Home
/
Lifestyle

G-Spot: Benarkah Ada Atau Hanya Mitos Belaka?

G-Spot: Benarkah Ada Atau Hanya Mitos Belaka?
Hellosehat25 August 2016
Bagikan :


Pertanyaan satu ini mungkin merupakan salah satu pertanyaan paling kontroversial seputar fungsi seksual manusia: apakah G-spot benar-benar ada? Dan jika benar ada, bagaimana cara menemukannya?

G-spot adalah area dalam vagina yang konon katanya memiliki sensitivitas super, yang jika dirangsang dapat menimbulkan gairah seksual yang kuat serta orgasme. Meskipun konsep orgasme vagina telah ada sejak abad ke-17, istilah G-spot tidak diciptakan sampai tahun 1980-an. G-spot ‘ditemukan’ oleh Ernst Gräfenberg, ginekolog asal Jerman, yang penelitian tahun 1940-nya mendokumentasikan daerah sensitif ini dalam vagina beberapa wanita.



Di mana letak G-spot?


Gräfenberg menggambarkan zona sensitif seksual pada 5-8 cm di atas bukaan vagina, atau di dinding depan vagina, yang berkorelasi dengan posisi uretra di ujung lain dari dinding tersebut. Ia mengungkapkan sebuah kompleks pembuluh darah, ujung saraf, dan sisa-sisa kelenjar prostat wanita di area yang sama; menunjukkan bahwa pada sebagian kecil wanita — terutama mereka yang memiliki otot dasar panggul kuat — stimulasi pada zona ini dapat memicu orgasme kuat dan pelepasan sejumlah kecil cairan dari uretra yang bukan urin (seperti ejakulasi pada pria).


Rahasia kini mulai menyebar tentang tombol ajaib di dinding depan vagina. Banyak pasangan yang menyengajakan waktu dan tenaga untuk berburu tombol gairah ini — seringnya sia-sia. Beberapa feminis, mengklaim bahwa publisitas G-spot merupakan upaya oleh kaum pria untuk mengembalikan sorotan pada pentingnya penetrasi vagina, setelah perhatian masyarakat beralih pada klitoris selama revolusi seksual tahun 60-70’an.


Kontroversi seputar G-spot muncul karena tidak ada kesepakatan atas seperti apa wujud fisik dari zona penuh gairah ini, dan sementara beberapa wanita dapat mengalami orgasme melalui stimulasi G-spot, beberapa lainnya merasa tidak nyaman.



Mereka yang pro G-spot


Penelitian awal mengenai G-spot oleh Addiego, dilansir dari Huffington Post, didasari oleh seorang wanita yang melaporkan area tersebut membengkak setelah disentuh, yang membuatnya mengalami peningkatan sensitivitas, kepuasan, dan keinginan untuk buang air kecil — semua karakteristik ini mengantarkan Addiego pada sebuah kesimpulan bahwa orgasme yang wanita tersebut alami dari stimulasi ini serupa dengan orgasme pria.


Akan tetapi, ulasan baru menunjukkan bahwa wanita tersebut juga melaporkan bahwa, pada saat uji laboratorium tersebut, ia telah didiagnosis mengidap hernia kanding kemih (cystocele) tipe 1, sebuah kondisi di mana jaringan pendukung kandung kemih dan dinding vagina melemah dan meregang, sehingga memungkinkan kandung kemih untuk menonjol ke vagina. Efek samping dari cystocele ini membuat wanita tersebut seorang kandidat yang lemah untuk dijadikan dasar teori seksual dengan bukti medis seadanya.


Menurut jurnal terbitan Journal Of Sexual Medicine dari ginekolog asal Institute of Gynaecology of Florida, Adam Ostrzenski, ia berhasil menemukan keberadaan anatomis dari G-spot — sebuah gumpalan saraf berukuran setengah kuku. Namun, sejumlah peneliti menyanggah bukti ini. Alasannya, penelitian Ostrzenski hanya didasarkan oleh autopsi dari jenazah wanita Polandia yang meninggal akibat trauma kepala, sehingga hampir sulit untuk dinyatakan sebagai studi klinis.


Pada tahun 1981, seorang seksolog bernama Beverley Whipple turut andil menjadi asisten penulis buku yang berjudul The G-spot And Other Discoveries About Human Sexuality. Ia mempelajari 400 wanita dewasa dan mengklaim bahwa seluruh partisipan penelitiannya memiliki G-spot.


Satu studi tahun 2008 menggunakan pencitraan USG untuk menjelajahi dinding vagina wanita, dan menemukan adanya penebalan jaringan di daerah yang dicurigai sebagai G-spot pada wanita yang mengalami orgasme vaginal. Wanita yang melaporkan tidak pernah mengalami orgasme vaginal ditemukan memiliki jaringan yang tipis di area tersebut.


Peneliti lain telah mencari bukti fisik. Biopsi jaringan dinding vagina pada area duggan G-spot sering ditemukan memiliki lebih banyak ujung saraf daripada area dinding vagina lainnya. Namun begitu, studi pencitraan lain tidak dapat menemukan bukti konklusif dari G-spot. Peneliti menunjukkan bahqwa sensitivitas pada tubuh manusia tidak ditentukan berdasarkan banyak jumlah ujung saraf saja.



Mereka yang kontra G-spot


Bukti untuk mendukung atau menolak keberadaan G-spot masih kabur, dan seringnya merupakan sensasi semata. Satu studi yang menyanggah keberadaan tombol ajaib ini didasari oleh hasil pindai MRI dari seorang wanita. Debat ada tidaknya G-spot lebih lanjut menjadi wilayah abu-abu oleh sengketa tentang terminologi dari berbagai daerah dalam vagina, dan juga di mana suatu struktur tertentu dimulai dan berakhir.


Terlepas dari studi-studi terdahulu, para peneliti mengatakan bahwa vagina tidak memiliki hubungan anatomis dengan klitoris. Sebuah studi tahun 2012 terbitan Journal Of Sexual Medicine mengulas penelitian seputar G-spot yang berusia lebih dari 60 tahun dan menemukan bahwa studi radiografis dibuktikan tidak mampu untuk menunjukkan entitas yang unik, selain dari klitoris, yang stimulasi langsungnya mengarah pada orgasme vaginal. Demikian pula, studi terbitan Clinical Anatomy tahun 2015 menyatakan bahwa dinding anterior vagina — lokasi dugaan G-spot — tidak memiliki hubungan anatomis dengan klitoris, dan bahwa G-spot atau orgasme vaginal hanyalah berita palsu, alias hoax.


Satu cara yang lebih baik untuk memahami G-spot mungkin untuk memandangnya tidak sebagai “tombol” namun lebih kepada suatu area dalam gambaran besar dari struktur anatomi wanita. Dilansir dari MIC, sebuah studi tahun 2014 terbitan Nature Reviews Urology menjelaskan bahwa, walaupun G-spot tidak dapat diidentifikasikan oleh ilmu pasti, vagina merupakan struktur yang sangat kompleks yang bisa mencapai orgasme dengan banyak cara.



Namun, kita tidak dapat mengesampingkan pengalaman nyata dari sejumlah wanita


Hubungan anatomi dan interaksi dinamis antara klitoris, uretrra, dan dinding vagina anterior telah menyebabkan konsep rumit mengenai clitourethrovaginal, mendefinisikan area morfofungsi multifaset dan bervariabel yang, saat distimulasikan dengan baik saat penetrasi, dapat menginduksi respons orgasmik.


Para ilmuwan mungkin tidak dapat menemukan lokasi pasti dari G-spot, tapi hal ini tidak mengubah fakta bahwa banyak perempuan dengan persentasi beragam — mulai dari 7-30 persen —  telah mencapai orgasme yang sukses dari seks penis-dan-vagina saja.Kuncinya adalah, beberapa wanita mungkin saja lebih sensitif dan mudah terangsang oleh stimulasi dinding anterior, sementara yang lainnya tidak.


Respon fisiologis dari orgasme G-spot berbeda dengan respon yang ditunjukkan pada orgasme klitoris. Selama orgasme klitoris, ujung vagina (dekat bukaan) menggembung keluar; namun, pada orgasme hasil stimulasi g-spot, leher rahim terdorong ke dalam vagina.


Hingga 50 persen wanita mengeluarkan berbagai macam cairan saat bergairah atau seks, umumnya keluar selama orgasme, dan terutama pada orgasme hasil stimulasi G-spot. Jadi, apa beda keduanya?


Pengeluaran urin selama seks penetratif biasanya merupakan hasil dari stres inkontinensia urin. Beberapa wanita tidak mengalami gejala lain dari kondisi ini, seperti ngompol saat bersin, batuk, atau tertawa, tetapi hanya akan ‘ngompol’ saat berhubungan seks. “Squirting” adalah ‘kebocoran’ cairan dengan tekstur mirip urin selama orgasme. Squirting diduga terjadi akibat kontraksi kuat pada otot di sekitar kandung kemih selama orgasme.


Ejakulasi wanita, paling sering dilaporkan melalui orgasme G-spot, adalah hal yang berbeda dari dua kondisi di atas. Wanita yang mengalaminya melaporkan cairan yang keluar seperti susu putih ener, dengan volume sebanyak satu sendok teh saat dilepaskan. Kandungan dari ejakulasi wanita ini telah dianalisis secara kimiawi dan ditemukan bahwa cairan ini mirip dengan caira air mani pria. Diduga, cairan ejakulasi wanita diproduksi oleh prostat wanita (kelenjar Skene).



Jadi, apakah G-spot benar-benar ada?


Singkatnya, segala pernyataan bahwa G-spot adalah suatu hal yang nyata dan konkret secara fisik dapat membuat wanita yang tidak pernah mengalami orgasme vaginal meragukan diri mereka sendiri; sementara itu, pernyataan bahwa G-spot adalah mitos membuat wanita yang mengalami rangsangan dari area tersebut juga meragukan diri mereka sendiri.


Kait Scalisi, edukator seks, dilansir dari MIC, mengatakan bahwa tidak apa untuk bereksplorasi, tetapi jangan terpaku pada hal yang tidak pasti. Jika anda puas dengan orgasme yang Anda alami selama ini, teruskan apa yang membuat Anda bahagia. Jika Anda ingin mencoba menjelajahi lebih dalam dan mencari G-spot Anda, lakukanlah.


Jika tidak berhasil? Tidak apa. G-spot bukanlah sebuah tombol aktivasi universal yang, jika pada akhirnya ditemukan, akan memberikan jaminan menuntun wanita pada orgasme yang intens. Apa yang berhasil untuk sebagian wanita, mungkin tidak akan bekerja dengan baik untuk semua. Sebaliknya, orgasme wanita terjadi ketika kelompok bagian bawah: klitoris, vestibular bulb, pars intermedia, labia minora, dan corpus songiosum dari uretra distimulasikan secara selaras.


BACA JUGA:




The post G-Spot: Benarkah Ada Atau Hanya Mitos Belaka? appeared first on Hello Sehat.
populerRelated Article