icon-category Digilife

Gugatan RCTI Jika Berimbas ke Live Medsos, Bisa Pengaruhi Kebebasan Berekspresi

  • 28 Aug 2020 WIB
Bagikan :

(Foto: Unsplash)

Uzone.id -- Pembahasan mengenai gugatan RCTI dan iNews TV masih ramai di linimasa media sosial karena gugatan yang diajukan dipercaya dapat berimbas pada aktivitas digital berupa siaran langsung (live). Hal ini kemudian juga dapat berpengaruh pada kebebasan berekspresi masyarakat.

Aktivis media sosial Enda Nasution mengatakan, peran media sosial justru menjadi wadah untuk konten-konten yang sekiranya tidak punya ruang di ranah penyiaran broadcast seperti televisi.

“Sekarang ini saya melihatnya, hal-hal yang disiarkan itu gak hanya tentang informasi dan berita, ada juga soal budaya. Konten di TV tentu beragam, dan apapun yang tidak hadir di TV besar kemungkinan memang tidak ada ruangnya, tapi bukan berarti tidak ada yang suka,” ungkap Enda saat dihubungi Uzone.id pada Jumat (28/8).

Dia melanjutkan, “nah, konten-konten yang tidak ada di TV itu maka larinya ke ruang digital, layanan yang disediakan media sosial oleh para netizen dan kreator konten itu sendiri.”

Baca juga: Soal Gugatan RCTI 'Ancam' Live Medsos, Pengamat: Sulit untuk Dikabulkan

Menurut Enda, jika konten di ranah digital dipaksa harus masuk juga di ranah UU Penyiaran yang notabene sudah jelas berbeda, hal ini dapat mengganggu kebebasan berekspresi.

“Kalau pertimbangannya harus sama semua, harus punya izin segala macam, hal ini tampaknya bisa melanggar hak kebebasan berekspresi yang berada di ranah digital. Bagaimana bisa, masa apa-apa harus lapor dulu jika ingin memposting atau mengadakan obrolan live?” lanjut Enda.

Enda kembali menegaskan, ada perbedaan kentara antara siaran broadcast dengan digital. Siaran broadcast selama ini masuk di Undang-Undang karena memakai frekuensi yang dimiliki publik dan disediakan pemerintah, maka sudah hukumnya mendapatkan izin serta membayar ke pemerintah.

“Frekuensi publik ini luas dan dapat diakses secara gratis, dari Sabang sampai Merauke. Itulah kenapa siaran broadcast harus diregulasi. Di luar itu, kita bicara soal konten dan tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pribadi atau perusahaan. Selama ini kalau ada pelanggaran di ranah medsos juga pasti akan dikenakan sanksi. Jadi, penggunaan layanan digital selama ini sebenarnya juga memiliki tanggung jawab kok dari tiap penggunanya. Jangan sampai ada aturan yang malah merugikan,” tutup Enda.

Baca juga: Alasan RCTI Gugat UU Penyiaran yang Jadi Viral

Sementara menurut Executive Director Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, ranah digital sudah jelas berbeda dari kegiatan broadcast televisi. Jika pemerintah ingin meregulasi ranah digital, Heru meyakini perlu adanya UU baru.

“Untuk mengatur di luar penyiaran seperti konsep yang broadcasting dan analog, apakah itu OTT [over-the-top] atau TV digital diperlukan aturan baru berupa UU Revisi atau UU yang sama sekali baru. Akan berat untuk dikabulkan karena memang sejak awal UU Penyiaran itu sifatnya broadcasting dan analog,” tutur Heru kepada Uzone.id secara terpisah.

Seperti diketahui, RCTI dan iNews TV mengajukan gugatan karena mereka merasa pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 Ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sifatnya ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Sehingga, mereka meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam UU Penyiaran.

Hal ini dipercaya oleh pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dapat berpengaruh pada aktivitas siaran langsung (live) di media sosial karena layanan digital tidak memiliki izin untuk penyiaran seperti halnya media TV.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini