Gelap Terang Nasib Industri 4.0 di Indonesia
Geger perbincangan geliat industri digital di Indonesia tengah mengemuka, mulai dari gerakan boikot Bukalapak, hingga kontroversi ucapan capres Prabowo Subianto terkait start-up unicorn dalam debat pemilu. Terlepas dari kontroversi yang ada, Indonesia kini sesungguhnya tengah berada pada masa persimpangan penting terkait pertumbuhan industri 4.0, utamanya pada industri e-commerce.
Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan industri teknologi di Indonesia berkembangan dengan sangat pesat. Sejumlah perusahaan rintisan atau start-up teknologi berhasil melesat dan berkembang tidak hanya dari segi pangsa pasar namun juga valuasi di mana beberapa berhasil mencapai valuasi lebih dari $1 miliar dolar Amerika Serikat atau kerap disebut unicorn. Pada November 2018, studi tahunan berjudul “e-Conomy South East Asia” oleh Google bekerja sama dengan Temasek, sebuah firma investasi asal Singapura, melihat adanya pertumbuhan ekonomi internet yang meroket pada 2018. Hal ini kemudian berpengaruh pada prediksi keduanya. Jika pada 2016 dan 2017, Google dan Temasek memprediksi ekonomi internet di Asia Tenggara akan mencapai $200 miliar pada 2025, maka nilai ekonomi itu kini diprediksi berkembang menjadi $240 miliar. Pertumbuhan ini didorong, khususnya oleh pertumbuhan pesat dari industri e-commerce, media daring, travel daring dan ride hailing seperti taksi atau ojek online. Di manakah posisi Indonesia? Studi ini mengindikasikan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang memimpin pertumbuhan tersebut. Dengan pengguna internet terbesar di Asia Tenggara sebanyak 150 juta pengguna di 2018, Indonesia memiliki ekonomi internet yang terbesar dengan pertumbuhan yang paling cepat di antara negara Asia Tenggara lainnya. Ekonomi internet Indonesia pada tahun lalu ditaksir mencapai $27 miliar, sementara laju pertumbuhan majemuk tahunannya (CAGR) mencapai 49 persen dalam periode 2015-2018. “Dengan potensi pertumbuhan yang besar di segala sektor, ekonomi internet Indonesia akan bertumbuh menjadi $100 miliar pada 2025, mengambil $4 dari setiap $10 pengeluaran di wilayah tersebut,” tulis laporan tersebut. Dilansir Tech in Asia, pertumbuhan ini bisa terjadi karena Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil sekitar 5 persen per tahunnya, seiring dengan menguatnya kekuatan ekonomi kelas menengah, tingginya penetrasi perangkat ponsel pintar dan pertumbuhan volume transaksi uang elektronik. Bank Indonesia memang mencatat jumlah transaksi uang elektronik di Indonesia terus meningkat. Pada 2011 nominal transaksi uang elektronik mencapai Rp981 miliar, maka pada 2017 jumlah tersebut mencapai Rp12,375 triliun. Pada 2018, jumlah ini meningkat mencapai Rp31,6 triliun setidaknya hingga September tahun lalu.Tantangan Mendasar
Menurut Sirajuddeen, Indonesia telah memenuhi semua prasyarat tersebut terkecuali pada sektor jaringan logistik. Indonesia memiliki jaringan logistik yang masih buruk, terutama di luar Pulau Jawa. Ini membuat biaya logistik di Indonesia termasuk yang tinggi di kawasan. Sebagai contoh, pengiriman satu galon air dari Jayapura ke Timika di Papua akan menghabiskan biaya Rp456.000 atau lebih mahal sebesar 40 persen dibandingkan biaya pengiriman dari Jakarta ke Surabaya. Padahal jarak Jayapura-Timika adalah 450 kilometer sementara Jakarta-Surabaya 660 km. Namun, selain permasalahan logistik, kesiapan konsumen terhadap sistem pembayaran digital di Indonesia juga turut menjadi salah satu tantangan yang harus segera dipecahkan solusinya. Ini dikemukakan oleh Managing Director Ipsos Indonesia Soeprapto Tan beberapa waktu lalu di Jakarta. Soeprapto memaparkan, dalam laporan terbaru Ipsos terkait industri e-commerce di Indonesia berjudul “E-commerce 4.0, What Next,” sebesar 26 persen dari konsumen pengguna e-commerce masih sangat bergantung pada pembayaran manual melalui transfer di ATM. Pembayaran melaluii atau online payment, sementara itu, hanya mencapai persentase sebesar 19 persen. Padahal, industri 4.0 menuntut adanya integrasi menyeluruh antara sektor offline dan online dan pembayaran merupakan salah satu sektor yang memegang kunci penting dalam perkembangan industri ini. Sementara itu , Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) Ignatius Untung mengatakan bahwa agar dapat tumbuh lebih cepat industri digital di Indonesia juga mengalami kekurangan sumber daya manusia, utamanya pada sektor teknis seperti software engineer. Untung menyebutkan, pada start-up dengan gelar unicorn seperti Go-Jek saja, misalnya, dibutuhkan sekitar 1.000 tenaga software engineer. Ini kemudian tidak sebanding dengan jumlah sumber daya manusia software engineer yang diproduksi oleh universitas-universitas di Indonesia. “Kalau dibandingkan lulusan satu angkatan satu universitas saja, kayaknya enggak sampai 1.000,” jelasnya. Namun demikian, Soeprapto optimistis bahwa akan prospek industri digital di Indonesia berkaca dari pertumbuhan industri ini dalam beberapa tahun terakhir yang stabil di kisaran dua digit atau di atas 10 persen. Dengan catatan, lanjutnya, industri ini di dukung oleh regulasi yang tepat, sumber daya manusia dan infrastruktur yang mumpuni. Dengan data yang ada saat ini, ia memprediksikan bahwa jika industri 4.0, termasuk e-commerce 4.0, dapat terimplementasikan di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun ke depan. “Kuncinya digitalisation itu terjadi,” sebut Soeprapto kepada Tirto. “Kalau digitalisation tidak terjadi, itu agak susah,” tambahnya. Baca juga artikel terkait REVOLUSI INDUSTRI 40 atau tulisan menarik lainnya Ign. L. Adhi BhaskaraBiar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.
Editors' Picks
Most Popular
Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini