Sponsored
Home
/
Entertainment

Fotografi Makro yang Kekinian

Fotografi Makro yang Kekinian
Preview
Tempo13 May 2016
Bagikan :
Preview
| May 13, 2016 10:10 am

Fotografi miniatur dituntut merancang konsep dan membuat orang-orangan terlihat sedang beraktivitas. Kegiatan ini bisa dilakukan di mana saja.

Pria itu asyik sendiri di tengah keramaian jam makan siang di pujasera Eat and Eat Mal Kelapa Gading, Jakarta Utara, dua hari lalu. Rudy Kurniawan menuangkan air di teko tanah liat, lalu menempatkan orang-orangan perempuan dan dua angsa.

Sayang, ada angsa yang gagal berdiri. “Aku ganti saja, ya?” ujar Rudy kepada Tempo. Dia lalu menempatkan ekor sapi, sebuah pohon, dan seorang pria. Jadilah, setting menggembala sapi di lahan berair.

Itu baru separuh kerja Rudy, 40 tahun. Warga Kelapa Gading tersebut mengeluarkan kamera Sony Nex-6, lalu memotretnya dari berbagai sudut. Kesibukan Rudy pada siang itu dikenal dengan nama fotografi miniatur—hobi yang menjadi tren di berbagai kota besar di Indonesia dalam setahun belakangan. “Asyik karena merangsang imajinasi, dari membuat konsep cerita sampai mengatur figur,” kata fotografer amatir tersebut.

Sebelum keranjingan fotografi miniatur dalam setahun terakhir, Rudy menekuni fotografi makro. Dia kehilangan gairah di bidang tersebut karena semakin hari semakin kesulitan mendapatkan obyek favoritnya: serangga. “Di Jakarta, susah cari lahan yang banyak hewannya,” ujarnya.

Nah, di fotografi miniatur ini, pialang saham tersebut bisa berkreasi kapan pun ide muncul. Bahkan, saat mobilnya terjebak kemacetan. Rudy tinggal mengeluarkan obyek miniatur dan kamera dari tasnya, atur setting, lalu jepret.

Foto makro orang-orangan ini dipopulerkan oleh Christopher Boffoli, fotografer asal Seattle, lewat buku foto Big Appetites yang terbit pada 2012. Obyek jepretan Mat Kodak berusia 47 tahun itu tidak lepas dari orang-orangan mini yang diletakkan di berbagai jenis makanan. Dia mengaturnyadengan amat rancak, misalnya sekelompok orang berbaris untuk masuk mulut ikan dan orang berkemah di cone es krim.

Sederet karya dalam buku tersebut menginspirasi banyak orang, termasuk Denny Yulizar, 33 tahun. Pria asal Balikpapan ini mencari tahu soal fotografi miniatur di Internet dan menemukan penekun kegiatan itu di Instagram. “Di komunitas kami, miniatur seperti itu disebut tuyul. Pemotretnya disebut tuyulgrapher,” kata Denny, yang mulai aktif sejak Oktober 2015.

Memotret miniatur, dia melanjutkan, membutuhkan kreativitas dan ketelitian ekstra. Bukan apa-apa, “tuyul” itu sangat mini. Dengan perbandingan 1 : 87, ukurannya cuma 3-5 sentimeter. Goyang sedikit, bubar. Urat malu pun harus ekstra tebal. “Mesti tahan dilihat orang yang tidak tahu kita sedang melakukan apa,” ujar Deny.

Obyek tuyulgrapher lebih luas ketimbang Boffoli, yang hanya mengandalkan makanan sebagai latar orang-orangan. Semua benda bisa dijadikan latar, dari alat tulis, tanaman, kaleng minuman, sampai hewan peliharaan.

“Kita diajak berkreasi dengan menyusun obyek-obyek di sekeliling kita,” kata Johnson, 35 tahun. Kunci keunikan memotret miniatur ini, dia melanjutkan, adalah tuntutan menyandingkan miniatur dengan benda berukuran normal dan membuat manusia-manusia mini itu terlihat beraktivitas.

Keasyikan memotret itu membuat Rudy, Johnson, dan kawan-kawan menggagas Indonesia Miniature Figure Community (IMFC87), tiga bulan lalu. Komunitas ini menghubungkan banyak pencinta hobi sejenis di berbagai kota di Indonesia. Selain berbagi foto, mereka saling tukar pengalaman, tip, dan barter figur—harga satuannya antara Rp 25 ribu dan Rp 100 ribu, tergantung detail. *

AISHA SHAIDRA

Berita Terkait:

 
populerRelated Article