membedakan era dulu dan era sekarang. Era sekarang ini banyak sekali artis-artis papan atas, seperti band Sheila On 7 dan GIGI tidak lagi terikat dengan label besar Sony Music.

"Beberapa tetap bertahan, tapi bergainingnya kuat di artisnya, contohnya Kahitna sekarang masih di Musica tapi untuk beberapa konser itu Kahitna deal sendiri, bukan lewat Musica," kata dia.

Uzone.id akan menggelar program Uzone Talks bertajuk "Industri Musik Go Digital" dengan mengundang pembicara Dedi Suherman, CEO PT Melon Indonesia dan Bongky Marcel personel band B.I.P.

Uzone Talks akan digelar live melalui virtual pada Kamis, 15 Oktober 2020 pada pukul 16.00 WIB.

Jadi, jangan sampai kamu lewatkan ya.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini